Sabtu, 07 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / Serikat Pekerja Aceh: Kalau HRD Main-main, Harus Dipecat

Serikat Pekerja Aceh: Kalau HRD Main-main, Harus Dipecat

Selasa, 03 Juni 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW FSPMI) Aceh, Habibi Inseun. [Foto: net]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pelaksanaan bursa kerja atau job fair kembali mengemuka setelah Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menyatakan akan menuntut seorang perwakilan Human Resource Development (HRD) yang menyebut job fair hanya sebatas formalitas semata. Pernyataan ini memicu perdebatan luas, terutama di kalangan serikat buruh dan pekerja.

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW FSPMI) Aceh, Habibi Inseun, yang juga menjabat sebagai Ketua Exco Partai Buruh Provinsi Aceh dan Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Habibi mengecam keras perilaku HRD yang mempermainkan kepercayaan publik terhadap job fair.

“HRD perusahaan jangan main-mainlah. Kalau ada rekrutmen, ya dibuka saja secara transparan. Jangan ditutup-tutupi. Kalau sampai terjadi praktik seperti ini di Aceh, maka HRD tersebut harus dievaluasi dan dipecat bila terbukti melanggar,” tegas Habibi kepada Dialeksis.com, Selasa (3/6/2025).

Pernyataan Habibi merespons video viral seorang HRD yang menyebut job fair hanya formalitas untuk memenuhi Key Performance Indicator (KPI) instansi pemerintah atau perusahaan.

Video tersebut memunculkan kecurigaan bahwa sebagian besar job fair tidak benar-benar dimaksudkan untuk menjaring tenaga kerja, melainkan sebagai ajang pencitraan.

Menurut Habibi, pernyataan Wamenaker Immanuel Ebenezer yang akan menuntut HRD tersebut adalah langkah tepat untuk memberi efek jera.

Ia juga menilai penting untuk menyisir apakah praktik seperti ini terjadi secara sistematis di berbagai wilayah, termasuk Aceh.

“Membeludaknya pencari kerja dalam kegiatan job fair menunjukkan bahwa kebutuhan kerja sangat besar. Tapi lapangan kerja yang tersedia minim. Ini tantangan serius,” ujar Habibi.

Ia menjelaskan bahwa dalam praktiknya, rekrutmen di perusahaan atau instansi sering kali tidak dibuka secara umum.

Sebagian besar peluang kerja, menurutnya, tersembunyi dalam lingkaran jaringan pribadi, kedekatan emosional, atau referensi.

“Kadang yang diterima itu karena ada kedekatan, jaringan, dan rekomendasi. Informasi lowongan kerja sering tidak sampai ke publik. Bahkan di lingkungan pemerintah atau BUMN sekalipun, pola ini kadang terjadi,” tambahnya.

Menurut Habibi, esensi dari job fair adalah keterbukaan dan keadilan. Ia mengatakan bahwa kegiatan ini seharusnya menjadi media efektif dalam mempertemukan pencari kerja dengan perusahaan yang benar-benar membuka peluang kerja.

“Namanya juga job fair, ya harus fair! Harus adil, harus terbuka. Kalau hanya formalitas, ini sama saja mempermainkan harapan ribuan orang,” ujarnya.

Habibi menegaskan, jika pemerintah dan perusahaan ingin serius menyerap tenaga kerja, maka job fair harus dilaksanakan secara jujur dan profesional.

Pemerintah juga diminta untuk mengumpulkan dan menganalisis data hasil job fair secara akurat agar bisa menjadi dasar dalam menarik investasi dan membuka lapangan kerja baru di Aceh.

“Data dari job fair sangat penting. Bisa menunjukkan jurusan apa yang dominan, pendidikan para pencari kerja, hingga kompetensi mereka. Ini bisa jadi bekal pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja,” jelasnya.

Habibi juga mengatakan bahwa ke depan, perlu ada evaluasi ketat terhadap pelaksanaan job fair, baik yang diselenggarakan oleh dinas ketenagakerjaan maupun perusahaan.

“Kalau perlu, ada lembaga independen yang memantau. Jangan sampai para pencari kerja datang hanya untuk melihat formalitas tanpa peluang nyata,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI