DIALEKSIS.COM | Aceh Tengah - Di sebuah ruang kuliah di STIT Al Washliyah Aceh Tengah, Siti Rif’atussa’adah duduk tenang di balik tumpukan kitab tafsir. Suaranya datar namun tegas ketika berbicara soal fenomena yang mengusiknya dirinya terhadap fenomena lemahnya budaya umat Islam dalam memahami substansi Al-Qur’an secara mendalam dan komprehensif.
“Banyak yang rajin membaca, tapi sedikit yang benar-benar mengerti. Apalagi mengamalkan,” kata Siti, dosen pendidikan agama Islam yang telah lebih dari satu dekade mengajar saat diminta pendapatnya Dialeksis, Selasa (12/08/2025).
Menurutnya, Al-Qur’an kerap diposisikan sebatas bacaan ritual dilantunkan pada bulan Ramadhan, dibacakan saat tahlilan, atau menjadi penghias rak buku di ruang tamu. Padahal, kitab suci umat Islam itu sejatinya adalah pedoman hidup yang memuat prinsip moral, sosial, hingga politik, yang relevan untuk setiap zaman.
Fenomena ini, kata Siti, bukan hanya terjadi di Aceh, tetapi di banyak wilayah Muslim lain. “Masalahnya, kita lebih menekankan pada aspek tilawah dan hafalan, sementara pendalaman makna masih minim,” ujarnya.
Siti menilai ada kesenjangan besar antara kemampuan membaca dan memahami isi Al-Qur’an. Banyak Muslim yang fasih melafalkan ayat, namun tidak mengerti pesan yang dibawanya.
“Akhirnya, Al-Qur’an hanya berhenti di bibir, tidak sampai ke hati dan perilaku,” katanya.
Ia menyebutkan, pemahaman yang dangkal dapat memicu kesalahpahaman dalam beragama, bahkan menumbuhkan fanatisme sempit. Dalam beberapa kasus, ayat dipotong dari konteksnya, lalu digunakan untuk membenarkan tindakan atau sikap tertentu. “Itu terjadi karena tafsir dipahami setengah-setengah,” kata Siti.
Bagi Siti, memahami Al-Qur’an memerlukan pendekatan ilmiah dan spiritual sekaligus. Ilmiah dalam arti mengkaji tafsir dengan metodologi yang benar melibatkan asbabun nuzul, struktur bahasa Arab klasik, dan penjelasan ulama otoritatif. Spiritual dalam arti menumbuhkan keikhlasan hati agar pemahaman itu mendorong perilaku baik.
Siti mendorong lembaga pendidikan Islam, masjid, dan majelis taklim untuk mengambil peran lebih besar dalam membangun budaya kajian tafsir yang berkelanjutan. “Bukan sekadar pengajian rutin, tapi program sistematis yang mengajak jamaah memahami ayat demi ayat,” ujarnya.
Ia juga mengkritik kurikulum pendidikan agama yang menurutnya masih lebih menekankan pada hafalan ketimbang analisis isi ayat.
“Kita butuh generasi yang tidak hanya bisa membaca, tapi juga berpikir kritis terhadap kandungan Al-Qur’an,” kata Siti.
Di era digital, tantangan semakin kompleks. Informasi agama berseliweran di media sosial, sering kali tanpa filter keilmuan yang memadai.
“Banyak orang belajar agama dari potongan video atau kutipan singkat yang tidak utuh. Ini berbahaya karena mudah menimbulkan kesalahpahaman,” ujar Siti.
Ia berharap, para dai dan pendidik dapat memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan tafsir yang akurat, dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat. “Al-Qur’an itu relevan untuk semua zaman, termasuk zaman kita yang serba cepat ini. Tinggal bagaimana kita membungkusnya agar sampai dengan benar,” katanya.
Siti menutup pembicaraan dengan sebuah ajakan. “Kita harus membangun kesadaran kolektif bahwa memahami Al-Qur’an secara komprehensif adalah kewajiban setiap Muslim. Tanpa itu, ajaran Islam sulit menjadi solusi atas persoalan modern,” ujarnya.
Bagi Siti Rif’atussa’adah selaku mahasiswa Doktoral Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an Jakarta, membaca Al-Qur’an hanyalah pintu masuk. Memahami dan mengamalkannya adalah perjalanan panjang yang harus dijalani, agar kitab suci itu benar-benar menjadi rahmat bagi semesta.