DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Banda Aceh, Marduarti, menyoroti persoalan benturan antara pembangunan kota dengan keberadaan objek-objek cagar budaya.
Ia mencontohkan sejumlah proyek seperti Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) hingga perumahan yang kerap beririsan dengan situs bersejarah.
“Makanya perlu regulasi di bawah qanun berupa peraturan wali kota. Misalnya bagi pengembang perumahan, harus ada anggaran untuk evaluasi dampak terhadap cagar budaya. Itu penting, karena hampir di setiap wilayah Banda Aceh ada cerita sejarahnya,” kata Marduarti dalam diskusi publik bertemakan "Masa Depan Cagar Budaya Aceh - Jalan di Tempat Atau Maju", di Banda Aceh, Selasa, 23 September 2025.
Menurutnya, ketidakhadiran regulasi kerap membuat penemuan situs budaya dan makam zaman kerajaan Aceh dahulu justru disembunyikan oleh pihak pengembang, karena dianggap akan memunculkan masalah baru.
Padahal, lanjutnya, peninggalan seperti batu nisan kuno dengan ukiran kaligrafi bernilai tinggi dan sulit dibuat, seharusnya dihargai dan dilindungi.
Dia menegaskan, perlindungan cagar budaya tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Semua pihak, mulai dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) provinsi maupun kota, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK), hingga masyarakat harus berkolaborasi.
“Harapannya terbangun rekonstruksi kebudayaan yang mampu mengubah wajah Banda Aceh menjadi bagian dari jaringan kota pusaka. Kita harus bangga, 820 tahun usia kota Banda Aceh bisa diakui sebagai kota pusaka,” pungkasnya.