SP Aceh: Krisis Air Ancam Hak Perempuan dan Kelompok Rentan di Lhoknga
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Media Briefing Solidaritas Perempuan Aceh bersama insan pers dan CSO di Banda Aceh, Senin, 23 Desember 2024. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | DIALEKSIS.COM - Krisis air yang melanda wilayah Lhoknga, Aceh Besar, menjadi salah satu isu terparah yang dihadapi masyarakat sepanjang tahun ini. Bencana kekeringan yang dimulai sejak Desember 2023 hingga kini masih dirasakan dampaknya.
Menurut Salsabila, Staf Kampanye dan Komunikasi Solidaritas Perempuan Aceh, kondisi ini mencerminkan kurangnya perhatian terhadap pengelolaan sumber daya air di daerah yang terdampak.
"Tahun 2024 adalah kekeringan terburuk dalam beberapa tahun terakhir. Sejak 2018, data dari Karts Aceh menunjukkan adanya kerusakan pada sumber-sumber air di wilayah Lhoknga, ditambah dengan aktivitas manusia yang memperburuk keadaan," ujar Salsabila dalam media briefing di Banda Aceh, Senin, 23 Desember 2024.
Beberapa faktor menjadi penyebab utama krisis air di Lhoknga. Selain kemarau panjang akibat perubahan iklim, aktivitas manusia seperti deforestasi dan polusi air turut memperburuk situasi. Infrastruktur yang tidak memadai serta ketimpangan dalam akses dan pengelolaan sumber daya air juga menjadi persoalan krusial.
Kondisi ini diperparah oleh konflik sosial dan klaim perusahaan besar terhadap sumber mata air, seperti yang terjadi di Desa Deah Mamplam.
"Masyarakat sering mengaitkan masalah ini dengan perusahaan semen, sementara pihak perusahaan menyebut ini akibat hujan yang tidak turun. Ketidakharmonisan ini menambah kompleksitas masalah," tambahnya.
Menurut Solidaritas Perempuan Aceh, Desa Naga Umbang adalah salah satu lokasi dengan distribusi air bersih yang sangat terbatas.
Dari total 432 jiwa, setiap orang hanya mendapat 13 liter air bersih dalam satu kali pendistribusian jauh dari standar kebutuhan minimum sebesar 60 liter per orang per hari, sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 23 Tahun 2006.
Kondisi ini telah menyebabkan beragam dampak negatif bagi masyarakat, di antaranya, kesehatan, munculnya penyakit kulit akibat penggunaan air tercemar, ekonomi, penurunan produktivitas dan meningkatnya biaya untuk memperoleh air bersih.
Selain itu, kara Salsabila, ketahanan pangan, produksi pertanian menurun dan harga pangan melonjak dan persoalan sosial yaitu konflik antarwarga dan meningkatnya ketimpangan gender, di mana perempuan menghadapi beban kerja ganda untuk mengelola kebutuhan air keluarga.
Perempuan di wilayah Lhoknga menghadapi tekanan luar biasa akibat krisis air ini. Mereka harus mengangkut air yang didistribusikan pemerintah, mengatur penggunaannya untuk berbagai kebutuhan rumah tangga, hingga memastikan kebersihan keluarga.
Sementara itu, kelompok rentan seperti balita, ibu pasca melahirkan, dan lansia mengalami kesulitan menjaga kebersihan pribadi.
"Perempuan rentan mengalami ketergantungan finansial, pendidikan yang terhambat, hingga risiko kekerasan akibat harus mencari sumber air di lokasi yang jauh," ungkap Salsabila.
SP Aceh terus mendampingi empat desa terdampak, yaitu Naga Umbang, Lambaro Kueh, Lambaro Seubun, dan Meunasah Mon Cut, dengan melakukan advokasi kepada pemerintah daerah.
SP Aceh menyerukan pentingnya kolaborasi antara jurnalis, masyarakat sipil, dan pemerintah untuk mencari solusi jangka panjang.
Momentum pilkada dan terpilihnya Muzakir Manaf sebagai Gubernur Aceh diharapkan menjadi titik terang bagi penanganan masalah ini.
Salah satu misinya adalah memelihara kelestarian lingkungan hidup dan ekosistemnya. SP Aceh menegaskan pentingnya memastikan misi ini terealisasi, khususnya dalam pemenuhan hak atas air bersih.
"Krisis air adalah masalah ekologis yang harus dilihat dari perspektif keadilan gender dan kesejahteraan sosial. Kita tidak bisa hanya menunggu; perlu ada langkah konkret yang melibatkan semua pihak," pungkasnya.