DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Aceh melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memulai proses pendataan terhadap sumur minyak rakyat di berbagai wilayah Aceh.
Langkah ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri ESDM No. 14 Tahun 2025, yang untuk pertama kalinya memberikan kerangka hukum bagi pengelolaan sumur minyak tradisional oleh masyarakat.
Pendataan ini menjadi momentum penting, khususnya bagi wilayah seperti Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara, yang selama puluhan tahun dikenal sebagai kantong-kantong sumur minyak rakyat.
Ribuan warga menggantungkan hidup mereka pada aktivitas pengeboran tradisional, meskipun terus menghadapi risiko kecelakaan, stigma ilegal, hingga ancaman kriminalisasi.
Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh mengapresiasi langkah ini sebagai bentuk kepedulian terhadap keberadaan sumur rakyat yang dikelola langsung oleh masyarakat.
Namun, DEM Aceh menegaskan bahwa ke depan, sumur rakyat tidak boleh dijadikan milik BUMD, koperasi, maupun UMKM semata, apalagi menjadi celah bagi perusahaan besar untuk mengambil alih ladang minyak rakyat atas nama penataan.
“Legalitas harus menjadi alat keberpihakan yang memulihkan hak rakyat atas tanah dan sumber daya yang selama ini mereka kelola dengan jerih payah dan risiko tinggi,” tegas Waliyurrahman, Kepala Divisi SDM DEM Aceh kepada Dialeksis.com, Kamis (17/7/2025).
Menurut Waliyurrahman, legalitas seharusnya membuka ruang perlindungan terhadap keselamatan kerja, pengakuan atas sejarah hidup dan mata pencaharian masyarakat, serta memperkuat posisi tawar mereka dalam sistem energi nasional yang selama ini eksklusif dan cenderung menguntungkan korporasi besar.
Ia juga menyoroti bahwa masyarakat yang tergabung dalam koperasi dapat memperoleh bagi hasil yang signifikan dari produksi minyak rakyat.
Namun, angka tersebut hanya bermakna apabila didukung mekanisme yang transparan, adil, dan benar-benar berpihak pada penghidupan rakyat.
"Jangan sampai legalitas hanya menjadi prosedur administratif yang justru meminggirkan rakyat dari sumber penghidupan mereka,” tambahnya.
DEM Aceh berharap Pemerintah Aceh dan lembaga terkait dapat memastikan bahwa proses legalisasi benar-benar berpihak kepada masyarakat.
Harapan tersebut meliputi penyusunan regulasi tata kelola pertambangan minyak tradisional yang menjamin keselamatan warga, penyediaan pendampingan hukum dan teknis bagi masyarakat pengebor selama masa transisi menuju legalitas.
Selain itu, penghentian kriminalisasi terhadap pengebor tradisional selama proses legalisasi berlangsung, serta perumusan skema bagi hasil yang adil dengan mekanisme distribusi yang melibatkan masyarakat secara nyata.
DEM Aceh juga menekankan pentingnya pelatihan keselamatan, alih teknologi, dan pemenuhan standar K3LL yang dilakukan secara berkala.
Waliyurrahman mengingatkan tragedi ledakan sumur minyak di Dusun Bhakti, Gampong Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak pada 2018 yang menewaskan puluhan warga.
Ia menilai bahwa kejadian tersebut bukan semata-mata kecelakaan teknis, tetapi merupakan cerminan kelalaian negara dalam memberikan perlindungan hukum dan teknis bagi aktivitas pengeboran rakyat.
Lebih lanjut, muncul sejumlah pertanyaan penting yang perlu dijawab oleh pemerintah dan pihak terkait yaitu bagaimana penerapan prinsip Good Engineering Practices (EP) dalam konteks sumur minyak rakyat, yang umumnya masih dikelola secara tradisional dan Apakah ada skema pelatihan atau transformasi teknis yang disiapkan bagi masyarakat.
Selain itu, bagaimana nasib sumur-sumur bor rakyat yang telah beroperasi jauh sebelum Permen ESDM No. 14 Tahun 2025 diterbitkan?, apakah mereka otomatis diakui atau harus mengikuti prosedur baru dari awal?.
Waliyurrahman berharap bahwa sumur minyak rakyat bukan hanya menyangkut produksi energi, tetapi juga merupakan simbol kedaulatan rakyat atas tanah, sejarah, dan masa depan mereka.
"Legalitas harus menjadi jembatan menuju keadilan energi, bukan alat penyingkiran yang dibungkus prosedur administratif,” pungkasnya. [nh]