kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Tanggapan BPMA Kenapa Pemerintah Aceh Belum Terima Hak Partisipasi 3 WK Migas

Tanggapan BPMA Kenapa Pemerintah Aceh Belum Terima Hak Partisipasi 3 WK Migas

Senin, 08 Maret 2021 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Roni

Deputi Dukungan Bisnis BPMA Afrul Wahyuni. [IST]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Aceh hingga Desember 2020 belum juga menerima Hak Partisipasi atau Participacing Interest (PI) sebesar minimal 10 persen dari 3 Wilayah Kerja (WK) Migas seperti WK Blok A, WK Lhokseumawe dan WK Migas Rantau di bawah kewenangan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).

Padahal itu diatur jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh yang menyatakan, kontraktor wajib menawarkan PI paling sedikit 10 persen kepada Badan Usaha Milik Aceh (BUMA)

Menanggapi hal itu, Kepala BPMA Teuku Mohamad Faisal melalui Deputi Dukungan Bisnis BPMA Afrul Wahyuni mengatakan, ketiga WK ini memiliki persoalan yang berbeda sehingga Pemerintah Aceh belum juga menerima Hak Partisipasi.

Untuk WK Migas Rantau penyebabnya karena pengawasan dan pengelolaan WK itu masih di bawah Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas. Hal itu terjadi karena kontrak wilayah kerja Pertamina itu dalam satu kontrak nasional.

"Jadi harus dikeluarkan dulu (dari kontrak sepaket nasional) dan buat kontrak baru di bawah kewenangan BPMA. Nah di kontrak baru itu bakal ada mekanisme penawaran PI-nya nanti. Ini sedang berproses dan dari timeline setidaknya 2021 ini sudah selesai," jelas Afrul saat dihubungi Dialeksis.com, Minggu (7/3/2021).

Kemudian lanjutnya, untuk WK Lhokseumawe saat ini masih dilakukan uji kepatutan dan kelayakan oleh PT Pembangunan Aceh (PEMA). Sebab WK Lhokseumawe ini statusnya baru naik dari eksplorasi ke eksploitasi.

"Lagi menghitung keekonomian ulang, jadi plan of development (POD) sudah disetujui oleh Menteri ESDM. Makanya sekarang sedang dilakukan uji kepatutan itu. Kalau sudah selesai, nanti akan jalan sesuai dengan regulasi yang ada," jelas Afrul.

Sementara itu mengenai WK Blok A, awalnya sewaktu perpanjangan kontraknya 2011 lalu, pengelola WK Blok A yakni PT Medco E&P Malaka sebenarnya sudah menawarkan PI, namun sampai 60 hari batas pengajuan PI, Pemerintah Aceh belum juga memberikan jawaban.

"Tapi kemudian ini terbuka lagi peluang untuk ditawarkan kembali PI. Sebenarnya Gubernur Aceh sudah menyampaikan surat ke PT Medco E&P Malaka sebagai pengelola WK Blok A. Tapi ini sedang ditinjau karena Medco ingin berdiskusi kembali, karena keterkaitannya dengan keekonomian wilayah kerja ini, masih minus" ujar Afrul.

"Intinya, ini semua masih berproses. Inikan karena ada hal-hal yang terlewati di masa lalu, atau kontrak-kontrak yang sudah ada sebelum lahirnya PP Nomor 23 Tahun 2015 (Pembentukan BPMA). Tapi semuanya itu sedang berproses dalam pengembalian hak-hak Aceh sesuai regulasi tersebut," tambahnya.

Hindari arus kas negatif

PI minimal 10 persen merupakan sebuah kewajiban yang diatur dalam regulasi. Namun PT PEMA sebagai BUMA perlu melakukan uji kepatutan untuk menghindari arus kas negatif dari perusahaan pengelola WK.

Deputi Dukungan Bisnis BPMA menjelaskan, beberapa operasi migas cuma mendukung kebutuhan pasokan minyak dan gas, dan itu akan ditanggung oleh negara untuk bagian-bagian yang minusnya.

"Jadi, itulah alasan setiap dilakukannya PI, PT PEMA sebagai BUMA akan melakukan uji kepatutan tadi. Kalau nanti kejadiannya arus kasnya negatif, ngapain kita ambil PI," ungkap Afrul.

"Dan 2021 WK Lhokseumawe kalau cepat dilakukannya uji kepatutan oleh PT PEMA, akan cepat kontrak PI-nya. Walaupun produksinya masih diperkirakan pada 2024. Mudah-mudahan kita harapkan proses PI dan pengembalian hak-hak Aceh cepat selesai semua," pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda