kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Terkait Revisi UUPA, Ini Beberapa Masukan Penting dari Antropolog Aceh

Terkait Revisi UUPA, Ini Beberapa Masukan Penting dari Antropolog Aceh

Sabtu, 26 Februari 2022 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Zakir

Antropolog Aceh Teuku Kemal Pasha. [ Foto: Modus Aceh]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wacana revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) terus menggema dan mulai didiskusikan ke publik. Seperti diketahui, revisi UUPA tersebut kini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (UUPA) DPR RI.

Ragam tanggapan juga telah muncul terkait wacana revisi UUPA ini. Sejumlah tokoh hingga petinggi partai politik nasional di Aceh juga mendukung langkah tersebut. Namun sejumlah elite memperingatkan agar para pemangku kepentingan berhati-hati dalam revisi UUPA agar menjadi masalah untuk Aceh dikemudian hari.

Terkait hal tersebut, Antropolog Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya menekankan kepada para pemangku kepentingan yang terlibat dalam revisi UUPA agar lihai dalam melihat setiap pasal yang ada dalam UUPA, sehingga pun direvisi, UUPA bisa lebih efektif dalam pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh, bukan malah menjadi bumerang.

Teuku Kemal Fasya juga menekankan pentingnya sinergitas semua lapisan masyarakat, baik kalangan mantan pentinggi GAM sebagai pelaku sejarah, tokoh politik, unsur pemerintah, akademisi, aktivis, dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar menghasilkan revisi UUPA yang lebih sempurna dari saat ini.

“Jadi yang perlu dilihat memang pentingnya sinergi antar seluruh masyarakat dalam proses revisi UUPA ini karena yang pertama kita lihat ketidakefektifan UUPA dalam implementasi sehingga akhirnya banyak poinnya yang anomali, baik anomali demokrasi maupun anomali dalam politik kesejahteraannya,” ujar Kemal Fasya saat diminta tanggapan oleh Dialeksis.com, Sabtu (26/2/2022).

Menurutnya, keberadaan UUPA saat ini belum mampu mendongkrak semangat demokrasi di Aceh. Begitu juga dalam hal kesejahteraan masyarakat Aceh, dimana DOKA (Dana Otonomi Khusus Aceh) diatur melalui UUPA juga belum efektif dalam kemajuan Aceh, sehingga Aceh masih berkutat sebagai provinsi termiskin di Sumatera.

“Misalnya secara demokrasi, demokrasi Aceh kan juga tidak meningkat dengan adanya UUPA. Yang Kedua, dari segi konteks implementasi DOKA juga tidak efektif, sama seperti Papua. Kini Aceh tergelincir menjadi provinsi termiskin,” ujar akademisi Unimal itu.

Ditegaskan Kemal Pasha, dalam semangat revisi UUPA, hal yang paling utama adalah kehati-hatian yang harus ditegakkan oleh para pemangku kepentingan yang terlibat dalam revisi UUPA, agar UUPA sebagai Lex Specialis tidak melemah pasca direvisi.

“Nah yang penting dilihat dalam semangat revisi UUPA ini seperti yang dinyatakan oleh Paduka Yang Mulia Malik Mahmud Al-Haytar, dalam artian aspek kehati-hatian harus dimunculkan, jangan sampai upaya untuk memperkuat lex spesialis malah memperlemahkannya,” ujarnya, mengingatkan.

Kemudian, lanjut Antropolog Aceh itu, revisi UUPA harus merespon keresahan masyarakat publik saat ini. “Misalnya tingkat implementasi DOKA atau Dana Otonomi Khusus Aceh sendiri selama ini kan di pasal 183 kan tidak cukup jelas norma pengawasan dan monitoringnya, nah ini mungkin harus dilakukan sehingga dana yang besar dari Otonomi Khusus ini tidak merembes menjadi “peng meramin”, duit bagi-bagi jatah diantara elite,” ungkapnya.

Kemal Pasya juga menekankan beberapa pasal yang harus mendapat perhatian serius dalam revisi UUPA, seperti pasal terkait dengan pelanggaran HAM dan Rekonsiliasi yang menurutnya masih lemah saat ini.

“Karena apa, KKR Aceh yang dibentuk hari ini kan justifikasinya berdasarkan Qanun, sementara dalam UUPA disebutkan harus merujuk kepada Undang-Undang, tapi ternyata Undang-Undangnya sudah di judicial review oleh MK, hanya beberapa bulan sejak UUPA itu disahkan. Jadi harus dilihat dengan cukup jeli,” ujarnya.

“Termasuk juga bagaimana kita menentukan hak-hak keistimewaan dari kewenangan Aceh, misalnya bagaimana posisi Wali Nanggroe yang ideal, kemudian bagaimana memposisikan isu-isu seperti lambang bendera dan himne, jadi itu yang harus dilakukan,” tegas Teuku Kemal Pasha, menambahkan.

Disamping itu, yang menjadi tugas berat para pihak yang terlibat dalam revisi UUPA adalah bagaimana mampu mengawal kewenangan ekonomi secara mandiri, termasuk tentang pengelolaan perdagangan bebas dan juga pelabuhan bebas Sabang.

“Yang paling penting dikawal bersama adalah terkait kewenangan ekonomi, termasuk juga tentang pengelolaan perdagangan bebas dan juga pelabuhan bebas Sabang. Rumusannya kalau kita baca di UUPA memang agak cukup kompleks, tapi di tingkat organiknya, di PP, itu kok kemudian menjadi macet,” bebernya.

“Beberapa diskusi yang kita lihat, misalnya political will dari pemerintah pusat untuk BPKS ini kan masih tanggung, misalnya bagaimana pelabuhan dengan kedalaman yang penting dan bagaimana beberapa keistimewaan dari pelabuhan bebas Sabang misalnya tentang bebas cukai, penyelenggaraan provider bagi barang-barang mewah, seperti mobil mewah bekas dari Singapura tahun 2010 masih ada tapi sekarang tidak ada lagi. Nah sinkronisasi seperti ini menjadi penting, bagaimana penyempurnaan UUPA ini betul-betul bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh,” demikian pungkas Kemal Pasha.

Keyword:


Editor :
Zakir

riset-JSI
Komentar Anda