DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mantan Direktur Eksekutif Walhi Aceh dan akademisi Universitas Serambi Mekah, TM Zulfikar, kembali menegaskan pentingnya penegakan hukum lingkungan untuk mengatasi praktik alih fungsi hutan ilegal di Aceh. Hal ini disampaikan menanggapi maraknya kasus perambahan hutan produksi dan konversi lahan untuk perkebunan sawit yang mengancam ekosistem dan satwa dilindungi.
Zulfikar, yang selama lebih dari satu dekade aktif dalam advokasi lingkungan, menyatakan bahwa kerusakan hutan Aceh telah mencapai tahap mengkhawatirkan.
"Alih fungsi lahan ilegal tidak hanya merusak habitat satwa seperti harimau dan gajah, tetapi juga meningkatkan risiko bencana ekologis seperti banjir dan longsor," tegasnya dalam wawancara eksklusif dengan Dialeksis.com, Kamis (24/4/2025).
Ia merujuk pada temuan Walhi Aceh tahun 2021, di mana Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh terancam akibat penambangan galian C dan deforestasi di kawasan hutan lindung. Saat itu, Zulfikar menyerukan program 'Save Our Seulawah' untuk menyelamatkan sisa hutan yang kritis.
"Sayangnya, hingga 2025, komitmen pemerintah masih lemah. Izin-izin tambang dan perkebunan terus diterbitkan tanpa kajian lingkungan yang memadai," tambahnya.
Selain itu, Zulfikar juga mengkritik praktik pembakaran lahan yang masih terjadi di Aceh Singkil, seperti yang diungkap ALAMP AKSI Aceh. Menurutnya, operasi alat berat tanpa izin jelas (SILO) menunjukkan adanya kolusi antara oknum pejabat dan pelaku usaha.
"Ini bukan sekadar pelanggaran, melainkan kejahatan terstruktur yang merugikan masyarakat dan lingkungan," tegasnya.
Sebagai solusi, Zulfikar mendorong pemerintah Aceh untuk, transparansi dalam penerbitan izin operasi alat berat dan konversi lahar harus diprioritaskan, aparat harus menindak tegas pelaku utama, bukan hanya operator lapangan, program restorasi hutan dan DAS perlu dipercepat untuk mencegah bencana, dan pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal dapat menjadi solusi berkelanjutan.
Zulfikar juga mengajak dan mendorong agar hadirnya kebijakan tata ruang yang pro - lingkungan. "Kemitraan antara aktivis, akademisi, dan pemerintah adalah kunci untuk menyelamatkan Aceh dari krisis lingkungan," pungkasnya. [arn]