DIALEKSIS.COM | Aceh - Kabupaten Aceh Tamiang yang selama ini dikenal dengan kekayaan alamnya, kini dituntut melakukan transformasi menuju produksi kelapa sawit yang lebih berkelanjutan. Hal itu ditegaskan Kepala Bappeda Aceh Tamiang, Muhammad Zein, dalam tulisan yang dilansir di katadata.co.id.
Menurut Muhammad Zein, wilayah Aceh Tamiang memiliki dua potensi alam utama: minyak bumi di bawah tanah serta kebun kelapa sawit di atasnya. Namun meski demikian, potensi tersebut belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi kesejahteraan yang merata bagi masyarakat setempat.
“Sebagian besar petani sawit kami masih menghadapi ketidakpastian harga, keterbatasan akses pasar, serta tekanan akibat praktik budidaya yang belum sepenuhnya ramah lingkungan,” ujar Muhammad Zein.
Ia menambahkan bahwa sistem pemasaran saat ini, di mana petani hanya menjual tandan buah segar (TBS) kepada agen dengan harga yang ditetapkan agen, membuat posisi petani lemah dan sulit memperoleh nilai tambah.
Data yang dipaparkan menyebut bahwa lebih dari 12.000 keluarga di Aceh Tamiang bergantung pada sektor kelapa sawit; mereka mengelola sekitar 25.828 hektare lahan dengan produksi tahunan TBS sebesar 302.818 ton. Selain itu, terdapat 31 perusahaan perkebunan dengan hak guna usaha (HGU) seluas 45.641 hektare. Jika digabungkan dengan wilayah Aceh Timur dan Aceh Singkil, kawasan ini menyumbang sekitar 1,01 juta ton sawit atau 2,1 persen dari total produksi nasional (2023).
Pernyataan ini dilontarkan untuk menegaskan bahwa keberlanjutan sawit di Aceh Tamiang bukanlah isu lokal semata, melainkan bagian dari agenda nasional.
Menanggapi tantangan itu, Muhammad Zein mengungkapkan langkah yang telah ditempuh pemerintah daerah melalui pembentukan Pusat Unggulan Perkebunan Lestari (PUPL) sejak 2019, yang menjadi wadah kolaborasi multi-pihak: pemerintah daerah, LSM, dunia usaha, akademisi, dan komunitas petani. PUPL berfokus pada pendampingan penerapan sertifikasi ISPO dan RSPO sebagai standar keberlanjutan--yang meliputi aspek hukum, lingkungan, sosial dan ekonomi.
“Melalui pendampingan PUPL sejak 2020, proses sertifikasi bagi petani kecil menjadi lebih terarah,” lanjut Muhammad Zein. Ia mencontohkan bahwa hingga saat ini terdapat 2.200 petani dengan lahan seluas 3.189 hektare yang telah disertifikasi ISPO dan RSPO di Aceh Tamiang. Ini membawa perubahan signifikan: petani kini memiliki posisi tawar lebih baik, menjual hanya ke mitra yang menghargai keberlanjutan, dan harga jual TBS pun meningkat hingga 50-60% lebih tinggi dari harga pasar umum.
Lebih lanjut, Muhammad Zein menekankan pentingnya menekan deforestasi dan menjaga kawasan hutan penyangga, terutama karena wilayah Aceh Tamiang berbatasan dengan kawasan konservasi strategis seperti Taman Nasional Gunung Leuser.
Ia menyebut bahwa salah satu syarat sertifikasi adalah legalitas lahan, yang mendorong petani untuk menghindari praktik perambahan. Pemerintah daerah bersama kesatuan pengelolaan hutan aktif melakukan sosialisasi dan patroli--termasuk penertiban kebun sawit ilegal seluas ratusan hektare.
“Menjaga hutan tidak selalu berarti melarang petani menanam, tetapi menata ulang tata kelola lahan agar setiap hektare memberikan manfaat ekonomi tanpa merusak fungsi ekologisnya,” tutur Muhammad Zein.
Meski banyak kemajuan telah diraih, Muhammad Zein mengakui bahwa perjalanan menuju sawit berkelanjutan di Aceh Tamiang belum selesai. Ia mencatat masih banyak petani yang membutuhkan pendampingan lebih lanjut serta tantangan dalam memperkuat sistem tata kelola lahan.
“Kesejahteraan masyarakat harus sejalan dengan kelestarian lingkungan. Pembangunan ekonomi daerah tidak harus bertentangan dengan konservasi alam,” tegasnya.
Dengan dukungan semua pihak -- pemerintah, swasta, dan masyarakat -- Muhammad Zein optimistis bahwa sawit berkelanjutan dapat menjadi model pembangunan daerah yang adil, hijau, dan berdaya saing. [arn]