kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / WALHI Aceh: 7500 Ha Kerusakan Hutan Akibat Pertambangan Emas Ilegal

WALHI Aceh: 7500 Ha Kerusakan Hutan Akibat Pertambangan Emas Ilegal

Jum`at, 28 Desember 2018 18:02 WIB

Font: Ukuran: - +

Muhammad Nur, Direktur Eksekutif WALHI Aceh.

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 859/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2016, Tentang Kawasan Hutan Aceh dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh disebutkan luas Kawasan Hutan dan Konservasi 3.563.813 ha  terdiri dari  Wilayah Konservasi Daratan 1.057.628 ha, Hutan Lindung (HL) 1.794.350 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 145.384 ha, Hutan Produksi (HP) 551.073 ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) 15.378 ha.

Investasi di Aceh berdasarkan AMDAL di tahun 2018 mencapai 943 ha dalam kawasan hutan maupun diluar kawasan. Selain itu pertambangan illegal perkiraan mencapai 6.000  ha yang tersebar di 6 kab/kota, yaitu Pidie, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan raya, Aceh Tengah dan Aceh Besar, selain itu WALHI Aceh juga menemukan 32 titik illegal logging tersebar di 17 kabupaten/kota dengan jumlah kayu ± 70.186 ton kayu dengan perkiraan luas kawasan hutan yang rusak mencapai 175 ha

Sektor  perhutanan sosial dan TORA merupakan bagian dari solusi konflik kehutanan dan krisis ruang kelola bagi rakyat belum menjadi program prioritas pemerintah Aceh hingga akhir tahun 2018. provinsi Aceh hanya mampu memfasiltasi mencapai ± 42 ribu ha (9,4%) dari target ± 400 ribu ha yang dibantu masyarakat sipil.

Sebanyak 127 perusahaan perkebunan di Aceh yang mengantongi izin HGU untuk komoditi kelapa sawit, karet, kakao, kopi, dan komoditas lainnya. Namun, komoditi kelapa sawit mendominasi perkebunan besar di Aceh. Pemerintah Aceh bersama pemerintah kabupaten/kota sudah seharusnya mengambil langkah konkrit untuk melakukan evaluasi izin perkebunan kelapa sawit di Aceh. Perkebunan kelapa sawit yang tidak produktif dan bermasalah dengan izin sudah sepatutnya diberikan sanksi tegas. Namun, sampai akhir tahun 2018, pemerintah daerah belum mengambil peluang TORA (tanah objek reformasi agraria).

Demikian Catatan Akhir Tahun 2018 yang dirilis oleh WALHI Aceh, Kamis (27/12).

Untuk sektor pertambangan, berdasarkan data Pemerintah Aceh, Izin Usaha Pertambangan (IUP) berjumlah 37 IUP/KK dengan luas areal mencapai 156.003 ha yang berada di 10 kabupaten/kota.

Pertambangan emas ilegal masih marak terjadi di Aceh hingga akhir tahun 2018, upaya hukum yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum belum efektif, WALHI Aceh masih menemukan aktifitas pertambangan emas ilegal di Pidie, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Selatan. Total kerusakan hutan dan lahan dampak dari pertambangan emas ilegal mencapai ±7500 ha.

"Sedangkan untuk PT. Emas Mineral Murni (PT. EMM) yang telah diterbitkan IUP Operasi Produksi oleh BKPM RI mendapatkan penolakan dari masyarakat. PT. EMM mendapatkan izin operasi produksi di atas areal 10.000 ha berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah, saat ini masyarakat bersama WALHI Aceh sedang melakukan gugatan hukum di Pengadilan TUN Jakarta Timur untuk pencabutan izin." Kata Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Muhammad Nur, Kamis (27/12).

WALHI Aceh juga melakukan investigasi sepanjang tahun 2018 ke wilayah kerja PT. Mifa Bersaudara di Aceh Barat. pertambangan emas ilegal pidie, PT. Cemerlang Abadi di Kabupaten Aceh Barat Daya, PT. Asdal Prima Lestari di Aceh Selatan, PT. Syaukath Sejahtera di Aceh Utara, pencemaran limbah PKS PT. Raja Marga di Nagan Raya, perambahan hutan lindung mangrove di Aceh Tamiang, perambahan hutan lindung Keumuning di Kota Langsa, perambahan dan ilegal logging dalam TNGL di Aceh Tenggara, dan mendorong perbaikan tata kelola SDA berbasis lahan dan kawasan hutan.

"Dari 10 kasus yang menjadi agenda advokasi WALHI Aceh di tahun 2018, satu kasus diantaranya dilakukan gugatan hukum yaitu PT EMM, sembilan kasus lainnya dilakukan pelaporan kasus ke lembaga penegak hukum dan pemerintah daerah untuk upaya perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Aceh." Tambahnya. (rel)


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda