kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Waspadai Hoaks di Masa Tenang Pilkada Aceh 2024

Waspadai Hoaks di Masa Tenang Pilkada Aceh 2024

Selasa, 26 November 2024 22:58 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora
Ilustrasi hoax. Foto: Net

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sebuah unggahan di media sosial yang memperlihatkan uang tunai bersama dengan Kartu Aceh Barat Sehat menjadi perhatian masyarakat. 

Dalam unggahan yang dilansir oleh media Dialeksis, Selasa, 26 November 2024, seorang pengguna Facebook, Siti Rosanah, meminta Tim Hakam lebih ekstra dalam mengawasi dan memantau wilayah masing-masing.

"ini uang dan kartu, mohon pejuang Tim Hakam untuk lebih ekstra mengawasi dan memantau di wilayah masing2,,Trims, @sorotan," tulis akun Facebook @SitiRosanah.

Unggahan ini memuat foto uang sejumlah Rp150.000, disertai dengan Kartu Aceh Barat Sehat, yang diketahui merupakan program unggulan. Kartu ini dilengkapi dengan foto dua tokoh, Tarmizi SP, MM, dan Said Fadhel SH, yang tampaknya menjadi figur kunci dalam pelaksanaan program ini.

Diketahui, Tarmizi dan Said Fadhel merupakan Pasangan Calon (Paslon) nomor urut 1 untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Aceh Barat. 

Sementara itu, Calon Bupati Aceh Barat, Tarmizi, membantah unggahan yang viral di media sosial tersebut. Tarmizi menegaskan bahwa isu tersebut adalah hasil kerja oknum buzzer yang bertujuan menjatuhkan citranya menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

"Owh, di sosmed itu kerja buzzer dan sudah saya laporkan akunnya ke pihak kepolisian. Adanya kartu sehat kita itu ditaruh uang mereka, habis itu disebarluaskan ke orang lain. Tadi malam sudah kita laporkan ke Polres Aceh Barat. Mereka mainkan isu seperti itu," ujar Tarmizi kepada wartawan Dialeksis, Selasa (26/11/2024).

Terkait maraknya hoaks, Koordinator Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Wilayah Aceh, Destika Gilang jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa hoaks, ujaran kebencian, dan potensi polarisasi masyarakat dapat merusak nilai-nilai demokrasi. 

Untuk itu, perlunya kolaborasi antara seluruh elemen masyarakat, termasuk aparat kepolisian, penyelenggara pemilu, organisasi masyarakat sipil (CSO), dan tim sukses (timses) kandidat, untuk menciptakan suasana politik yang sehat. 

"Pilkada adalah pesta demokrasi, ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaik. Namun, sayangnya, masih banyak praktik tidak sehat seperti penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang berpotensi memecah belah masyarakat," ujarnya kepada Dialeksis.com, Kamis (21/11/2024).

Destika mengungkapkan bahwa tingkat penyebaran hoaks di Aceh meningkat signifikan menjelang Pilkada. 

Ia mencontohkan beredarnya video hasil rekayasa kecerdasan buatan (AI) yang mengaitkan tokoh nasional dengan dukungan kepada salah satu calon. 

"Ada juga hoaks seperti isu pengeboman atau klaim yang salah tentang calon tertentu, seperti manipulasi pernyataan untuk memutarbalikkan fakta," tambahnya.

Menurutnya, pola-pola seperti ini sangat merugikan masyarakat. "Kita tidak memilih pemimpin dengan cara-cara kotor seperti menyebarkan fitnah atau memanipulasi informasi. Pilkada harus menjadi ajang untuk mempromosikan gagasan, bukan kebencian," tegasnya.

Destika mengingatkan tim sukses kandidat untuk berpolitik secara santun dan sportif. "Kami melihat di media sosial, timses banyak yang menggunakan makian, ujaran kebencian, bahkan seruan untuk mengusir pihak tertentu dari Aceh. Hal ini harus dihentikan," tegasnya.

Menurutnya, upaya menciptakan Pilkada yang damai adalah tanggung jawab bersama. Penting bagi semua, termasuk masyarakat, aparat, dan pemangku kepentingan lainnya, untuk menjaga suasana kondusif dan tidak membiarkan kekerasan, intimidasi, atau hoaks mengganggu proses demokrasi.

"Dengan Pilkada 2024 yang semakin dekat, harapan akan pelaksanaan yang damai dan demokratis menjadi sorotan utama. Namun, tantangan berupa penyebaran hoaks dan polarisasi tetap menjadi ancaman yang harus diatasi bersama," pungkasnya. 

Selain itu, menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, makna Pilkada damai harus diperluas, bukan hanya sebatas absennya kekerasan fisik, tetapi juga terbebas dari misinformasi, disinformasi, dan manipulasi informasi yang dapat merusak demokrasi.

Ia mengingatkan bahwa minggu tenang menjelang Pilkada sering kali menjadi periode rawan penyebaran informasi palsu. Selama masa ini, upaya untuk menyebarkan informasi yang salah justru cenderung meningkat.

"Biasanya, pada masa tenang, justru muncul berbagai informasi tidak tepat yang menyasar masyarakat. Ini bisa berupa misinformasi, disinformasi, atau bahkan hoaks yang sengaja disebarkan untuk memanipulasi persepsi pemilih. Ini adalah bentuk lain dari kekerasan terhadap demokrasi," tambahnya.

Di tengah arus informasi yang deras, Azharul menekankan pentingnya literasi digital bagi masyarakat untuk meminimalkan dampak misinformasi. 

Ia mengingatkan bahwa informasi dari media sosial seperti X, TikTok, atau Instagram sering kali sulit diverifikasi kebenarannya, apalagi dengan berkembangnya teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) yang dapat memanipulasi data.

"Masyarakat harus lebih kritis dalam mengonsumsi informasi, terutama yang berasal dari media sosial. Salah satu cara paling efektif adalah dengan memverifikasi informasi tersebut ke media yang kredibel," jelasnya.

Azharul merekomendasikan untuk mengecek informasi dari setidaknya lima hingga sepuluh media yang terpercaya agar mendapatkan gambaran yang lebih akurat.

Selain itu, Azharul mengimbau agar semua pihak termasuk pemerintah, penyelenggara pemilu, media, dan masyarakat bersama-sama melawan penyebaran hoaks.

"Ini bukan hanya tugas satu pihak. Penyelenggara pemilu harus memastikan regulasi ditegakkan. Media harus aktif memverifikasi dan memberikan informasi yang benar. Sementara masyarakat harus lebih cerdas dalam memilah informasi," tutupnya.[nr]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda