kip lhok
Beranda / Analisis / Anatomi Politik dan Proyeksi Pilkada Aceh 2024

Anatomi Politik dan Proyeksi Pilkada Aceh 2024

Senin, 28 Maret 2022 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Penulis: Aryos Nivada (Dosen Jurusan Politik FISIP USK dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif)


Cara memahami politik Aceh haruslah dilakukan dengan pencermatan terhadap bagaimana kekuasaan dimaknai beroperasi atau dengan cara apa kekuasaan itu dioperasikan, khususnya lokus Pilkada. Dielaborasikan memahami secara tersirat sehingga menemukan tingkat kebenaran yang dapat dipercaya. Tentunya pperasionalisasinya berbasiskan informasi dan data kredibel dan dapat dipertanggung jawabkan. Berpedoman hal itulah tulisan ini dijabarkan sehingga jadi menarik diulas.

Dimulai ketika kita berbicara Pilkada di Aceh amat menarik, karena Pilkada Aceh tak hanya unik namun juga mampu mewarnai langgam demokrasi Indonesia, dibuktikan keberadaan partai lokalnya menjadikan keanomalian dalam catur perpolitikan. Sejarah mencatanya, bahwa pelaksanaan Pilkada Aceh menjadi pioner kehadiran calon independen (perseorangan) dalam dinamika politik kelokalan Aceh guna merebut singgasana kepala daerah.

Kita ketahui bersama pasca konflik, Aceh sudah melangsungkan pesta demokrasi Pilkada langsung sebanyak 3 kali dimulai dari Pilkada Tahun 2006, Pilkada Tahun 2012 dan terakhir Pilkada Tahun 2017. Pilkada Aceh sudah berjalan kurun waktu satu dekade lebih, uniknya kerap menghasilkan pemimpin dari kalangan eks GAM maupun kombatan.

Dalam catat sejarah Pilkada Aceh yang digelar 11 Desember 2006 memenangkan pasangan Irwandi Yusuf (mantan propagandis GAM) dan Muhammad Nazar (Tokoh Referendum Aceh) yang maju dari jalur Independen sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh periode 2006 - 2012. Data KIP Aceh saat itu menunjukkan, jumlah pemilih sebanyak 2.632.935 orang, yang tersebar di 21 kabupaten/kota. Saat itu kondisi riilnya Aceh masih dalam masa peralalihan paska konflik sekaligus belum sepenuhnya terintegrasi eks GAM ke dalam sistem politik Indonesia, hal ini karena belum terbentuknya partai politik lokal saat itu.

Dilanjutkan fase kedua kepemimpinan dari kalangan “eks GAM” tercatat pada pada Pilkada Aceh Tahun 2012 yang digelar 9 April 2012, dimana jumlah pemilih sebanyak 3.244.729 orang. Hasil Pilkada 2012 diumumkan dalam rapat pleno KIP Aceh yang digelar di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Selasa 17 April 2012. Pasangan Zaini Abdullah (Mantan Menteri Luar Negeri GAM) dan Muzakir Manaf (Mantan Panglima GAM) yang diusung oleh Partai Aceh resmi memenangkan Pilkada Aceh dan selanjutnya memimpin untuk periode 2012 - 2017.

Fase terakhir sebelum diseragamkan pelaksanaan Pilkada 2024 yaitu dilaksanakan Pilkada Aceh tahun 2017, pasangan calon terpilih gubenur dan wakil gubernur Aceh periode 2017-2022 dimenangkan kembali oleh mantan propagandis GAM Irwandi Yusuf yang kali ini berpasangan dengan kader dari Partai Demokrat, Nova Iriansyah. Ditunjukan perolehan 898.710 suara. Pasangan ini diusung oleh sejumlah parpol, yakni Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai Demokrat, PKB, PDIP dan PDA. Adapun Jumlah Pemilih tetap pada Pilkada Aceh 2017 sebanyak 3.434.722 orang. Pemilih ini tersebar di 6.477 ‘gampong’ (desa) dalam 289 kecamatan di 23 kabupaten dan kota di Aceh.

Jika mencermati pada konteks pelaksanaan Pilkada, Pilkada Aceh mengalami keanomalian karena Aceh masih menganut rezim pemisahan antara Pemilu dan Pilkada saat dilaksanakan tiga kali Pilkada saat itu. Namun pasca diberlakukan UU Pilkada, maka yang berlaku adalah rezim Pemilu serentak.

Simak dari pengalaman tiga kali Pilkada Aceh, terdapat catatan penting dapat disimpulkan sebagai sebuah temuan dinamika politik di Aceh. Pertama, Pilkada Aceh sangat dipengaruhi etnonasionalisme ke-Acehan, itu menunjukan magnet politik identitas lebih terasa daripada magnet nasional. Kedua, ada pergeseran kepercayaan masyarakat Aceh awalnya di dominasi partai lokal mengarah ke peningkatan kepercayaan ke partai nasional. Terlihat jelas dari komposisi keterwakilan partai di parlemen Aceh. Ketiga, tiga kali di pimpinan dari kalangan eks GAM ternyata belum membuat perubahan kehidupan masyarakat Aceh di seluruh aspek kebutuhan publik, seperti kesejahteraan, kesehatan, dll. Terpenting keempat, trend penurunan kekuasaan di eksekutif dari kalangan eks GAM atau Partai Aceh ditataran kabupaten/kota dratis menurun dibandingkan di tahun 2006 signifikan, mulai menurun di Pilkada 2012, hingga 2017. Belum lagi nilai ketokohan para manta neks GAM sudah mulai meredup seiring penilaian selama berkuasa dan berinteraksi dengan masyarakat Aceh.

Lanjut bahasan ke dinamika dan posisi tawar di level lokal, keberadaan partai politik lokal di Aceh menjadi menarik jika dikaji secara keilmuan tata kelola Pemilu Indonesia. Dimana berdasarkan tinjauan Pasal 91 ayat (1) UUPA, bahwa partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dan partai politik lokal dapat mengajukan pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 91 ayat (1) UUPA, Pasal 91 ayat (2) menyebutkan bahwa partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai politik lokal, dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRA atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRA di daerah yang bersangkutan.

Disamping itu berdasarkan Pasal 91 ayat (3), bahwa partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai politik lokal wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi persyaratan.

Lantas apa yang bisa kita pelajari dari keberadaan parlok di Aceh. Fakta berbicara mengalami ‘trend’ kenaikan dilihat dari jumlah keterwakilan parlok di parlemen lokal (provinsi hingga kabupaten/kota). Bila hasil Pemilu 2009 parlok Aceh yang mendapat kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) hanya dua partai, Partai Aceh dan PDA. Dari total 64 Kursi di DPRA, PA memperoleh 33 kursi dan PDA 1 kursi.

Di Pemilu berikutnya tahun 2014, Parlok Aceh yang mengisi parlemen bertambah dengan kehadiran Partai Nasional Aceh (PNA). Dari total 81 Kursi DPRA, PA memperoleh 29 Kursi, PNA 4 Kursi dan PDA 1 Kursi.

Kemudian hasil Pemilu 2019 Jumlah parlok yang mengisi DPRA meningkat lagi dengan kehadiran Partai SIRA berhasil tembus mewarnai parlemen Aceh. Dari total 81 kursi DPRA, dimana komposisinya PA memperoleh 18 kursi, PDA 3 kursi, PNA 6 kursi dan Sira 1 kursi.

Jika berkaca dari pengalaman Pemilu diatas pembelajaran positifnya pemilih memiliki caranya sendiri dalam memberikan dukungan dan kepercayaan kepada partai politik, bahkan menghukum mereka yang dirasakan dan dinilai tidak komitmen terhadap janji politiknya maupun penilaian kinerja selama berkuasa.

Lebih dalam lagi mencermati dinamika lokal Aceh, partisipasi elit politik Aceh sangat dinamis didalam arena kontestasi perebutan kekuasaan. Hal ini karena keberadaan parlok dan parnas sekaligus di Aceh menjadikan kontestasi di Aceh menjadi menarik untuk disimak yang membedakan dengan provinsi lain di Indonesia.

Siklus Pilkada Aceh adalah lima tahun sekali. Hal ini sesuai dengan Pasal 65 UUPA yang menyebutkan masa pemilihan gubernur Aceh, bupati dan wali kota dilaksanakan selama lima tahun sekali.

Atas dasar itu Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh kemudian membuat tahapan, jadwal, dan program untuk pemilihan 2022 dan meminta pandangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Namun, KPU RI meminta KIP Aceh untuk melakukan penundaan menunggu keputusan dilanjutkan atau tidaknya revisi Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu. Apabila UU Pemilu tidak direvisi, pilkada akan digelar serentak pada 2024.

Dalam surat surat KPU Nomor: 151/PP.01.2-SD/01/KPU/II/2021 yang ditandatangani Pelaksana Tugas Ketua KPU RI Ilham Saputra, Kamis (11/2), KPU RI mengatakan tahapan, program, dan jadwal pilkada Aceh tidak dapat dilaksanakan pada 2022. Penundaan penyelenggaraan pemilihan di Provinsi Aceh, menunggu hingga dikeluarkannya keputusan sesuai Undang-Undang No.6/2020 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang.

Pada akhirnya seiring dinamika politik berkembang dan tak kunjung terealisirnya anggaran Pilkada Aceh 2022, menyebabkan KIP Aceh memutuskan menunda Tahapan Pilkada Aceh 2022 melalui Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor: 10/PP.01.2-Kpt/11/Prov/IV/2021 Tanggal 2 April 2021. Dalam surat keputusan itu memuat tentang penundaan pelaksanaan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh Tahun 2022 sebagaimana Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 1/PP.01.2-Kpt/11/Prov/I/2021.

Ending tahapan Pilkada Aceh, Aceh dengan ‘terpaksa’ mengikuti melodi kebijakan sentralistik pemerintah pusat dalam tata kelola Pilkada, dimana Aceh masuk dalam skema pelaksanaan Pilkada serentak nasional tahun 2024.

 Apa pesan pentingnya, ketika gerakan menginginkan Pilkada 2022 tidak jadi kebutuhan bersama elit, namun terpolarisasi ke kubu menolak Pilkada 2022 dan memilih 2024. Maka “bargaining position” (nilai tawar) Aceh menjadi tidak bernilai dimata pusat. Bahkan komunikasi politik yang dibangun pun sangat lemah guna memperjuangkan kepentingan Pilkada 2022. Akankah ini selalu terulang? Semua jawaban ada pada kita semua.

Membaca Proyeksi Pilkada Aceh 2024

Bila tak ada aral melintang, Aceh akan melaksanakan mengikuti skema Pilkada serentak nasional di tahun 2024.

Membaca Proyeksi Pilkada 2024 sangat tergantung dari hasil Pemilu 2024. Hingga kini belum dapat dijustifikasikan siapa partai berkuasa yang nantinya akan mempengaruhi peta politik pada saat pelaksanaan Pilkada serentak nasional 2024.

Untuk mengubah pengaruh hasil politik nasional saat Pilkada 2024 jika terlaksana di Aceh, maka terpenting kuatkan politik identitas kelokalan hingga membuat warna lebih dominan. Jika terjadi sudah dipastikan langgam politik lokal memiliki posisi tawar (bargaining position) yang strategis daripada pengaruh politik nasional. Namun dalam wacana nama yang beredar untuk menjadi kepala daerah di Aceh sejauh ini perlahan sudah muncul.

Prediksi ke depannya hasil pemilu 2024 keberadaan partai lokal akan tetap ada, karena sudah menjadi bagian terikat secara emosional masyarakat Aceh. Selain itu munculnya tokoh dari partai nasional akan mengambil tempat sebagai tokoh politik yang diinginkan masyarakat Aceh ketika pemilihan kepala daerah nantinya. Hal penting lainnya, eksistensi parnas akan semakin menguat secara kekuasaan, akan tetapi tetap tidak bisa mengimbangi pengaruh politik dari kalangan partai lokal. Tidak menutup peluang, kontrol politik di parlemen nantinya akan dikendalikan parnas. Dengan catatan jika koalisi yang dibangun sesama parnas solid.

Berdasarkan rekam jejak pemberitaan disejumlah media dan wacana yang beredar di media sosial, sejumlah nama yang mulai muncul sebagai kandidat Gubernur Aceh diantaranya M. Nasir Djamil, Muzakir Manaf (Mualem) , Tu Sop, Sudirman (Haji Uma), Aminullah Usman, Nova Iriansyah (Gubernur Aceh), Tarmizi Karim, MawardI Ali, Syamsul Rizal (Mantan Rektor USK) hingga Otto Syamsuddin Ishak (Akademisi).

Dari sejumlah nama yang muncul, jika dilihat dari sejumlah peluang yang akan maju, yang masih memiliki kans kuat hanya beberapa nama. Diantaranya Nasir Djamil yang merupakan kader PKS yang telah lama berkiprah di DPR RI. Kemudian Muzakir Manaf yang merupakan ketua Partai Aceh serta Mawardy Ali ketua PAN Aceh.

Dilihat dari catatan sejumlah lembaga survei, Nasir Djamil memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas yang cukup signifikan dibandingkan nama nama lain yang muncul. Survei Yayasan Konsultasi Riset dan Bisnis Indonesia (Yarkorbis) pada 8 Februari 2021 menunjukan Nasir Djamil memperoleh persentase tertinggi yakni 24,36 persen, , disusul Haji Uma (21,19 %), Tarmizi A Karim (15,25%), Muzakir Manaf (Mualem) (11,49%), Aminullah Usman (8,51%), Nova Iriansyah (Incumbent) (7,13%).

Lebih lanjut lagi jika melihat proyeksi Pilkada Aceh 2024, keberadaan kandidat yang muncul tentu tidak bisa dilepaskan dari dukungan politik di tingkat pusat terhadap kandidat kandidat tersebut. Oleh karena itu hasil pemilu 2024 secara nasional sedikit banyak mempengaruhi arah politik di tingkat lokal.

Disisi lain perlu ditekankan bahwa pelaksanaan Pilkada 2024 nantinya dapat menjadi pertaruhan serius di dalam membawa perubahan signifikan bagi Aceh secara seluruh aspek pembangunan. Tentunya orang - orang yang nantinya akan duduk di kursi kekuasaan di Aceh mutlak perlu memiliki komitmen serius dan didukung secara political will oleh elit politik maupun masyarakat Aceh.

Itulah anatomi politik dan proyeksi membaca langgam politik 2024 di Aceh. Sangat tergantung bagaimana kita memaknai kondisi dinamika perpolitikan di Aceh serta sikap seperti apa yang dapat kita lakukan memberikan perubahan kondisi politik di Aceh menjadi lebih baik lagi ke depannya, sesuai harapan dan mimpi kita bersama yaitu merasakan kesejahteraan, pelayanan publik yang maksimal maupun pembangunan ekonomi menguntungkan ekonomi rakyat Aceh.

Penulis:  Aryos Nivada (Dosen Jurusan Politik FISIP USK dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda