kip lhok
Beranda / Analisis / Darurat Kelembagaan KPPA Terhadap Eksistensi Advokasi Hak Anak

Darurat Kelembagaan KPPA Terhadap Eksistensi Advokasi Hak Anak

Minggu, 23 Januari 2022 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis: Ayu Ningsih, S.H, M.Kn (Wakil ketua/Komisioner KPPAA). Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Analisis - Meskipun berbagai Regulasi terkait perlindungan anak di tingkat nasional dan daerah telah terbit, namun perlindungan anak belum menjadi budaya yang masif di masyarakat. Implementasi perlindungan anak belum sepenuhnya menjawab persoalan faktual dan menjadi solusi. Pelanggaran hak anak, belum dipahami dalam perspektif yang sama dan Kehadiran Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) sebagai sebuah lembaga daerah yang bersifat independent yang mengawasi penyelenggara perlindungan anak di Aceh juga belum mendapat dukungan dengan baik.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) di seluruh Indonesia serta KPPAA secara masif telah melakukan advokasi membangun Sistem Perlindungan Anak yang terdiri atas aspek norma, regulasi, struktur, kelembagaan, program dan anggaran dalam rangka mengefektifkan penyelenggara perlindungan anak.

Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya terlaksana sesuai norma dan prinsip-prinsip perlindungan anak, yang bertujuan untuk memastikan realisasi mandat konstitusi dan regulasi, memastikan lahirnya regulasi yang berperspektif perlindungan anak, memastikan stakeholder melaksanakan fungsinya mencegah pelanggaran hak anak.

Peran KPPAA sangat penting dalam memastikan pengawasan terhadap penyelenggara perlindungan anak di Aceh, karena isu perlindungan anak merupakan isu lintas sektor:

• Urusan perlindungan dan pemenuhan hak anak tersebar di berbagai SKPA;

• Anggaran perlindungan dan pemenuhan hak anak tersebar di berbagai SKPA dan belum sepenuhnya berorientasi perlindungan anak;

• Koordinasi antara SKPA dan lintas sector terkait lainnya masih minim;

• Cenderung sektoral, minim sinergi dan keterpaduan program dan kegiatan perlindungan dan pemenuhan hak anak

Hasil pengawasan KPPAA terhadap pemenuhan hak sipil anak sudah mencapai angka 85% lebih anak-anak di Aceh telah mendapatkan akta kelahiran dan Kartu Identitas Anak. Namun untuk informasi layak anak, hingga saat ini masih belum ada kebijakan dan regulasi yang mengatur, sehingga masih banyak anak-anak yang terjerumus dalam informasi dan pemanfaatan teknologi yang salah, yang berakibat pada meningkatnya jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual, meningkatnya anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual, terpapar pornografi/pornoaksi, ketagihan gadget dan terjerumus dalam pergaulan yang salah/menyimpang, trafficking, menjadi menjadi korban bully cyber, judi online, prostitusi online, penipuan online dan lain sebagainya.

Hasil pengawasan KPPAA terhadap kluster Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, tingginya angkanya perceraian di Aceh (sebanyak 12.821.000 kasus yang diputus oleh Mahkamah Syariah pada tahun 2020 dan per November 2021 sebanyak 12.421.000 kasus perceraian), hal ini menyebabkan sejumlah anak-anak mengalami masalah perebutan hak asuh dari orang tua yang telah bercerai, penelantaran nafkah anak, tidak mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtua, perkawinan dini, terjerumus dalam pergaulan salah/menyimpang dan menjadi korban penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang lainnya. Bahkan dari 1.280 kasus perdata anak yang ditangani oleh Mahkamah Syariah Aceh sejak tahun 2018 – 2020, ada 1.152 perkara merupakan permohonan dispensasi nikah anak.

Pengasuhan alternatif anak pada institusi sosial lainnya seperti yayasan/panti sosial, masih mengalami berbagai masalah yang masih memprihatinkan seperti masalah masih kurangnya perspektif pengasuhan terhadap anak asuh yang ditempatkan dipanti, kurangnya jumlah pengasuh, tidak ada pekerja sosial yang ditempatkan di panti, masalah gizi, kebersihan, sanitasi lingkungan, status kesehatan yang rendah, minimnya sarana kreativitas bagi anak untuk mengembangkan minat dan bakat, minimnya pendidikan karakter yang diberikan pada anak asuh, sebagian malah terindikasi mengalami kekerasan fisik, psikis dan seksual (hal ini terdapat dalam body mapping yang dilakukan oleh KPPAA terhadap beberapa anak yang tinggal di panti).

Hasil Pengawasan di bidang kesehatan, menunjukkan masih tingginya angka stunting yang dialami oleh anak-anak di Aceh yang diakibatkan oleh gizi buruk pada anak, pengasuhan yang keliru yang menyebabkan tumbuh kembang anak menjadi tidak optimal. Secara Nasional Aceh menduduki peringkat 3 stunting, yang selama beberapa tahun penanganannya belum membawa perubahan yang cukup signifikan dalam upaya pengentasan stunting secara menyeluruh. Data stunting Aceh yang di kutip dari Website Dinas Kesehatan Aceh, tahun 2019 sebanyak 11.020 kasus, Tahun 2020 sebanyak 21.415 kasus, Tahun 2021 sebanyak 33.017 kasus.

Sisi lain data hasil pengawasan bidang perlindungan khusus anak, hingga saat ini masih perlu perhatian serius dari pemerintah. Meskipun di Indonesia telah ada Undang-undang Perlindungan, namun UU tersebut tidak berlaku di Aceh, yang berlaku adalah Qanun Hukum Jinayat Aceh (QHJA) yang dalam implementasinya perlu dilakukan evaluasi, karena belum memberikan rasa keadilan bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan makin menambah luka, trauma yang mendalam dan berkepanjangan bagi korban.

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak semakin meningkat jumlahnya dengan motif yang semakin memprihatinkan dan di luar nalar kemanusiaan. Kasus kekerasan terhadap anak terjadi di segala lini mulai dari lingkup rumah tangga, tempat/fasilitas umum, pusat perbelanjaan, institusi Pendidikan, sarana/tempat ibadah hingga merambah di tempat kerja.

- Data Pengaduan yang diterima oleh KPPAA sejak tahun 2017 2021 ada 2.975 pengaduan langsung dan pengaduan tidak langung.

- 28 kasus yang masuk telah di mediasi oleh KPPAA seperti kasus terbanyak adalah perebutan hak asuh anak, penelantaran anak, kasus bully yang berdampak terhadap anak yang dikeluarkan dari sekolah, kasus perkawinan anak di bawah umur.

- Dari Data pengaduan P2TP2A/UPTD PPA Aceh Sejak tahun 2017 – 2021 ada 2.860 kasus kekerasan terhadap anak dan 1.463 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.

- Data anak yang berhadapan dengan hukum yang ditangani oleh dinas social 2017 – 2020 ada 1.940 kasus

- Data penanganan kasus anak di Polda Aceh tahun 2018 – 2020 ada 563 perkara. Dimana 440 perkara menggunakan UU Perlindungan Anak dan 169 Perkara menggunakan Qanun Hukum Jinayat, sedangkan tahun 2021 sebanyak 60 kasus semuanya ditangani menggunakan Qanun Jinayat.

- Data Pengadilan Mahkamah Syariah Aceh tahun 2018 – 2020, Ada 207 perkara Jinayat, dengan rincian 181 anak menjadi korban, 29 kasus merupakan anak sebagai pelaku pidana

- Data Pengadilan Negeri Banda Aceh, tahun 2018 – 2020 ada 55 perkara anak diluar 10 perkara yang di atur dalam Qanun Jinayat, seperti perkara pencurian, penganiayaan, narkotika, penggelapan dan UU ITE

- Sementara data andikpas di LPKA per 23 Desember 2021 berjumlah 33 anak dan 80% merupakan anak pelaku asusila yang disebabkan karena ketagihan menontong film porno, anak-anak tersebut divonis dengan hukum 36 – 41 bulan.

Di saat Aceh masih memiliki banyak permasalahan di bidang perlindungan dan pemenuhan hak anak, yang memerlukan pengawasan dalam pelaksanaannya, lalu timbul inisiatif DP3A Aceh untuk membekukan kelembagaan KPPAA dengan dalih, saat ini Aceh sudah memiliki UPTD PPA, yang tupoksinya tumpang tindih dengan KPPAA, sehingga DP3A tidak lagi memperpanjang masa tugas KPPAA yang akan berakhir hingga 27 Februari 2022. Padahal KPPAA dan UPTD PPA merupakan dua lembaga yang berbeda yang perannya tidak bisa saling menggantikan, KPPAA memiliki tugas pengawasan penyelenggaran perlindungan anak yang pembentukannya diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Anak, Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 2016, Pasal 57 Qanun Aceh tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Gubernur Aceh No.85 tentang KPPAA. KPPAA bertanggungjawab kepada Gubernur Aceh,

Sedangkan UPTD PPA tugasnya melaksanakan fungsi layanan, pendampingan dan rehabilitasi yang pengaturannya diatur melalui Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Nomor 4 tahun 2018 dan bertanggungjawab kepada Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Aceh.

Ironisnya lagi ide untuk pembekuan kelembagaan KPPAA juga dilakukan secara sepihak oleh DP3A tanpa melibatkan KPPAA dan lintas sector terkait lainnya yang ada di Aceh. Dengan Total Angaran Rp. 2.845.293.454,- yang dikucurkan oleh Pemerintah Aceh melalui DP3A kepada KPPAA selama 5 (lima) tahun, tentunya KPPAA telah bekerja maksimal sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki, meskipun masih jauh dari harapan dan kesempurnaan. Saya sebagai wakil ketua KPPAA sangat berharap komitmen dari Pemerintah Aceh, terutama Gubernur Aceh bisa segera turun tangan untuk menyelesaikan polemik kelembagaan KPPAA. Apalagi KPPAA dibentuk oleh Gubernur Aceh dan bertanggungjawab kepada Gubernur Aceh. 

Hingga saat ini kami juga masih menunggu waktu dari Gubernur Aceh untuk menerima audiensi sekaligus penyerahan laporan Akhir hasil kinerja KPPAA selama 5 tahun dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak di Aceh. Sebelumnya KPPAA juga telah beraudiensi dengan ketua DPRA sekaligus menyerahkan hasil laporan kinerja KPPAS selama 5 tahun, kita juga berharap DPRA bisa memfasilitasi polemik kelembagaan KPPAA, dan melakukan revisi terhadap Qanun Perlindungan Anak serta Qanun Hukum Jinayat Aceh, yang lebih ramah anak dan melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi lainnya, yang semuanya bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak demi masa depan Aceh yang lebih bermartabat.

Penulis: Ayu Ningsih, S.H, M.Kn (Wakil ketua/Komisioner KPPAA)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda