kip lhok
Beranda / Analisis / Dilema Pilkada Di Tengah Covid-19

Dilema Pilkada Di Tengah Covid-19

Jum`at, 15 Mei 2020 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +




DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Indonesia saat ini tengah dihadapi persoalan serius menyangkut keselamatan hidup rakyatnya berupa “Pandemic” virus covid 19. Hingga tulisan ini dibuat (Kamis, 14 Mei 2020) berdasarkan data yang dilansir Gugus Tugas Covid 19 terdapat 16.006 pasien yang terjangkit virus tersebut di Indonesia. Sementara itu Data worldometers menyebutkan sebanyak 4,412,149 orang di berbagai negara terjangkit Covid-19. 

Merespon keadaan itu, Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan sejumlah kebijakan, diantaranya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 serta Peraturan Pemerintah (PP) tentang PSBB guna menanggulangi penyebaran corona. 

Tindakan nyata mengantisipasi dilakukan pemerintah mulai dari Social Distancing, Physical distancing hingga menerapkan bekerja dari rumah (Work For Home /WFH) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan karyawan swasta guna menekan angka penyebaran. Jika mencermati dampak dari penyebaran virus corona ini tidak hanya pada aspek ekonomi, pembatasan sosial maupun manajemen tata kelola pemerintahan semata, melainkan juga turut memberikan dampak bagi masa depan demokrasi di negeri ini. Pasalnya, pada tahun 2020 Indonesia juga sedang berada dalam tahapan persiapan penyelenggaraan Pilkada serentak. Pesta demokrasi serentak itu rencana akan diikuti oleh sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Pemerintah dan DPR sepakat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 digelar pada 9 Desember 2020 alias hanya molor dua bulan 16 hari dari rencana awal, 23 September 2020. Tentunya memunculkan tanda tanya apakah tetap berjalan sesuai jadwal ? Karena kondisi pandemic covid 19 tidak bisa dipastikan kapan berakhirnya.

Langkah kongkret dari Presiden Joko Widodo, kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 tahun 2020 yang mengatur tentang penundaan Pilkada. Perpu ini mengatur tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Perpu nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Tiga Skenario

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sempat memberi tiga skenario penundaan Pilkada. Hal pertama, ditunda tiga bulan sehingga tahap pilkada akan dimulai pada 29 Mei 2020, sesuai prediksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengenai selesainya Covid-19 di Indonesia. Skenario inilah yang dipilih DPR. Skenario kedua, penundaan selama enam bulan sehingga Pilkada diprediksi digelar 17 Maret 2021; dan skenario ketiga, penundaan selama 12 bulan sehingga Pilkada diprediksi digelar 29 September 2021. Meski demikian, terdapat opsi penjadwalan ulang waktu pemungutan suara bilamana bencana non alam Covid-19 belum usai. Sementara jika berpatokan pada Desember 2020 sebagai waktu pemungutan suara, lanjutan tahapan akan dilakukan kembali pada Juni mendatang.  

Setidaknya terdapat sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan Pilkada di tengah wabah Pandemic covid 19 yang hingga kini belum menemukan kepastian kapan berakhir. 

Untuk yang penting didiskusikan, terkait alokasi pembiayaan Pilkada selama masa pandemic masih berlangsung. Sebelumnya pemerintah melalui kementerian keuangan telah menginstruksikan kepada lembaga negara, kementerian serta pemerintah daerah untuk melakukan kebijakan “refocusing” kegiatan dan realokasi anggaran penanganan pandemi Covid-19. Kebijakan “refocusing” kegiatan dan realokasi anggaran sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 2020 bahwa anggaran difokuskan pada belanja kesehatan dan juga mitigasi pencegahan penyebaran Covid-19 yang dilakukan oleh tim gugus tugas Covid-19.

Namun melihat perkembangan dampak dari pandemi ini di daerah-daerah, pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bersama antara Kemendagri dan Kemenkeu tentang Percepatan Penyesuaian APBD tahun 2020, yang berisikan amanah mengenai kebijakan fiskal yang dapat dilakukan oleh pemda untuk berperan dalam penanganan Covid-19.

Pemerintah kemudian memperpanjang batas waktu penyampaian perubahan alokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 di lingkungan pemerintah daerah, yakni paling lama dua pekan setelah dikeluarkannya Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan dengan Nomor 119/2813/SJ, Nomor 177/KMK.07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2020 dalam Rangka Penanganan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional.

Adapun prioritas kebijakan fiskal sebagaimana tertuang dalam SKB tersebut mencakup untuk pembiayaan penyediaan jaring pengaman sosial meliputi bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat miskin atau kurang mampu yang mengalami penurunan daya beli akibat adanya pandemi Covid-19 dan penanganan dampak ekonomi terutama menjaga agar usaha daerah tetap hidup antara lain melalui pemberdayaan UMKM serta koperasi dalam rangka memulihkan dan menstimulasi kegiatan perekonomian di daerah.

Kebijakan “refocusing” dan alokasi anggaran berdampak pada penggunaan dana Pilkada tahun 2020. Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan surat dengan Nomor 270/2931/SJ terkait pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020, yang ditujukan kepada gubernur, bupati, walikota se-Indonesia. Khususnya, yang menyelenggarakan Pilkada.

Poin penting paling krusial dalam surat tersebut, adalah anggaran Pilkada yang sudah tersusun, tidak boleh dialihkan untuk kegiatan lainnya. Padahal sebelumnya anggaran Pilkada akan dialihkan untuk penanggulangan wabah Covid-19. Surat tertanggal 21 April 2020 ini berbunyi, sambil menunggu tindak lanjut kebijakan penundaan tahapan pemungutan suara Pilkada serentak, Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang telah menganggarkan pendanaan bantuan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota pada APBD TA 2020, tidak diperbolehkan meminta hibahnya untuk kegiatan Iainnya.

Selain itu, penjelasan lebih lanjut di dalam surat tersebut, pendanaan hibah kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota pada APBD TA 2020, disetujui pada angka 3, tetap dianggarkan di SKPKD dan tidak melakukan pencairan dana yang sesuai untuk Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), sesuai permintaan Komisi Pemilihan Umum RI Nomor 179 / PL.02-Kpt / 01 / KPU / lll / 2020 tanggal 21 Maret 2020.

Terhadap anggaran Pilkada yang sudah dicairkan dan masih tersisa, tetap disimpan di rekening lembaga penyelenggara. Jika anggaran yang sudah dicairkan sebelumnya masih cukup, maka pemerintah tidak diperbolehkan melakukan pencarian anggaran tersebut kecuali jika biaya sewa di muka yang harus dibayar, tidak cukup dengan anggaran awal yang disediakan.

Dampak Pandemi

Dampak dari edaran tersebut, di sejumlah wilayah terdapat kasus pemblokiran rekening yang menyimpan anggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Kejadian tersebut dikarenakan Pemda salah menafsirkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pertama yang mengarahkan agar anggaran Pilkada direlokasi untuk penanganan corona virus disease 2019 (Covid-19). Kasus tersebut terjadi di Kabupaten Supiori dan Kabupaten Asmat, Provinsi Papua.

Hadirnya kebijakan Perpu Nomor 2 tahun 2020 yang mengatur tentang penundaan Pilkada ternyata tidak memperhitungkan teknis pembiayaan Pilkada selama masa pandemik berlangsung, seperti kondisi perekonomian yang tidak normal sebagai akibat pandemi Covid-19 ataupun penggunaan anggaran sesuai protokol covid. Eksesnya penyelenggaraan Pilkada yang sesuai protokol covid seperti penyediaan disinfektan dan masker di TPS menjadi tidak memungkinkan.

Dasar pemberian anggaran dana hibah dari APBD setelah penandatangan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang diatur berdasarkan Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pasal 13 Permendagri Nomor 54 tahun 2019 menyatakan, bahwa untuk mengubah rincian anggaran, perlu ditempuh mekanisme pengajuan dan persetujuan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang terdiri atas delapan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).

Pasal 10 Permendagri No.54 tentang adendum tidak memungkinkan penambahan anggaran untuk pengadaan logistik yang dibutuhkan sesuai protokol Covid-19. Penambahan anggaran hanya diperkenankan jika terdapat perubahan jumlah pasangan calon, pemungutan suara ulang, pemilu lanjutan, dan pemilu susulan. 

Terkait teknis pelaksanaan Pilkada dalam masa pandemik. Ketika pandemic virus corona merebak, terdapat sebagian tahapan pelaksanaan Pilkada yang sudah berjalan sehingga menimbulkan dampak. Antara lain tahap verifikasi faktual pemilih, pelelangan logistik, produksi yang melibatkan banyak petugas, distribusi logistik, masa kampanye, pemungutan dan penghitungan suara pemilih. Apakah dengan mekanisme pelaksanaan Pilkada ditengah wabah covid 19 akan tetap seperti semula atau berubah?. Mengingat adanya kebijakan physical distancing dan penerapan PSBB di sejumlah wilayah. Apakah terjadi perubahan dalam aspek pemungutan suara (e voting, e counting, e rekap) serta mempertimbangkan aspek mekanisme dalam pengumpulan massa (kampanye terbuka) yang berpotensi sebagai penyebaran virus dalam tahapan Pilkada.

Belajar Dari Pengalaman

Jika belajar dari pengalaman Korea Selatan, adalah negara pertama di dunia yang menggelar Pemilihan anggota legislatif di tengah wabah pandemi Covid-19. Bahkan Pemilu legislatif yang sekiranya diikuti oleh 43,9 juta pemilih yang terdaftar tersebut, digelar sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Korea Selatan.

Berdasarkan Laporan International Ideal (2020) dalam makalah teknis “Menyelenggarakan Pemilu Di Tengah Pandemi COVID-19: Ujian Krusial Republik Korea”, Pemilu Legislatif Korea Selatan dilakukan secara ketat. Pemilih diwajibkan melaksanakan protokol covid dalam hal pemberian akses suara, seperti mengenakan masker, memakai sarung tangan plastik sekali pakai, dan menjaga jarak antar pemilih setidaknya 1 meter. Tempat pemungutan suara akan secara teratur di disinfeksi dan siapa pun dengan suhu lebih dari 37,5 derajat celcius harus memilih di bilik khusus yang telah disediakan.

Aturan keselamatan yang mirip dengan Kode Perilaku Pemilih juga diterapkan pada aparat kepolisian, insan media dan pemantau pemilu. Sedangkan untuk para petugas di TPS khusus yang dibentuk untuk lebih dari 3.000 pasien COVID-19 dan hampir 1.000 petugas medis di Seoul dan Daegu, mereka harus memakai perlengkapan keselamatan seperti pakaian protektif seluruh badan, penghalang muka, masker dan sarung tangan plastik untuk mencegah penularan. 

NEC mengakui bahwa tindakan luar biasa yang diambil ini membutuhkan tambahan petugas TPS sebanyak 20.000 orang. Bagi pemilih yang dikarantina karena corona. Mereka diperbolehkan untuk meninggalkan tempat karantina mereka dan memberikan suara di TPS setelah waktu pemungutan suara sudah usai dan TPS telah ditutup untuk pemilih ‘biasa’.

Namun kesuksesan Korea Selatan menyelenggarakan Pemilu ditengah Pandemik ini tidak lantas bisa diterapkan serta merta dalam konteks Pilkada Indonesia. Setidaknya terdapat sejumlah faktor kunci yang menjadi keberhasilan Pemilu Korea kala wabah ini.

Yaitu faktor budaya disiplin masyarakat, faktor infrastruktur yang menunjang pelaksanaan Pemilu dan faktor kepercayaan terhadap Pemerintah (trusted). Kepercayaan masyarakat meningkat tajam, terutama akibat keberhasilan kebijakan Pemerintah dalam penanganan pandemik Covid-19.

Perlu dipertimbangkan untuk menyesuaikan aspek teknis pelaksanaan Pillkada kala pandemik melanda. International Idea (2020) dalam makalah teknis “Pemilu dan Covid 19” menawarkan sejumlah alternatif agar pemilu tetap dapat terlaksana disatu sisi, sehingga aspek prosedural demokrasi tetap berjalan semestinya, disisi lain aspek keselamatan pemilih juga menjadi pertimbangan utama. Di antaranya dengan melakukan kampanye melalui platform digital atau media sosial. Media ini menawarkan pilihan alternatif ketika pemilih dan kontestan politik dibatasi gerakannya atau diharuskan menjaga di jarak fisik tertentu antara satu sama lain.

Yang perlu juga menjadi perhatian adalah aspek manajemen dan distribusi logistik ketika melaksanakan Pilkada di tengah pandemik. Bagaimana distribusi logistik Pilkada dapat tersalur dengan baik disisi lain aspek keselamatan penyelenggara dalam pendistribusian logistik tersebut juga harus terjamin.

Terkait aspek pemungutan suara, Pemilih harus ditawari metode pemungutan suara yang meminimalisasi kontak langsung dengan orang lain dan mengurangi ukuran kerumunan di tempat pemungutan suara. Seperti melalui pos, atau daring melalui komputer atau aplikasi telepon seluler. 

Gagasan penerapan e-voting dalam pemilu sudah dimulai sejak tahun 2009. Ditandai dengan terbitnya putusan MK No. 147/PUU-VII/2009. Putusan terhadap uji materi pasal 88 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah itu intinya pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakilnya dapat dilakukan dengan menggunakan metode e-voting.

Dalam Pasal 85 UU Pilkada mengizinkan mekanisme pemberian suara dengan dua cara, yaitu memberi tanda satu kali pada surat suara atau memberi suara melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik.

Namun meski secara konstitusi mengizinkan, penggunaan metode elektronik dalam Pilkada tetap harus memperhitungkan aspek pembiayaan seperti pengadaan peralatan elektronik dan ketersediaan waktu serta sumber daya manusia dalam mengoperasikan peralatan tersebut. Selain itu perlu adanya trust yang kuat dari masyarakat lokal sebelum memilih menggunakan metode pemilu elektronik. Pemilu elektronik haruslah dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan suara dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu. Penerapan e-voting dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan pemerintah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah.

Terdapat tawaran alternatif lainnya dalam hal pelaksanaan Pilkada selain Pilkada langsung. Yaitu dengan melakukan redesain Pilkada. Untuk daerah dengan wilayah, dimana korban virus covid 19 termasuk tinggi dan termasuk wilayah merah, dapat dipertimbangkan agar pemilihan dilaksanakan oleh DPRD setempat. Jika mengacu kepada UUD 1945, tidak mengatur secara eksplisit sistem Pilkada langsung atau tidak langsung. pada amandemen keempat UUD 1945, khususnya Pasal 18 ayat (4) terkait dengan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Provinsi, Bupati dan Walikota tidak digunakan kalimat ‘Pemilihan Langsung’, melainkan menggunakan kalimat ‘dipilih secara demokratis’.

Pada prinsipnya UU Pilkada sendiri mengakui bahwa dalam kondisi tertentu, pemilihan melalui parlemen lokal yaitu DPRD dapat juga dianggap demokratis. Seperti misalnya dalam kasus ketika salah satu pasangan calon berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung (Pasal 176 UU 10 Tahun 2016). Pemilihan gubernur, bupati atau walikota secara tidak langsung pada prinsipnya sama derajatnya dengan Pemilihan secara langsung. Berdasarkan fakta dilapangan , tidak selalu terdapat korelasi positif ataupun negatif antara sistem Pemilihan dengan legitimasi kepemimpinan yang dilahirkan.

Aspek “beban psikologi”, rakyat patut diperhatikan serius oleh penyelenggara dan para pengambil kebijakan. Bagaimana meyakinkan rakyat untuk mensukseskan Pilkada ditengah situasi yang mungkin belum dirasa aman sepenuhnya terhadap wabah covid 19. Berbeda dengan Korea Selatan, dimana tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah tinggi disebabkan jumlah kasus positif covid terus berkurang ketika itu. Indonesia disatu sisi menunjukkan tren sebaliknya death rate Indonesia cukup tinggi (8,7%), walau secara jumlah tidak sangat besar dibandingkan korban di negara-negara Eropa dan Amerika. Dari hari ke hari tren menunjukkan bahwa jumlah korban yang terpapar covid 19 di Indonesia mengalami kenaikan dan belum ke arah melandai.

Belum lekang dari ingatan rakyat kita terkait banyaknya jatuh korban di tingkat TPS ketika pemilu 2019 berlangsung. Sejarah kelam demokrasi tersebut tentu tidak ingin kita ulangi lagi di masa pandemik ini. Potensi jatuhnya korban dan penularan virus tetap ada ketika melaksanakan Pilkada ketika wabah berlangsung. Terutama di wilayah dimana diberlakukan PSBB atau wilayah kategori dengan jumlah korban covid 19 yang banyak. 

Hal lain yang perlu diperhatikan dan bersifat penting yaitu “konteks lokal Aceh”, apakah memungkinkan Pilkada Aceh dilaksanakan tahun 2022 sebagaimana kesepakatan antara penyelenggara dengan DPR atau merujuk kepada ketentuan UU Pemilu yang memberi mandat pelaksanaan Pilkada Aceh pada tahun 2024.

Disatu sisi pasal 65 Ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Pilkada Aceh dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Hal ini dikuatkan dengan Pasal 101 ayat (3) Qanun 12 Tahun 2016 tentang Pilkada Aceh, ditegaskan bahwa "Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022”.

Namun Disisi lain UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu menghendaki agar Pilkada di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota seluruh Indonesia dilaksanakan serentak pada bulan November 2024. Berdasarkan Putusan MK Nomor: 55/PUU-XII/2019 dan evaluasi terhadap keserentakan Pemilu pada Tahun 2019, Komisi II DPR RI mengusulkan agar pelaksanaan Pilkada kembali disesuaikan dengan masa jabatan 1 Periode selama 5 tahun, yaitu di 2020, 2022, 2023, 2025, dan seterusnya.

Akan tetapi hingga kini belum terjadi revisi atau perubahan terhadap UU Pemilu maupun UU Pilkada agar dapat menyesuaikan agenda Pilkada ke depan sesuai dengan kesepakatan pemerintah dan DPR agar Pilkada kembali disesuaikan dengan masa jabatan 1 Periode selama 5 tahun.

Bila Pilkada Aceh tetap dilangsungkan pada tahun 2022, maka DPRA dan DPRK perlu segera menyiapkan alokasi anggaran Pilkada tersebut. Dikarenakan pada tahun depan yaitu tahun 2021 Aceh telah memasuki tahapan Pilkada, seperti pendataan pemilih, pembentukan badan ad hoc, verifikasi pendaftaran dll). Bila hal tersebut tidak dilaksanakan, maka kecil peluang Aceh dapat menyelenggarakan Pilkada pada tahun 2022.

Adapun mekanisme pembiayaan Pilkada hingga kini masih mengacu kepada Permendagri Nomor 54 tahun 2019. Pasal 9 ayat (1) Permendagri Nomor 54 tahun 2019 menyebutkan : “Dalam hal Pemerintah Daerah belum menganggarkan kegiatan Pemilihan dalam APBD atau telah menganggarkan kegiatan Pemilihan dalam APBD tetapi belum sesuai dengan standar satuan harga kebutuhan Pendanaan Kegiatan Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5), Pemerintah Daerah melakukan penyesuaian penganggaran mendahului penetapan Perda tentang perubahan APBD dengan cara menetapkan Perkada tentang perubahan penjabaran APBD.”

Kemudian Pasal 9 ayat (2 ) Permendagri Nomor 54 tahun 2019 menyebutkan : “Dalam hal pemerintah daerah belum menganggarkan Kegiatan Pemilihan dalam Perda tentang perubahan APBD atau telah menganggarkan Kegiatan Pemilihan dalam Perda tentang perubahan APBD tetapi belum sesuai dengan standar satuan harga kebutuhan Pendanaan Kegiatan Pemilihan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5), Pemerintah Daerah melakukan penyesuaian penganggaran dengan mengubah Perkada tentang penjabaran perubahan APBD.

Akhir kata pemerintah harus benar-benar melakukan kalkulasi secara matang dampak penyelenggaraan Pilkada serentak di tengah Pandemik virus yang hingga kini masih menghantui Indonesia. Pertimbangan utama adalah keselamatan penyelenggara sekaligus keselamatan publik. Kualitas dari Pilkada itu sendiri juga harus menjadi faktor yang tidak boleh dikesampingkan. Artinya pelaksanaan Pilkada bukan hanya sekadar memenuhi agenda rutinitas demokrasi, melainkan Pilkada harus dapat dipahami sebagai manifestasi kedaulatan rakyat dalam rangka memilih pemimpin yang berkualitas, memiliki legitimasi serta representatif. Jangan sampai negara terjebak dengan tuntutan rutinitas prosedural lantas mengorbankan kualitas demokrasi bahkan keselamatan rakyat di tengah belum tuntasnya wabah.

Hal terpenting lainnya yaitu ruang komunikasi lintas pengambil kebijakan harus dilakukan dalam membahas kepastian pelaksanaan Pilkada serentak. Jika melanjutkan pemilu, perlu dikalkukasi proses-proses untuk mengurangi risiko penularan dan penyebaran virus. Bila memutuskan menunda pemilu, perlu dipersiapkan pengaturan terkait pejabat sementara agar roda pemerintahan di tingkat lokal tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Termasuk resiko politik apabila Pilkada ditunda. [ ]


Penulis 

Aryos Nivada Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda