Dwarfisme Ekonomi Aceh
Font: Ukuran: - +
Foto: dialeksis.com
Aceh kembali menorehkan catatan kelam dalam bidang pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan II tahun 2021 sebesar 2,56 persen, berada pada urutan paling buncit bila dibandingkan provinsi lain di Sumatera.
Untuk tingkat nasional, Aceh berada pada peringkat kedua terbawah setelah Papua Barat dari 10 provinsi dengan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terendah pada kuartal II-2021. Aceh hanya sedikit lebih baik dari Papua barat yang mengalami kontraksi ekonomi hingga minus 2,39 persen.
Diagnosa dwarfisme ekonomi Aceh alias kekerdilan ekonomi ini merupakan penyakit turunan yang belum pulih semenjak Aceh lepas dari masa konflik. Meskipun telah banyak dikucurkan gizi dari pusat dalam rangka pengobatan Trauma konflik Aceh, namun Aceh belum bisa menjadi manusia normal dan seutuhnya. Indikator yang paling jelas adalah melambatnya pertumbuhan Aceh dari tahun ke tahun. Meski setiap tahun pula stimulus dana Otonomi Khusus (Otsus) terus disuapi ke Aceh. Namun entah kenapa sepertinya Aceh tidak mampu menyerap dana Otsus secara maksimal.
Bila diibaratkan anak yang sedang mengalami masa pertumbuhan, Aceh mengalami gangguan tumbuh kembang meski asupan gizi sangat tinggi saban tahun. Aceh mengalami gejala gangguan pertumbuhan ekonomi yang penulis istilahkan dengan “dwarfisme ekonomi”.
Jika diibaratkan pada konteks manusia, dwarfisme adalah kelainan yang menyebabkan tinggi penderitanya berada di bawah rata-rata. Para ahli mendefinisikan dwarfisme sebagai tinggi badan pada orang dewasa yang tidak lebih dari 147 cm (biasanya hanya 120 cm). Masyarakat mengenal ini sebagai manusia kerdil atau cebol.
Aceh saat ini ibarat seorang anak yang mengalami gangguan dwarfisme: ukuran tubuhnya tetap saja kerdil meski gizi diberikan cukup atau bahkan berlebih. Aceh mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat, bahkan stagnan jika dibandingkan daerah lain, padahal Aceh sendiri memiliki suplemen khusus untuk mempercepat pertumbuhan ekonominya bernama dana Otsus Aceh.
Celakanya, kondisi dwarfisme ini dalam dunia medis cenderung sulit diobati, terutama bila disebabkan oleh faktor keturunan atau kelainan genetik. Sementara dalam perspektif ekonomi, dwarfisme ditunjukkan dengan tidak berpengaruhnya “insentif” yang diberikan oleh Pusat berupa KEK dan KIA yang tidak mengubah kondisi Aceh menjadi lebih baik.
Namun sebelum menvonis faktor dwarfisme ekonomi Aceh disebabkan kutukan keturunan atau genetik, tetap saja dwarfisme bisa dilakukan pengobatan untuk memaksimalkan fungsi tubuh dan kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari, serta meredakan komplikasi yang timbul akibat dwarfisme.
Melalui artikel ini, Penulis mencoba menguraikan sejumlah catatan kritis untuk menelusuri penyebab gejala lambatnya tumbuh kembang ekonomi Aceh. Faktor penyebab perlu ditelusuri untuk mencari tahu mengapa asupan gizi tinggi yang diberikan selama ini tidak memberikan dampak maksimal. Padahal dengan asupan gizi yang maksimal, normalnya struktur pertumbuhan ekonomi Aceh saat ini harusnya berada diatas rata rata provinsi lain, bukan malah di bawah rata rata nasional.
Mengurai Benang Kusut Kemiskinan di Tanah Rencong
Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, total 88,433 triliun dana Otsus telah diperoleh Aceh dari Tahun 2008 hingga tahun 2021. Rinciannya: tahun 2008 sebesar 3,590 T, 2009 sebesar 3,728 T, 2010 sebesar 3,849 T, 2011 sebesar 4,510 T, 2012 sebesar 5,479 T, 2013 sebesar 6,222 T, 2014 sebesar 6,824 T, 2015 sebesar 7,057 T, 2016 sebesar 7,707 T, 2017 sebesar 7,979 T, 2018 sebesar 8,030 t, 2019 sebesar 8,357 T, 2020 sebesar 7,555 T (Paska Refocusing APBN) dan 2021 sebesar 7,555 T (Paska Refocusing APBN). Angka ini tentunya bukan jumlah yang sedikit.
Ada sejumlah faktor yang ditenggarai menjadi biang keladi penyebab Aceh belum lepas dari kubangan daerah dengan predikat miskin di tengah sumberdaya yang melimpah. Pertama, stagnasi investasi dalam beberapa dekade terakhir yang hanya jalan di tempat, bahkan beberapa pengusaha angkat kaki akibat kebijakan daerah yang kurang mendukung. Sebagai contoh adalah rencana investasi oleh PT Semen Indonesia di Laweueng Pidie dan Bendungan Raksasa Tampur di Gayo Lues.
Kondisi investasi di provinsi Aceh dikatakan stagnan disebabkan belum adanya kontribusi penambahan investasi terhadap peningkatan aktivitas ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Walaupun ada beberapa komitmen yang didapatkan oleh pemerintah Aceh, seperti Blok B Aceh Utara maupun Kawasan Industri Aceh (KIA) di Aceh Besar, namun efek ekonominya belum terasa sampai saat ini.
Data resmi pemerintah menunjukkan adanya peningkatan realisasi investasi pada triwulan I tahun 2021, yang secara signifikan masih didominasi oleh jenis investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar 95,30%, sedangkan Penanaman Modal Asing (PMA) hanya menyumbang 4,70 %.
Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), per 25 Juni 2021 realisasi pendapatan dan belanja pemerintah daerah di Aceh secara umum masih di bawah rata-rata nasional. Aceh juga menjadi daerah dengan realisasi belanja dalam APBD terendah untuk penanganan pandemi Covid-19, yakni Rp18,88 miliar atau 4,61 persen dari pagu per periode 15 Juli 2021.
Jika menilik dari data resmi Pemerintah Aceh dalam Percepatan dan Pengendalian kegiatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (P2K-APBA), dari total pagu anggaran 2021 sebesar Rp16 triliun lebih, hingga 10 Agustus 2021 realisasi keuangan masih sekitar 31,6 persen sedangkan realisasi fisik 37 persen. Rendahnya serapan APBA 2021 tersebut berimplikasi pada minimnya penyerapan tenaga kerja, hingga melambatnya penurunan tingkat kemiskinan. Data angka kemiskinan di tahun 2021 terdapat 834,24 ribu penduduk miskin di Aceh pada Maret 2021, naik 0,04% dibandingkan pada September 2020 yang sebanyak 833,91 ribu jiwa.
Pengangguran di Aceh pada tahun 2021 juga masih tinggi meski mengalami sedikit penurunan dari tahun sebelumnya. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2021 sebanyak 6,30% atau lebih rendah dibanding Agustus 2020 6,59%.
Faktanya, investasi belum memberi dampak signifikan bagi postur perekonomian Aceh. Berdasarkan data BPS, postur ekonomi Aceh 66,63 persen masih didominasi oleh lapangan usaha klasik yang itu-itu melulu, yaitu sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 30,77 persen, diikuti perdagangan besar-eceran reparasi mobil-sepeda motor sebesar 15,02 persen. Administrasi pemerintahan, pertahanan dan sosial wajib sebesar 11,54 persen, dan konstruksi sebesar 9,30 persen.
Sejumlah industri migas yang dulunya sempat berjaya di Aceh kini berubah menjadi ladang tua yang tidak mampu menjadi katalisator pembangkit ekonomi Aceh. Indikator tersebut dapat dilihat dari tingkat kepedulian dan partisipan perusahaan eksplorasi gas dan minyak bumi di lingkar operasi yang dinilai belum memberi dampak signifikan bagi tuntasnya problem ekonomi masyarakat setempat terutama dalam aspek penyerapan tenaga kerja.
Kedua, Ekonomi Aceh masih bertumpu pada belanja daerah, alias APBA dan APBK. Belum mandirinya Aceh dari anggaran belanja negara merupakan jeratan klasik ekonomi Aceh. Hal ini diperparah dengan penyerapan anggaran yang tidak maksimal serta pengelolaan kebijakan anggaran amburadul serta tidak profesional kemudian dinilai menjadi biang kerok melambatnya perputaran uang beredar di masyarakat.
Dalam dua tahun terakhir, SiLPA Aceh menunjukan tren pembengkakan. SiLPA tahun 2020 mencapai Rp 3,9 triliun, hampir mencapai Rp 4 triliun dari total APBA 2020 Rp 14,4 triliun. Sedangkan sebelumnya Tahun 2019 lalu SiLPA Rp 2,8 triliun.
Dalam perencanaan anggaran dalam 3 tahun terakhir tidak mempertimbangkan tingkat PDRB dimana sektor unggulan pada sektor pertanian dan perikanan, namun alokasi anggaran dari APBA dan APBK sangat kecil persentasenya hanya sekitar 3 persen.
Bagaimana dengan pandangan Pandemi Covid 19 menjadi salah satu faktor melambatnya ekonomi Aceh? Bila kita melihat secara objektif, data dan fakta menunjukkan bahwa tren melambatnya pertumbuhan ekonomi Aceh terjadi jauh sebelum pandemi melanda. Hanya saja pandemi turut memperdalam jurang keterpurukan Aceh dalam pertumbuhan ekonomi.
Bila kita menelusuri data BPS Aceh dari tahun 2008 hingga 2012, pertumbuhan ekonomi di Aceh yang diwakili oleh PDRB menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Aceh masih di bawah beberapa provinsi Sumatera yang lainnya seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Kepulauan.
Seharusnya dengan stimulus intensif dana otonomi khusus normalnya pertumbuhan di Aceh harusnya dapat lebih cepat serta unggul dibandingkan provinsi lain di pulau Sumatera. Aceh satu satunya wilayah di Sumatera yang mendapat stimulus dana otonomi khusus. Sepatutnya dengan stimulus tersebut Aceh lebih menggeliat ekonominya dari daerah yang tidak mendapat dana otsus.
Bila dibandingkan dengan Provinsi Bengkulu yang notabene sempat bertengger sebagai provinsi termiskin di sumatera sejak beberapa tahun lalu, namun sejak 5 Februari 2020, Provinsi Bengkulu telah lepas dari Posisi Provinsi Termiskin di Pulau Sumatera.
Ekonomi Provinsi Bengkulu triwulan II-2021 (y-o-y) malah tumbuh pesat sebesar 6,29 persen, bila dibandingkan triwulan II-2020 yang turun sebesar 0,74 persen
Ketika secara nasional kemiskinan pada periode Maret 2019-2020 meningkat, Provinsi Bengkulu malah mampu menurunkan sekaligus menekan angka kemiskinan. Berdasarkan data kemiskinan yang dirilis oleh BPS Provinsi Bengkulu, tercatat pada periode Maret 2020 kemiskinan Bengkulu berhasil turun sebesar 0,2% dari sebesar 15,23% pada Maret 2019 menjadi 15,02% pada Maret 2020. Capaian ini menjadi nilai keberhasilan yang membanggakan, karena sejak tahun Maret 2015 kemiskinan Bengkulu menunjukkan tren terus menurun.
Tanpa adanya stimulus dana Otsus seperti Aceh, Bengkulu di tengah hantaman pandemi yang akut sekalipun bahkan terus melesat nilai ekspornya. Dari sisi geliat ekonomi, meski Sempat menurun selama berbulan-bulan, kinerja ekspor Bengkulu kembali bergairah meski pandemi covid-19 masih berlangsung bahkan menginfeksi semakin banyak warga hingga membuat keadaan ekonomi masyarakat golongan menengah ke bawah menjadi tertekan. BPS Bengkulu mencatat Neraca perdagangan Provinsi Bengkulu bulan Juni 2021 surplus sebesar US$ 24,83 juta, sedangkan neraca perdagangan bulan Januari “ Juni 2021 mengalami surplus sebesar US$ 98,88 juta. Bandingkan dengan Aceh, dimana penerimaan bea ekspor atau biaya pengiriman barang keluar negeri semester pertama 2021 hanya mencapai Rp37,7 miliar.
Ketiga, amburadulnya tata kelola perencanaan dan penganggaran Aceh. Target RPJMA 2017-2022 tidak diimplementasi secara terpadu dalam kebijakan anggaran daerah. Kepala SKPA tidak leluasa dalam penganggaran untuk mencapai kinerja SKPA, bahkan terkesan alokasi anggaran SKPA dipaksakan ekses intervensi pihak eksternal ditambah kendali TAPA yang tidak maksimal.
Komunikasi politik anggaran antara Pemerintah Aceh dengan DPRA yang tidak harmonis dan mulus sebagaimana di harapkan dalam peraturan perundang-undangan, menjadi salah satu virus yang merusak pencapaian target pembangunan Aceh. Masing-masing pihak mempertahankan prinsip sendiri- sendiri. Mediasi dan koordinasi TAPA dan DPRA dinilai lemah. Ekses kelemahan dalam pengelolaan anggaran tersebut menimbulkan kerugian bagi Aceh, terutama rakyat sebagai pemberi mandat kekuasaan.
Serapan anggaran yang rendah dan tidak menyentuh fondasi dasar perekonomian, yang pendanannya terutama bersumber dari dana Otsus, menyebabkan pergerakan uang berputa-putar di tengah masyarakat hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pengungkitan dan efek berganda dari dana Otsus yang besar tidak terasa karena tidak optimalnya pemanfaatan sumberdaya tersebut untuk memperbaiki perekenomian di wilayah Aceh.
Rizal Ramli pernah menyatakan bahwa penggunaan dana Otsus lebih banyak menguntungkan elite politik Aceh, bukan menguntungkan rakyat banyak. Secara implisit, hal ini mencerminkan danya ketidakpercayaan beliau terhadap kepemimpinan di Aceh, baik eksekutif maupun legislatif, yang bersinggungan dengan pengambilan keputusan dalam pengelolaan dana Otsus Aceh tersebut. Artinya, jika ingin mengubah pandangan ini, maka Gubernur Aceh selaku penguasa anggaran dan DPRA selaku pelaksana fungsi pengawasan anggaran harus menunjukkan bukti bahwa keduanya bekerja untuk kepentingan rakyat.
Gubernur Aceh DPRA harus menunjukkan sikap dan tindakan yang bijak dan tegas sebagai orang-orang pilihan rakyat Aceh dalam mengelola anggaran, bukan justru berkonflik secara politik, kelembagaan dan pribadi. Perekonomian Aceh tidak akan bergeliat jika para pengambil kebijakan hanya memperdebatkan hal-hal remeh yang tidak memiliki kaitan dengan perekonomian daerah.
Apa solusinya?
Berkaca dari hal itu, perlu dilakukan sejumlah langkah untuk meminimalisir gangguan tumbuh kembang Aceh agar tidak terjebak menjadi daerah kerdil sepanjang hidupnya. Sejumlah terapi perlu diberikan, agar paling tidak pertumbuhan ekonomi Aceh dapat lebih optimal kedepannya.
Pertama, Perlu melakukan evaluasi terhadap TAPA dalam penyusunan kebijakan anggaran di Aceh. Perlu dicari sosok atau figur yang benar-benar paham aspek pertumbuhan ekonomi dan yang mampu membangun komunikasi dengan berbagai pengambil kebijakan terutama DPRA. Sebab biang kerok lambatnya pertumbuhan ekonomi Aceh yang paling utama adalah dalam hal tata kelola anggaran. Perlu juga di bentuk TIM pakar yang independen dan kredibel sebagai pengganti staf khusus atau tim asisten gubernur. Tim pakar ini terdiri dari akademisi dan praktisi yang profesional.
Kedua, Perencanaan anggaran harus mempertimbangkan aspek PDRB yaitu potensi Aceh adalah yang paling dominan. Potensi ini harus menjadi unggulan dan fondasi utama bagi pembangunan ekonomi Aceh, yaitu pada sektor pertanian dan perikanan sebagai penyumbang devisa terbesar. Oleh karena itu, intervensi anggaran APBA dan APBK harus diutamakan pada sektor pertanian dan perikanan.
Berdasarkan tren sebelum pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa perdagangan telah berorientasi pada perdagangan antar regional. Nilai perdagangan intra-Asia telah meningkat hampir 4 kali lipat dalam kurung waktu 2000-2019, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan perdagangan global yang hanya tumbuh 2,8 kali. Disisi lain, ekspor Tiongkok pada produk-produk manufaktur padat karya menurun 3% dari kurun waktu 2014-2016, di mana manufaktur padat karya bergeser ke pasar kerja Asia Tenggara sebagai tujuan utama relokasi tersebut.
Aceh yang memiliki lokasi dan potensi strategis harus dapat mengambil posisi dalam tren pergeseran tersebut. Beberapa kegagalan rencana investasi baik ke Indonesia maupun Aceh harus menjadi evaluasi. Peningkatan iklim investasi dan inovasi merupakan pekerjaan rumah utama jika Aceh ingin bertransformasi dari daerah penghasil bahan baku pertanian, kehutanan dan perikanan menjadi sentra industri hilir agrikultur dan perikanan.
Terakhir, yang paling penting adalah buang jauh - jauh kepentingan politik, golongan dan pribadi, baik pihak pemerintah Aceh dan DPRA dalam membangun komunikasi penyusunan kebijakan anggaran. Pengambil kebijakan di Aceh perlu menyadari bahwa tugas pokok dan utama mereka adalah bertugas untuk mensejahterakan rakyat Aceh. Bukan mensejahterakan keluarga dan kelompok pribadi semata.
Dwarfisme Ekonomi itu nyata hadir di Aceh. Berbahaya ketika tidak direspon cepat, terukur dan terencana.