kip lhok
Beranda / Analisis / Eksistensi Partai Aceh di Percaturan Politik Pilkada

Eksistensi Partai Aceh di Percaturan Politik Pilkada

Rabu, 14 September 2022 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Dosen FISIP USK dan Direktur Eksekutif Lingkar Sindikasi Grup, Aryos Nivada. [Foto: ist]


DIALEKSIS.COM - Konteks pemahaman Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung yakni cara mendelegasikan pengelolaan melalui instrument kebijakan desentralisasi (decentralisation). Artinya upaya pemerintah ‘negara’ memberikan kewenangan otonom bagi daerah melaksanakan pesta demokrasi melalui Pilkada. Bisa disimpulkan pelaksanaan Pilkada merupakan proses politik yang tidak saja merupakan mekanisme politik untuk mengisi jabatan demokratis (melalui pemilu).

Secara harfiahnya Pilkada menentukan sosok kepala daerah ditingkatan provinsi dan kabupaten/kota dengan patuh terhadap syarat (ketentuan) peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Intinya mekanisme Pilkada memiliki peranan yang strategis untuk mengimplementasikan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin, sehingga akan lebih bertanggungjawab kepada rakyat dibandingkan kepada partai politiknya.

Jika memahami pelaksanaan tata kelola Pilkada, maka rujukan UU dan peraturan yang mengatur wajib diketahui dan difahami semua pihak dan warga negara. Dasar hukum penyelenggaraan Pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam undang-undang ini, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) belum dimasukkan dalam rezim Pemilihan Umum (Pemilu).

Dari segi histori, terdapat perubahan UU Pilkada, mulai dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Lalu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang Undang. Perubahan kembali dengan disahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Jelang Pilkada serentak 2017, dilakukan sejumlah perubahan regulasi mengenai Pilkada. Mulai

UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Lalu UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Kemudian diubah dengan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Dimasa pandemi, UU Pilkada direvisi dengan UU No. 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang.

UU ini direvisi terakhir melalui PERPU No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Berdasarkan realitas pelaksanaan Pilkada ternyata tidak linear ‘seragam’ sistem pelaksanaan Pilkada di seluruh Indonesia, terkhusus di Provinsi Aceh. Membandingkan perlakuan tatakelola pelaksaan Pilkada memiliki keunikan yang bersifat asimetris jika dibandingkan sistem Pilkada provinsi lainnya.

Terjelaskan pada isi MoU Helsinki selanjutnya dituangkan dalam Undang-undang nomor 11 Tahun 2006 (UUPA), dimana pelaksanaan Pilkada pertama kali tahun 2006. Di pertegas secara teknis melalui Qanun Aceh setingkat peraturan daerah Nomor 5 Tahun 2012 yang mengatur tentang Pilkada sebagaimana diubah terakhir dengan menggunakan Qanun Aceh nomor 12 tahun 2016.

Pelaksanaan Pilkada juga merujuk ke Undang-Undang Pilkada yang berlaku secara nasional, serta peraturan KPU dan keputusan KIP Aceh.

Namun tidak selaras penerapan Pilkada di Aceh, hal ini pengelolaan Pilkada bersifat otonom sebelum diputuskan oleh pemerintah bahwa Pilkada dilakukan serentak di tahun 2024 serta diterapkan kebijakan UU Pilkada baru yang membuat Pilkada mandiri Aceh tidak bisa dilakukan, dikarenakan Aceh secara sistem ‘mau tidak mau’ harus masuk pada sistem Pemilu serentak.

Artinya sebelumnya terbagi menjadi dua aras, pertama rezim Pemilu dikelola pemerintah pusat sedangkan rezim Pilkada dilaksanakan secara mandiri oleh pemerintah daerah ‘Provinsi Aceh’, disebabkan UU No. 11 tahun 2006 tersebut.

Keterlibatan Partai Aceh di Pilkada

Lantas apa yang menarik diulasan tulisan ini? Bila diikaji dari praktek pelaksanaan Pilkada di Aceh, titik fokus pada objek transformasi eks Gerakan Aceh Merdeka yang berpartisipasi secara politik di Pilkada.

Kita fahami, bahwa Pemerintah pusat telah berhasil melakukan reintegrasi politik kalangan eks kombatan dengan masuk sistem politik Indonesia, dapat dikatakan berhasil mengubah dari gerakan perlawanan terhadap negara menjadi gerakan politik mewujudkan visi dan misi ke daerahan berorientasi membangun Aceh berpedoman UUD 1945 dan Pancasila.

Kalangan eks kombatan masuk ke jalur Pilkada setelah perjanjian damai MoU Helsinki, dimulai pada Pilkada 2006. Sebelum terlalu jauh membahas tentang mereka, pasti memunculkan pertanyaan dibenak pembaca alasan utama mentelaah eks kombatan yang berkompetisi di Pilkada.

Dari penelusuran terbaca serta teridentifikasikan, bahwa Aceh merupakan satu-satunya daerah paska konflik dimana eks kombatan berjuang membuat perubahan untuk Aceh melalui jalur politik ke-Indonesia-an.

Pertimbangan lainnya memilih objek tulisan, dikarenakan bertujuan mempelajari perilaku mereka meraih kekuasaan setelah berjalan satu dekade lebih yakni 15 tahun, jika dikonversikan keikutsertaan di Pilkada maka sudah tiga kali yakni tahun 2006, 2012, dan 2017.

Keikutsertaan mereka tidak melalui jalur partai politik, tetapi jalur independen yang diberikan ruang dan diakui oleh pemerintah melalui UU No. 11 tahun 2006, Bab X; Pasal 67-68. Sampai saat ini tetap berlaku, bahkan kesuksesan jalur perorangan diberlakukan oleh pemerintah ke seluruh provinsi di Indonesia. Hal terpenting lainnya, menambah khasanah pengetahuan untuk jadi pembelajaran serta diskusi berdialektika.

Kalau dikaitkan perilaku eks kombatan ke arena Pilkada sejalan dengan pemikiran politik Zuhro, dkk (2009:48) mengatakan bahwa Pilkada merupakan momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan lokal sebagai wujud implementasi demokrasi yang partisipatif.

Tindakan eks kombatan/GAM terlibat di Pilkada bagian upaya mewujudkan kepemimpinan lokal secara partisipatif. Sejalan dengan pemikiran Irtanto (2008:159) Pilkada merupakan kegiatan pemilihan umum yang bertujuan memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk daerah otonom tertentu, yang diharapkan mampu mewujudkan sistem politik yang lebih stabil dan berkualitas, karena terjadi proses pendewasaan pemilih, partai politik, penyelenggara dan media massa.

Dikorelasikan objek tulisan, menegaskan ikutsertaan eks kombatan/GAM di Pilkada bagian memastikan terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, bahkan membuat mereka lebih memahami dan dewasa dalam berpolitik.

Nanti dapat kita ketahui dari tapak tilas fakta, dimana eks kombatan pertama kali ikut Pilkada di tahun 2006. Semua kandidat dari kalangan eks GAM dan eks Kombatan, masih mendapatkan dukungan rakyat dan memenangkan Pilkada saat itu. Pasangan yang diusung yaitu Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar dari jalur perorangan/ independent terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur dengan perolehan suara sebesar 768.745 (38, 20%).

Tidak hanya ditataran provinsi saja, kemenangan kalangan eks kombatan di 10 Kabupaten Kota pada Pilkada 2006, meliputi Sabang, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Aceh Selatan.

Kandidat eks kombatan yang ketika itu belum memiliki kendaraan politik berupa partai lokal sendiri, tetapi mereka sudah memiliki wadah konsolidasi berupa organisasi Komite Peralihan Aceh (KPA) maupun Sentral Informasi Referendum Rakyat Aceh (SIRA). Melalui itu mereka maju ke jalur independen (perorangan) untuk berkompetisi pada Pilkada era itu, daripada memakai kendaraan partai nasional.

Tercatat dari sajian data eks kombatan/GAM yang menang di Pilkada 2006 berjumlah 10 kabupaten/kota; Kota Sabang dimenangkan Munawar Liza Zainal dan Islamuddin (KPA/SIRA), Kabupaten Pidie terpilih Mirza Ismail dan Nazir Adam (KPA/SIRA), Kabupaten Pidie Jaya dimenangkan Drs. HM. Gade Salam/Yusuf Ibrahim (Afiliasi KPA).

Kabupaten Bireuen Nurdin Abdurrahman/Tgk. Busmadar Ismail (KPA/SIRA), Kota Lhokseumawe Munir Usman/Suadi Yahya (KPA/SIRA), Kabupaten Aceh Utara Ilyas Al-Hamid/Syarifuddin (KPA/SIRA), Kabupaten Aceh Timur Muslim Hasballah/Nasruddin Abu Bakar (KPA/SIRA), Kabupaten Aceh Jaya Azhar Abdurrahman/Zamzani A. Rani (KPA/SIRA), Kabupaten Aceh Barat Ramli MS/Fuadi (KPA/SIRA), dan Kabupaten Aceh Selatan Husin Yusuf/Daska Aziz (KPA/SIRA).

Komposisi kekuatan partai nasional melawan kubu alternatif dari jalur perorangan/independen tetap memiliki bargaining position yang kuat, jikalau dicermati dari fakta sejarah penguasaan berjumlah 13 kabupaten/kota.

Sajian data meliputi; Kota Banda Aceh Mawardi Nurdin/Illiza Saduddin Djamal (Golkar, PPP, PBR, PD), Kabupaten Aceh Besar Tgk H. Bukhari Daud/Anwar Ahmad (PBR, PAN), Kabupaten Nagan Raya T. Zulkarnaini/Kasem Ibrahim (koalisi parnas), Kabupaten Aceh Barat Daya Akmal Ibrahim/Syamsul Rizal (PAN), Kota Langsa Zulkifli Zainon/Saifuddin Razali (Golkar).

Kabupaten Bener Meriah Tagore Abubakar/Sirwandi Laut Tawar (Golkar), Kabupaten Gayo Lues Ibnu Hasim/Firdaus Karim (parnas), Kabupaten Aceh Tenggara Hasanuddin/Syamsul Bahri (PKB, PDIP), Kabupaten Aceh Tamiang Hamdan Sati/Iskandar Zulkarnain (PD, PBR), Kabupaten Aceh Tengah Nasaruddin/Djauhar Ali (koalisi parnas), Kota Subulussalam Merah Sakti/Affan Alfian Bintang (koalisi parnas), Kabupaten Simeuleu Darmili/Ibnu Aban (koalisi parnas), dan Kabupaten Aceh Singkil Makmur Syahputra/Khazali (Golkar).

Lalu hikmah belajar (lesson learned) dari hasil Pilkada 2006 itu apa? Beberapa catatan penting dapat kita simpulkan, pertama; hasil kemenangan di Pilkada 2006 tidak didominasi dari kalangan eks kombatan, dikarena dominasi partai nasional masih diatasnya.

Kedua; kemenangan eks kombatan melalui jalur perorangan di Pilkada 2006 di kabupaten/kota, disebabkan karena basis gerakan perlawanan dahulu. Terakhir ketiga; dikarenakan belum terbentuk partai lokal, kolaborasi antara gerakan perlawanan dan gerakan masyarakat sipil terbentuk melalui wadah organisasi KPA dan SIRA mengusung kadernya di Pilkada 2006. Disini juga kita fahami, bahwa eks kombatan dinilai kurang percaya diri atau mengerti menempati diri karena belum berpengalaman secara politik saat itu.

Masuk di fase kedua eks kombatan pada percaturan politik Pilkada 2012 jika disimak dari fakta sejarah. Perhelatan di level provinsi saat berlangsung Pilkada 2012 dimenangi pasangan Zaini Abdulllah/Muzakir Manaf dengan suara 1.327.695 (55,8%) melalui kendaraan Partai Aceh, sedangkan rivalnya Irwandi Yusuf/Muhyan Yunan melalui jalur perorangan hanya dapat suara 694.515, dipersenkan 29,2%.

Mengalami kenaikan jika dibandingkan di Pilkada 2006 hanya meriah kemenangan 10 kabupaten/kota, selanjutnya di Pilkada 2012 berhasil meraih kemenangan 11 kabupaten/kota, meliputi Sabang, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur dan Langsa. Nampak jelas keseimbangan hasil Pilkada 2012, dimana Parnas mampu meraih kemenangan di 12 kabupaten/kota.

Saat di Pilkada 2012, posisi eks kombatan/kader PA tidak lagi melalui jalur perorangan, dikarenakan sudah membentuk organisasi politik dinamai Partai Aceh sebagai partai lokal berskala lokal kedaerahan.

Walhasil kader mereka berhasil di Pilkada 2012 yaitu; Kota Sabang Zulkifli H. Adam/Nazaruddin (PA, PKS), Kabupaten Pidie Sarjani Abdullah/M. Iriawan (Partai Aceh), Kabupaten Pidie Jaya Aiyub Abbas/Said Mulyadi (Partai Aceh), Kabupaten Bireuen Ruslan H. Daud/Mukhtar Abda (Partai Aceh), Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya/Nazaruddin (Partai Aceh).

Kabupaten Aceh Utara Muhamad Thaib/Muhamad Jamil (Partai Aceh), Kabupaten Aceh Besar Mukhlis Basyah/Syamsulrizal (Partai Aceh), Kabupaten Aceh Jaya Azhar Abdurrahman/Tgk. Maulidi (Partai Aceh), Kabupaten Aceh Timur Hasballah M.Taib/Syahrul (Partai Aceh), Kota Langsa Tgk. Usman Abdullah/Marzuki Hamid (Partai Aceh), dan Kabupaten Aceh Barat Daya Jufri Hasanuddin/Yusrizal Razali (Partai Aceh).

Dari kalangan partai nasional jadi juara di kabupaten/kota meliputi; Kota Banda Aceh Mawardi Nurdin/Illiza Saduddin Djamal (Demokrat, PPP, SIRA), Kabupaten Aceh Barat HT Alaidinsyah/Rachmat Fitri (koalisi parnas), Kabupaten Nagan Raya T.Zulkarnaini/HM Jamin Idham (Golkar/PA), Kabupaten Aceh Selatan T. Sama Indra/Kamarsyah (koalisi parnas).

Kabupaten Bener Meriah Ruslan Abdul Gani/Drs Rusli m Saleh (koalisi parnas), Gayo Lues Ibnu Hasyim/Adam (koalisi parnas), Kabupaten Aceh Tamiang Hamdan Sati/Iskandar Zukarnain (koalisi parnas), Aceh Tengah Nasaruddin H/Djauhar Ali (koalisi parnas), Aceh Tenggara Hasanuddin Beruh/Ali Basrah (koalisi parnas), Singkil Safriadi/Dulmusrid (koalisi parnas), Simeuleu Riswan NS/Hasrul Ediar (koalisi parnas), dan Subulussalam Merah Sakti/Salmaza (parnas).

Ketika kita bandingkan sekaligus telusuri ternyata ditemukan hal menarik dari dua kali eks kombatan ikut Pilkada tahun 2006 dan 2012. Terlihat jelas sebelumnya hasil Pilkada 2006 Aceh Besar dikuasi dari partai nasional pada Pilkada 2012, berubah dikuasi eks kombatan melalui Partai Aceh. Lain lagi di Aceh Barat, eks kombatan melalui jalur perorangan di Pilkada 2006 memenangi Pilkada, namun di Pilkada 2012 bergeser kemenangan ke partai nasional.

Diikuti juga perubahan di Kabupaten Aceh Selatan sebelumnya dikuasi eks kombatan di Pilkada 2006, berubah dikuasi oleh partai nasional.

Dapat ditarik kesimpulan, bahwa eksistensi partai nasional khususnya di dua kabupaten tersebut berhasil mengembalikan ritme awal. Artinya dua kabupaten itu tidak lagi sebagai basis kekuasaan politik eks kombatan melalui partainya yakni Partai Aceh. Termasuk berubahnya bandul politik Kabupaten Aceh Besar sebelumnya dikuasi eks kombatan melalui jalur perorangan berubah ke partai nasional.

Lanjut masuk ke fase ketiga pelaksanaan Pilkada setelah damai pada tahun 2017 para kompetitornya terbagi ke 3 pasangan calon Independen dan 3 pasangan calon dari Partai Politik.

Siapa saja pasangannya, Zaini Abdullah/Nasaruddin (Independen/petahana), Tarmizi Karim/Teuku Machsalmina Ali (Golkar, Nasdem, dan PPP), Abdullah Puteh/Sayed Mustafa Usab (jalur independent), Irwandi Yusuf/Nova Iriansyah (PNA, PKB, Demokrat, PDA, dan PDIP), Muzakir Manaf/TA. Khalid (PA, Gerindra, PBB, dan PKS), serta Zakaria Saman/Teuku Alaidinsyah (independent).

Paslon Muzakir-TA Khalid yang hanya memperoleh 762.279 suara harus mengakui kemenangan paslon yang diusung Partai Nanggroe Aceh dan Partai Demokrat yaitu Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah yang berhasil meraup 890.551 suara. Berdasarkan hasil tersebut, pasangan Irwandi-Nova unggul daripada pasangan Muzakir-TA Khalid. Selisih suara keduanya yaitu 128.272.

Peta sebaran kemenangan eks kombatan/GAM dan kader Partai Aceh di Pilkada 2017 ada di wilayah serupa terkonsen di basis yang lama, dimana tidak berubah tetap sama seperti hasil Pilkada 2006.

Saat berlangsung pesta demokrasi di Pilkada 2017 hanya mampu meraih kemenangan di 10 kabupaten/kota saja. Tetapi ada satu wilayah/daerah bergeser ke parnas yaitu Bireuen dua kali Pilkada (2006 dan 2012) Parnas menang. Sedangkan daerah lain masih terkonsentrasi pada kantong suara basis Partai Aceh.

Ini diskripsinya, Sabang Nazaruddin/Suradji Junus (Partai Aceh), Pidie Roni Ahmad/Fadhullah TM. Daud (afiliasi KPA), Pidie Jaya Aiyub/Said Mulyadi (Partai Aceh/parnas), Lhokseumawe Suaidi Yahya/Yusuf Muhammad (Partai Aceh), Aceh Utara Muhammad Thaib/Fauzi Yusuf (Partai Aceh), Aceh Jaya Irfan TB/Tgk. Yusri (Partai Aceh).

Aceh Barat Ramli MS/H. Banta Puteh Syam (Partai Aceh), Nagan Raya HM Jamin Idham/Chalidin (Partai Aceh, parnas), Aceh Timur Hasballah M Taib/Syahrul bin Syamaun (Partai Aceh), serta Langsa Tgk. Usman Abdullah/Marzuki Hamid (Partai Aceh).

Selanjutnya peta sebaran kemenangan partai nasional di Pilkada 2017, dari data tersaji terjelaskan; Banda Aceh Aminullah Usman/Zainal Arifin (koalisi parnas), Aceh Besar Mawardi Ali/Husaini A Wahab (koalisi parnas), Bireuen Saifannur/Muzakkar A Gani (parnas,parlok), Bener Meriah Ahmadi/Tgk. Syarkawi (Golkar), Gayo Lues H. M Amru/Said Sani (parnas,parlok).

Aceh Tamiang Mursi/T.Insyafuddin (koalisi parnas), Aceh Tenggara Raidin Pinim/Bukhari (parnas,parlok), Aceh Tengah Shabela Abubakar/Firdaus (parnas), Aceh Barat Daya Akmal Ibrahim/Muslizari (parnas, parlok), Aceh Selatan Azwir/Tgk. Amran (parnas,parlok), Subulussalam Affan Alfian Bintang/Salmaza (parnas), dan Simeuleu Erly Hasim/Afridawati (parnas,parlok).

Catatan Peta Jalan

Selama satu dekade lebih (15 tahun) eks kombatan/GAM atau kader Partai Aceh berpartisipasi di Pilkada kabupaten/kota, dapat dipelajari temuan pentingnya yakni ternyata mereka tidak mampu memperbesar wilayah kekuasaannya di eksekutif diluar basis konsistuennya utamanya atau lumbung suara karena pengaruh gerakan perlawanan dahulu.

Ini terkesan dimata publik jago kandang saja, tanpa mampu ekspansi ke daerah baru sehingga memperbesar pengaruh kekuasaan Partai Aceh di eksekutif hasil Pilkada.

Dibuktikan wilayah penguasaan di kabupaten/kota masih terkotak di Sabang, Aceh Utara, Lhokseumawe, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Timur, Langsa, Aceh Jaya, Aceh Jaya, Bireuen, Aceh Barat. Namun fluktuatif di beberapa wilayah ditinjau dari dinamikanya, seperti di Pilkada 2006 Abdya tidak menang tapi di 2012 berhasil meraih kemenangan eks kombatan/kader Partai Aceh.

Sama halnya di Aceh Besar di Pilkada 2012 Partai Aceh menguasai tapi di Pilkada 2017 kalah dengan partai nasional. Selaras kejadian di kabupaten Bireuen di Pilkada 2006 dan 2012 eks kombatan/GAM/kader Partai Aceh menang, tetapi Pilkada 2017 kalah dari parnas. Khusus di Kota Langsa menambah basis PA diawal Pilkada 2006 tidak masuk tetapi di Pilkada 2012 dan 2017 meraih kemenangan.

Temuan penting dari rekam jejak perjalanan eks kombatan/GAM/kader Partai Aceh di Pilkada ternyata seiring berjalan waktu awalnya terkesan eksklusif, tetapi sudah mengalami perubahan jadi inklusif terlihat dari pola interaksi politik berkolaborasi (bersinergis) dengan partai nasional. Sehingga memunculkan irisan politik simbiosis mutualisme kedua belah pihak secara kepentingan politik kekuasaan.

Dari sisi menilai keberhasilan kepemimpinan eks kombatan/GAM/kader Partai Aceh masyarakat Aceh dapat mengetahui dari pemberitaan media massa, bahwa ada eks kombatan/kader PA berhasil memberikan dampak positif dari pembangunan daerah di semua lini pelayanan publik maupun kehidupan kemasyarakatan.

Daerah mana saja mereka itu?, Sabang, Aceh Jaya, Pidie Jaya, dan Langsa. Teruntuk Pidie awalnya ada hal nyata terlihat perubahan pada kepemimpinan 2006 dan 2012, namun penilaian publik banyak mengalami penurunan dengan pemimpin saat ini. Keberhasilan membangun daerah faktor penyebabnya, karena adanya kolaborasi dengan kaum birokrat, para ahli, maupun membuka partisipasi aktif pihak eksternal.

Apa pun cerita pemilih Aceh (masyarakat Aceh) memiliki kecerdasan dalam menilai serta menentukan sikap terhadap kepemimpinan eks kombatan/GAM/kader Partai Aceh di daerahnya yang pernah merasakan interaksi maupun dampak langsung selama memimpin daerahnya itu.

Tercermin selama tiga kali Pilkada mengalami pasang surut atau pergeseran pengelolaan kekuasan di kabupaten/kota. Akan tetapi khusus di tingkatan provinsi selama 15 tahun (1 dekade lebih) melaksanakan Pilkada kemenangan tetap di raih dari kalangan eks kombatan/GAM/kader Partai Aceh.

Harusnya eks kombatan/kader Partai Aceh dapat mengkapitalisir modal kekuasaan guna membuat perubahan besar disemua sektor kehidupan masyarakat Aceh. Seperti masalah kemiskinan, kesejahteraan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan derajat kehidupan masyarakat Aceh.

Namun fakta terlihat dipublik di level provinsi maupun hampir sebagai besar pemimpin kabupaten/kota tidak mampu mengejawantakan mimpi melalui visi dan misi secara nyata dengan tujuan Aceh menjadi provinsi mandiri secara ekonomi, berhasil dari segi pembangunan, dan pelayanan publik yang dirasakan maksimal.

Idealnya ada rancang bangun melalui blue print yang disusun secara bersama-sama eks kombatan/kader PA secara kolektif di kepemimpinan eksekutif yang dikuasi (dimenangkan) seluruh kabupaten/kota di Aceh. Mirisnya ini tidak terjadi dan terwujud guna membuktikan keberadaan mereka berbeda dengan pemimpin dari kalangan parnas yang mengisi di eksekutif.

Mirisnya lagi PA terlihat sekali ketidakmampuan mengelola sumber daya untuk melahirkan unit bisnis kepartaian untuk membangun fund raising untuk membesarkan kelembagaan partai sendiri. Bahkan eks kombatan/GAM/kader PA luput menjaga relasi dengan konsistuennya, bahkan menjaga relasi dengan sesama kalangan mereka sendiri.

Bahkan, memunculkan kecemburuan sosial diantara mereka sendiri. Tidak heran kalau ada penolakan dan gerakan penentangan sesama mereka sendiri. Sederhananya tidak diperhatikan, serta terjaga keharmonisan di kalangan bawah hingga atas.

Bacaan lainnya diprediksikan, PA akan tetap memfokuskan segmentasi pada basis suara yang dahulu di Pemilu 2024, tanpa berupaya ekspansi ke wilayah kabupaten/kota yang lain. Jika merujuk dari pengalaman hasil Pilkada 2006, 2012, dan 2017. Bisa saja pertimbangan logisnya dikarena itu lumbung suara pemilih yang besar, maka fokus tetap di wilayah itu untuk kerja-kerja politik pada Pemilu 2024 ke depannya.

Jangan sampai label publik menegaskan tidak ada perubahan Aceh selama kepemimpinan dari kalangan eks kombatan/GAM/kader Partai Aceh dalam mengelola jalannya pemerintahan. Hal ini sangat berpengaruh pada dukungan masyarakat Aceh di Pemilu 2024 nantinya. Ini menjadi serius untuk meraih simpatik dan kepercayaan kembali masyarakat Aceh yang kian menurun dilihat jelas dalam konteks kekinian.

Jika semua penjabaran subtansi tulisan diatas difahami, lalu disusun langkah strategis guna mengurai kelemahan, menjadi solusi perubahan yang muaranya Partai Aceh menjadi partai lokal yang sangat dipercaya masyarakat Aceh maupun disegani partai politik lainnya.

Semua akan terjawab dari hasil Pemilu 2024, apakah PA akan semakin eksis atau akan semakin menurun dibandingkan pengalaman sebelumnya di Pilkada 2006, 2012, dan 2017? Semua goresan fakta sejarah yang terjadi, kiranya dapat diambil hikmahnya. Karena sejarah ini diukir oleh manusia pelaku sejarah.


Penulis: Aryos Nivada

Dosen FISIP USK, Direktur Eksekutif Lingkar Sindikasi Grup

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda