kip lhok
Beranda / Analisis / Gugat Kesetaraan Kuota Caleg Partai di Aceh

Gugat Kesetaraan Kuota Caleg Partai di Aceh

Kamis, 22 Desember 2022 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada

Aryos Nivada. [Foto: dok Dialeksis]


Dampak Kepemiluan

Ketentuan kouta Bacaleg 120 Persen bagi parlok sejatinya mencerminkan adanya pembedaan kedudukan dan perlakuan (unequal treatment), sehingga menimbulkan persepsi ketidakadilan (injustice), ketidakpastian hukum (legal uncertainty), serta bersifat diskriminatif terhadap partai nasional pada umumnya.

Berpedoman prinsip berdemokrasi, maka diberlakukan hal yang baku terhadap asas keadilan, asas nilai dan asas bentuk. Kecuali partai lokal itu bentuknya organisasi. Hanya yang membedakan pada tataran kewenangan, secara bentuk, nilai dan keadilan, parlok dan parnas itu setara. Jadi jangan juga bentuk yang dianggap berbeda nilainya berbeda. Karena wujud dan bentuknya sama - sama partai.

Bila kita ilustrasikan, Parnas dan Parlok sama - sama berjenis kelamin lelaki. Namun yang satu lelaki dewasa satu lelaki belum akil baligh alias belum dewasa. Yang membedakan adalah pada sejauh mana kewenangan yang dimiliki satu sama lain.

Namun secara prinsip keduanya harus diberlakukan sama, karena sama - sama lelaki dan manusia. Jadi bila katakanlah masuk toilet, baik lelaki dewasa maupun lelaki belum dewasa harus sama - sama menggunakan toilet yang sama. Hanya berbeda bagi lelaki dewasa menggunakan toilet berdiri sedang lelaki belum dewasa menggunakan toilet duduk.

Meski demikian, sebagian pihak beranggapan bahwa perbedaan perlakuan antara Parnas dan Parlok di Aceh dalam hal kouta Bacaleg sesungguhnya merupakan sebuah bentuk kebijakan tindakan afirmasi (affirmative action) yang bertujuan mendorong lebih banyak representasi parlok dalam parlemen lokal.

Memahami affirmative action ini sendiri secara umum dapat diartikan sebagai ketentuan atau kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu berdasarkan pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama dan budaya.

Pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih profesional dalam beragam institusi dan okupasi. Tindakan ini merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan.

Konstitusi Indonesia sendiri tidak asing dengan prinsip perbedaan (difference principle). Sesuai dengan prinsipnya yang memberikan hak istimewa kepada kelompok minoritas dan terdiskriminasi, maka untuk konteks Indonesia affirmative action umumnya dilakukan pada perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.

Sebab, secara faktual kelompok tersebut yang selama ini kurang mendapatkan representasi, perlindungan maupun kesempatan melalui sistem yang ada.

Meski demikian untuk parlok di Aceh, argumentasi kebijakan kouta 120 persen sebagai bentuk kebijakan affirmative action dalam politik tentu harus didiskusikan dan ditinjau Kembali secara mendalam.

Apakah memang benar bahwa selama ini representasi elit politik lokal kurang terwakili di kancah parlemen lokal di Aceh sehingga perlu penambahan 20 persen lebih banyak dari parnas?

Apakah memang selama ini warga Aceh kurang mendapat tempat dalam hal penyaluran aspirasi politik di kancah lokal? Apakah ada hambatan bagi warga asli Aceh untuk berpartisipasi politik melalui parnas sehingga perlu mendorong secara maksimal penambahan kouta caleg bagi parlok di Aceh?

Sebagai catatan kebijakan affirmative action sendiri mendapat kontra sejak lama di kalangan para akademisi. Sebab kebijakan ini melanggar sebuah prinsip fundamental dalam demokrasi: perlindungan dan persamaan hukum. Karenanya, kebijakan ini dianggap sebagai tipe baru diskriminasi (reserve discrimination).

Selanjutnya »     Jalan Keluar Ada tiga jalan keluar atau...
Halaman: 1 2 3 4 5
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda