kip lhok
Beranda / Analisis / Kontrovesi Pertanggungjawaban APBA 2020

Kontrovesi Pertanggungjawaban APBA 2020

Senin, 23 Agustus 2021 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Dr. Syukriy Abdullah, Dosen FEB USK dan Ahli Akuntansi Nasional. [Foto: Dialeksis]


Kejadian di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada hari Kamis, 19 Agustus 2021 sangat menarik untuk dicermati dan diulas dari banyak sudut pandang. Hal ini sangat penting karena di tengah isu pandemi Covid-19 yang semakin tidak jelas kapan akan berakhir, Pemerintah Aceh seperti tidak perduli dengan kecurigaan dan kritik yang bertebaran di tengah masyarakat terkait dengan efektivitas dan keterbukaan dalam pengelolaan dana penanganan pandemi Covid-19.

Pemerintah Aceh berjalan sendiri, mengabaikan peran dan fungsi lemabga DPRA, terutama fungsi pengawasan. Padahal, terkait pengelolaan dana untuk penangan Covid-19, Diktum Keduabelas hurup b Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 119/2813/SJ – Nomor 177/KMK.07/2020 dengan tegas menyatakan bahwa: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan kabupaten/kota agar melakukan pengawasan terhadap proses penyesuaian APBD tahun anggaran 2020 di masing-masing Daerah.”

Salah satu kontroversi yang terjadi adalah pernyataan Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Taqwallah pada hari Rabu Agustus 2021, yang disampaikan di depan anggota Badan Anggaran DPRA. Sekda Aceh mengatakan bahwa dana refocusing 2020 tidak harus digunakan untuk penanganan Covid-19. Menurutnya, uang yang jumlahnya Rp2,7 trilyun lebih dapat digunakan untuk selain penangan Covid-19. (Dialeksis: Sekda Aceh: Dana Refocusing 2020, Tidak Harus Untuk Penanganan Covid-19 » DIALEKSIS :: Dialetika dan Analisis)

Akibat dari pernyataan tersebut, banyak komentar berseliweran di jagat dunia maya, bahkan mendapat tanggapan dari Dirjen Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Mochamad Ardian Noervianto. Pak Dirjen menyatakan bahwa dasar hukum pengunaan dana Refocusing adalah Permendagri No. 20/2020, Permendagri No. 39/2020 dan Permenkeu No. 17/2021. Beliau menyarankan untuk bertanya lagi ke Sekda Aceh apa dasar hukum penggunaan dana refocusing selain Permendagri dan Permenkeu tersebut.

Muara dari pernyataan Sekda Aceh ini, perubahan Pergub sebanyak 4 (empat) kali tanpa penyampaian kepada DPRA, dan “perubahan APBA sepihak yang dilakukan Gubernur Aceh” meledak pada saat penyampaian pandangan Banggar DPRA terhadap laporan pertanggungjawban pelaksanaan APBD TA 2020 dalam sidang paripurna DPRA, Kamis 19 Agustus 2021. Juru bicara Banggar DPRA Azhar Abdurrahman menyatakan: “Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka dengan ini Banggar DPR Aceh todak dapat menyepakati atau menyetujui rancangan qanun pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2020”.

Penolakan untuk menyetujui rancangan qanun pertanggungjawaban ini sudah diduga banyak pihak akan terjadi juga pada akhirnya. Ketidakharmonisan hubungan Gubernur Aceh dengan DPRA sudah terjadi sejak tahun 2020, dimana DPRA sempat melakukan interpelasi untuk pertama sekali kepada Gubernur Aceh atas pertanggungjawaban pelaksanaan APBA TA 2019. Interpelasi mencerminkan buruknya hubungan antara eksekutif dan legislatif di pemerintahan daerah, yang dimoderasi adanya kebijakan dan tindakan pemerintah daerah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.

Makna Penolakan untuk Menyepakati/Menyetujui

Penolakan untuk menyepakati/menyetujui rancangan qanun pertanggungjawaban APBA untuk ditetapkan menjadi qanun Aceh memiliki beberapa makna, yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Namun, harus dipahami dulu mengapa penolakan itu muncul dari sudut pandang politik anggaran.

Ketika DPRA menolak untuk untuk menyepakati/menyetujui rancangan qanun pertanggungjawaban APBA, maka penetapan rancangan qanun tersebut tidak dalam bentuk qanun, tetapi dalam bentuk peraturan gubernur. Hal ini disebabkan pertanggungjawaban APBA TA 2020 harus memiliki ketetapan secara hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk pengelolaan keuangan daerah.

Secara regulasi, Pasal 323 Ayat (1) UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa “Apabila DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, kepala daerah menyusun dan menetapkan Perkada tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.” Lebih lanjut disebutkan bahwa rancangan Perda Provinsi tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD harus mendapat evaluasi Menteri sebelum ditetapkan oleh gubernur (Pasal 245 UU No.23/2014).

Pasal 321 Ayat (2) menyebutkan bahwa “Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD untuk menguji kesesuaiannya dengan Perda Provinsi tentang APBD dan/atau Perda Provinsi tentang perubahan APBD, peraturan gubernur tentang penjabaran APBD dan/atau peraturan gubernur tentang penjabaran perubahan APBD serta temuan laporan hasil pemeriksaan BPK.”

Simpulan dari penolakan ini adalah, pertama, DPRA tidak ikut bertanggungjawab terhadap pelaksanaan APBA TA 2020 yang pertanggungjawabannya disampaikan kepada DPRA. Semua konsekuensi yang timbul dari pelaksanaan APBA TA 2020 sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pemerintah Aceh.

Kedua, DPRA selaku representasi rakyat Aceh tidak setuju dengan semua yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh selama tahun 2020, kecuali yang telah disepakati Bersama dalam Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2020. Penyesuaian Pergub penjabaran APBA untuk tujuan penanganan Pandemi Covid-19 adalah “perintah” dari Pusat yang tidak bisa ditolak, namun menggunakan anggaran di luar urusan Pandemi Covid-19 adalah pelanggaran atas perintah dari Pusat tersebut.

Ketiga, DPRA memandang Pemerintah Aceh telah melanggar peraturan perundang-undangan dan untuk itu menegaskannya dalam bentuk penolakan untuk menyetujui rancangan qanun yang isinya melanggar peraturan perundang-undangan dimaksud. Konsekuensi dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan dapat saja mengarah pada pelanggaran hukum secara pidana dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kemungkinan kerugian negara atas kebijakan anggaran yang melanggar peraturan perundang-undangan tersebut. Menambah alokasi anggaran belanja dan membagi-bagikannya kepada Pemda kabupaten/kota tanpa persetujuan DPRA merupakan sebuah bentuk pelanggaran signifikan

Terakhir, DPRA memandang sikap Pemerintah Aceh mengabaikan keberadaan DPRA sebagai sebuah lembaga perwakilan rakyat di daerah yang memiliki fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Penyesuaian anggaran dalam bentuk perubahan Pergub dibolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pusat, namun tetap dalam rangka menghormati fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPRA. Artinya, seluruh perubahan Pergub yang dilakukan semestinya disampaikan kepada DPRA sebagai dokumen dasar untuk mengawasi pelaksanaan APBA yang diubah tersebut.

Analisis Sebagian Penyebab Penolakan DPRA

Berdasarkan dokumen yang dibacakan oleh anggota Banggar DPRA Azhar Abdurrahman, dua dari alasan penolakan untuk menyetujui rancangan qanun menjadi qanun pertanggungjawaban APBA 2020 adalah:

1. Ketidakterbukaan Pemerintah Aceh dalam penggunaan dana refocusing. Plt. Gubernur Aceh mentapkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 40 Tahun 2020 tentang Penetapan dan Penyaluran Belanja Bantuan Keuangan Bersifat Khusus Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota se Aceh untuk Antisipasi dan Penanganan Dampak Penularan Corona Virus Disease 2019 Tahun Anggaran 2020 (tanggal 2 Juli 2020). Bantuan keuangan yang bersifat khusus ini secara total berjumlah Rp300 milyar.

Masalahnya adalah dasar penentuan besaran alokasi bantuan ini tidak menggunakan indikator yang terukur, seperti: jumlah penduduk, luas wilayah, dan pemetaan (mapping) wilayah terdampak Covid-19. Oleh karena tanpa indikator, maka timbul kecurigaan adanya “permainan” dalam menentukan alokasi ini, misalnya adalah dislike (ketidaksukaan) pada kepala daerah/Pemda tertentu atau adanya “komitmen” di belakang layar.

Akibat dari tidak jelasnya indicator pembagian anggaran ini adalah terjadinya ketimpangan alokasi bantuan antar-daerah. Misalnya, Kab. Aceh Tenggara menerima Rp10 milyar, sedangkan Kab. Gayo Lues menerima Rp15 milyar. Posisi Kab. Aceh Tenggara lebih berisiko dalam penularan Covid-19 karena merupakan pintu masuk dari Prov. Sumatera Utara dan juga memiliki jumlah penduduk (216.495 jiwa) lebih besar daripada Kab. Gayo Lues (94.100 jiwa). Artinya, semestinya Kab. Aceh Tenggara menerima jumlah alokasi yang lebih besar daripada Kab. Gayo Lues.

Contoh lain: Kab. Pidie menerima Rp10 milyar, sedangkan Kab. Pidie Jaya menerima Rp20 milyar. Jumlah penduduk Kab. Pidie lebih besar daripada Kab. Pidie Jaya, yakni 444.976 jiwa berbanding 161.215 jiwa. Artinya, pengalokasian dana kepada Kab. Pidie Jaya yang dua kali lipat lebih besar dari Kab. Pidie patut dipertanyakan karena tidak memiliki dasar yang kuat.

Selain indikator yang tidak jelas, Pemerintah Aceh juga “melakukan pembiaran” terhadap kesalahan yang dilakukan Pemda penerima bantuan keuangan yang bersifat khusus tersebut. Berdasarkan dokumen Hasil Pembahasan/Konsultasi Bantuan Keuangan Bersifat Khusus Kabupaten/Kota, penggunaan yang seharusnya untuk Bidang Kesehatan, Dampak Ekonomi, dan Social Safety Net (Bantuan Sosial), ternyata ditemukan sebagian dana digunakan untuk Infrastruktur. Contoh: Pemda Kab. Aceh Tenggara menggunakan Bantuan Bersifat Khusus untuk Pemeliharaan Daerah Irigasi (PDI) pada Dinas Perumahan dan Permukiman sebesar Rp1,75 milyar. Kasus lain: Pemda Kab. Gayo Lues menggunakan Bantuan Bersifat Khusus untuk operasional dan pemeliharaan irigasi pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Rp2 milyar.

2. “Pencurian anggaran” oleh Pemerintah Aceh. Pada tanggal 20 Mei 2020, Plt. Gubernur Aceh menetapkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 31 Tahun 2020 tentang Penetapan dan Penyaluran Belanja Bantuan Keuangan Bersifat Khusus Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Wilayah Aceh Tahun Anggaran2020. Pergub ini menetapkan 8 (delapan) Pemda kabupaten/kota yang menerima distribusi dana yang secara total berjumlah Rp200 milyar. Kedelapan Pemda tersebut adalah Kab. Gayo Lues, Kab. Nagan Raya, Kab. Pidie, Kota banda Aceh, Kota Langsa, Kota Subulussalam, Kab, Aceh Timur, dan Kab. Aceh Utara.

Alokasi Belanja Bantuan Keuangan Bersifat Khusus berdasarkan Pergub 31/2020 tersebut tidak tercantum dalam APBA TA 2020 yang ditetapkan dengan Qanun Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2020 dan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 80 Tahun 2019 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2020. Artinya, Gubernur Aceh mengubah sendiri substansi APBA TA 2020 dengan memunculkan/menambah alokasi Rp200 milyar tersebut tanpa persetujuan DPRA dengan menerbitkan Pergub.

Kebijakan pemberian bantuan bersifat khusus yang tidak berkaitan dengan penanganan Pandemi Covid-19 seharusnya melalui perubahan APBA tahun anggaran 2020, yang dibahas bersama oleh Gubernur Aceh dengan DPRA, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, pengalokasian dana tambahan yang tidak diperuntukan untuk penanganan Covid-19 ini melanggar regulasi karena yang boleh dianggarkan oleh Gubernur Aceh tanpa perlu persetujuan DPRA hanyalah alokasi yang terkait dengan Pandemi Covid-19.

Selain dua permasalahan yang sangat penting tersebut, karena berkaitan dengan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, masih terdapat beberapa temuan besar dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang memiliki implikasi terhadap pengelolaan keuangan Aceh saat ini dan untuk masa yang akan datang. Di antara temuan dalam LHP BPK RI yang harus dijelaskan oleh GUbernur Aceh adalah:

1. Penganggaran honorarium Sekretariat TAPA dan TAPA;

2. PPh 21 atas honorarium Tim Fasilitasi Forkopimda;

3. Penetapan Staf Khusus Gubernur, Penasehat Khusus Gubernur, dan Tim Kerja Gubernur; dan

4. Pembayaran Honorarium Non PNS Berupa Insentif Kepada Gubernur Aceh.

Implikasi Penolakan Persetujuan Raqan Pertanggungjawaban APBA TA 2020

Apa ujung dari penolakan untuk menyepakati/menyetujui rancangan qanun pertanggungjawaban APBA TA 2020 ini? Bagi sebagian pihak, hal ini dipandang sederhana: Gubernur Aceh tinggal menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh tentang pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2020. Selesai!

Sudah menjadi “kebiasaan” bagi Pemerintah Aceh untuk menetapkan Pergub terkait dengan APBA. Penetapan APBA murni dengan Pergub ternyata tidak berakibat apa-apa karena DPRA pun kemudian tidak bisa berbuat apa-apa, seakan pasrah menikmati ketidakberdayaan dengan meggenggam kewenanagn yang sangat besar. Punya kewenangan besar, tapi tak tahu bagaimana menggunakannya, atau kehabisan tenaga ketika mau memanfaatkannya. Alahai!

Bagi pihak lain, penolakan ini menjadi awal untuk Langkah berikutnya: interpelasi! Apakah ini berlebihan? Tidak! DPRA memiliki kewenangan untuk melakukan interpelasi. Hal ini diatur dalam Pasal 85 Ayat (1) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa: “Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana yang terkait dengan tugas, kewenangan, dan kewajibannya, DPRD dapat menggunakan hak interpelasi dan hak angket untuk menanggapinya.”

Dibutuhkan analisis yang lebih tajam untuk menguraikan secara rinci bagaimana mengkategorikan Gubernur Aceh sebagai kepala daerah yang menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana yang terkait dengan tugas, kewenangan, dan kewajibannya. Apakah penyalahgunaan kewenangan Gubernur Aceh terhadap pengalokasian anggaran untuk hal-hal yang tidak dibolehkan dalam peraturan perundang-undangan bisa mengarah ke tindak pidana?

Waktu akan terus berjalan dan dinamika di Pemerintahan Aceh akan terus berlangsung. Hubungan yang terlihat kurang harmonis antara Gubernur Aceh dengan DPRA bukan lah persoalan pokok bagi rakyat Aceh, yang masih bermimpi dengan perbaikan kesejahteraan hidup yang lebih baik. Sosok Sekda Aceh sebagai pemoderasi hubungan ini selayaknya perlu dievaluasi atau bahkan diganti, seperti permintaan banyak pihak, agar hubungan eksekutif-legislatif bisa lebih seiring-sejalan ke depannya. Semoga sisa masa jabatan yang masih tersisa, tidak sampai dua tahun lagi, tidak justru menjadi mimpi buruk bagi Gubernur Aceh yang dapat menganggu ingatan rakyat Aceh seumur hidup. (*)

Penulis : Dr. Syukriy Abdullah, Dosen FEB USK dan Ahli Akuntansi Nasional.

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda