Sabtu, 23 Agustus 2025
Beranda / Analisis / Kuil Tapakong Peunayong, Saksi Keberagaman Aceh Sejak 1878

Kuil Tapakong Peunayong, Saksi Keberagaman Aceh Sejak 1878

Sabtu, 23 Agustus 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Kuil Tapakong di kawasan Peunayong -- yang dikenal pula sebagai Vihara Dharma Bhakti -- telah melalui perjalanan sejarah panjang sejak akhir abad ke-19. [Foto: Akil Rahmatillah/Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di jantung Kota Banda Aceh berdiri sebuah kuil tua yang menjadi bukti nyata kerukunan antarumat beragama di “Serambi Mekah”. Kuil Tapakong di kawasan Peunayong -- yang dikenal pula sebagai Vihara Dharma Bhakti -- telah melalui perjalanan sejarah panjang sejak akhir abad ke-19. 

Ambo Asse Ajis, S.S., M.Si, Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Aceh-Sumut dan juga Pamong Budaya Ahli Pertama di Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Aceh, mengungkapkan bahwa keberadaan kuil ini menjadi saksi bisu hubungan harmonis antara etnis Tionghoa dan masyarakat Aceh selama ratusan tahun.

Kuil Tapakong bukan sekadar tempat ibadah, tapi jejak sejarah hidup yang menunjukkan Aceh pernah dan tetap menjadi tanah yang ramah bagi berbagai budaya,” ujarnya kepada Dialeksis, Sabtu (23/08/2025).

Menurut tradisi lisan yang berkembang, Kuil Tapakong bermula eksis di tahun 1878 di kawasan Pantai Cermin, Ulee Lheue, Banda Aceh. Pada masa itu, pesisir Ulee Lheue sudah menjadi satu wilayah kolonial Belanda sehingga memungkinkan membentuk permukiman dilokasi strategis tersebut. Termasuk penghuninya adalah banyak pedagang Tionghoa yang datang ke Aceh, mereka mendirikan Kuil Tapakong saat itu berupa bangunan rumah sederhana berbahan kayu, dikenal dengan nama mashurnya “Ta Pek Kong”, sesuai nama dewa yang dihormati di dalamnya.

Namun, tensi keamanan yang terus bergejolak akibat situasi global menuju pertengahan abad ke-20 turut memengaruhi nasib Kuil Tapakong. Demi menjaga keselamatan situs ibadah ini, pada tahun 1936 kuil dipindahkan dari Ulee Lheue ke kawasan Pecinan Peunayong yang lebih aman.

“Pemindahan ke Peunayong pada 1936 adalah upaya komunitas waktu itu untuk menyelamatkan warisan budaya mereka,” jelas Ambo Asse Ajis, seraya menambahkan bahwa Peunayong sudah sejak lama menjadi pusat komunitas Tionghoa di Aceh.

Setelah relokasi, bangunan kuil mengalami pemugaran dan peningkatan kualitas. Pasca 1960, Kuil Tapakong direnovasi menggunakan bahan beton oleh seorang tokoh masyarakat Tionghoa bernama Fung Chung Ming, menggantikan struktur kayu sebelumnya. Berkat renovasi ini, kuil dapat berdiri kokoh hingga sekarang di Jalan Teuku Panglima Polem, Gampong Peunayong. 

Ciri khas bangunan berupa dominasi warna merah dan putih, dengan dua patung naga menghiasi atap depannya, masih terlihat jelas dan terawat. Di belakang kompleks kuil, terdapat pula pusat studi komunitas Tionghoa, menandakan fungsi kuil ini bukan hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga pusat kegiatan budaya.

Kuil Tapakong Peunayong memiliki nilai budaya yang sangat penting sebagai simbol akulturasi dan toleransi di Aceh. Sejak era Sultan Iskandar Muda (awal abad ke-17), kawasan Peunayong memang telah menjadi tempat bermukimnya beragam etnis, termasuk komunitas Tionghoa yang menetap secara permanen di Banda Aceh.

Nama “Peunayong” sendiri berasal dari bahasa Aceh yang berarti memayungi atau melindungi konon di sini para tamu dari Tiongkok dan Eropa dulu dijamu dan dilindungi oleh Sultan. Tradisi keterbukaan itu berlanjut hingga masa kini, tercermin dari berdirinya berbagai rumah ibadah di kawasan tersebut.

“Di Peunayong, keragaman terjaga harmonis. Kuil Tapakong berdampingan dengan gereja-gereja dan masjid di sekitarnya -- ini pemandangan unik di Aceh,” kata Ambo Asse Ajis.

Kawasan Pecinan Peunayong memang dikenal luas sebagai simbol toleransi beragama di Aceh. Hingga sekarang terdapat empat vihara (kelenteng) di area ini termasuk Vihara Dharma Bhakti (Kuil Tapakong) sebagai yang tertua berdiri berdampingan dengan tiga gereja dan dua masjid di radius yang tak jauh satu sama lain. Keberadaan lebih banyak vihara daripada masjid di satu kawasan kota Banda Aceh merupakan bukti betapa istimewanya Peunayong sebagai kampung keberagaman.

Masyarakat setempat kerap menyebut Kuil Tapakong sebagai “Tepekong”, istilah lokal yang merujuk pada kelenteng Tionghoa. Kuil ini bukan hanya penting bagi umat Buddha Tionghoa, tetapi juga dihormati sebagai bagian sejarah kota. Sekitar 3.500 - 4.000 warga Tionghoa (keturunan Hakka, Khek, dan sub-etnis Tionghoa lain) yang kini tinggal di Banda Aceh menjadikan Vihara Dharma Bhakti Peunayong sebagai pusat ibadah, terutama saat perayaan hari besar seperti Imlek. Meski Aceh menjalankan syariat Islam, kenyamanan beribadah bagi umat non-Muslim tetap terjamin.

“Sejak dulu sampai sekarang, kerukunan di Peunayong itu luar biasa. Tidak pernah ada gesekan SARA,” ujar Ambo Asse Ajis, menguatkan pandangan bahwa toleransi di Aceh seringkali justru lebih baik daripada persepsi luar.

Sebagai situs bersejarah berusia lebih dari satu abad, Kuil Tapakong menghadapi tantangan dalam pelestariannya. Jejak asli di lokasi pendirian awal (Ulee Lheue) kini nyaris tak bersisa “ sejumlah makam tua komunitas Tionghoa di Pantai Cermin yang menjadi bukti sejarah tersebut bahkan ikut hilang disapu tsunami 2004.

Kuil di Peunayong sendiri selamat dari terjangan tsunami karena letaknya yang lebih jauh ke daratan, dan pascabencana justru sempat dijadikan tempat penampungan bantuan untuk korban di komunitas sekitar. Ambo Asse Ajis menekankan bahwa ancaman terbesar terhadap kelestarian kuil ini adalah jika generasi muda melupakan nilai sejarahnya.

“Kuil Tapakong telah melewati perang dan bencana. Tugas kita sekarang adalah merawatnya sebagai warisan budaya,” tuturnya.

Ia mendorong agar pemerintah daerah dan komunitas bekerja sama menetapkan kawasan Peunayong termasuk Kuil Tapakong sebagai cagar budaya yang dilindungi, sehingga pemugaran dan perawatan bangunan dapat terus berlangsung tanpa menghilangkan keasliannya.

Dari sisi internal, komunitas Tionghoa Aceh terus berupaya menjaga fungsi kuil tetap hidup. Kegiatan peribadatan rutin berlangsung setiap hari besar keagamaan. Menjelang Tahun Baru Imlek, misalnya, pengurus vihara membersihkan patung-patung dan pernak-pernik di altar, serta menyelenggarakan parade Barongsai yang bukan hanya dinikmati warga Tionghoa tapi juga disaksikan antusias oleh warga muslim setempat.

Ambo Asse Ajis, S.S., M.Si, Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Aceh-Sumut dan juga Pamong Budaya Ahli Pertama di Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Aceh. [Foto: dok. dialeksis.com]

Terbaru, pada perayaan Imlek 2574 (2023) lalu, di Peunayong digelar atraksi Barongsai keliling kampung sebagai wujud syukur dan hiburan bagi masyarakat luas. Hal - hal semacam ini menunjukkan bahwa kuil tidak berdiri sendiri, melainkan telah menyatu dengan denyut kehidupan kota Banda Aceh.

Sebagai arkeolog dan pelestari budaya, Ambo Asse Ajis melihat Kuil Tapakong Peunayong sebagai aset sejarah yang tak ternilai bagi Aceh. Di tengah modernisasi Banda Aceh, ia berharap aura klasik Pecinan Peunayong dengan kuil tuanya tetap dipertahankan.

“Kuil ini mengajarkan kita bahwa Aceh sejak lama adalah tanah yang inklusif. Merawat Kuil Tapakong berarti merawat semangat kebhinekaan Aceh,” ungkapnya penuh harap.

Dengan menggandeng organisasi seperti IAAI dan Balai Pelestarian Cagar Budaya, upaya pendataan dan dokumentasi sejarah kuil terus dilakukan. Harapannya, generasi muda Aceh mengenal sejarah keberadaan komunitas Tionghoa di daerahnya dan turut bangga akan warisan tersebut. 

Kuil Tapakong di Peunayong kini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah umat Buddha, tetapi juga sebagai ikon pariwisata sejarah yang menunjukkan wajah toleransi Aceh yang sesungguhnya. Melalui cerita panjangnya dari didirikan tahun 1878, selamat dari perang, berpindah lokasi, hingga tegak kembali pascatsunami Kuil Tapakong menyampaikan pesan bahwa keragaman budaya di Aceh adalah kekuatan yang harus dijaga lestari. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
sekwan - polda
bpka