kip lhok
Beranda / Analisis / Legal Opinion Kasus Jembatan Kilangan Singkil

Legal Opinion Kasus Jembatan Kilangan Singkil

Sabtu, 30 April 2022 21:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Jembatan Kilangan Aceh Singkil direkam pada pada 20 November 2021. [Foto: Dok MaTA]


Kasus Posisi

Penelusuran melalui laman LPSE Pemerintah Aceh, PT Sumber Cipta Yoenanda memenangkan tender Pembangunan Jembatan Kilangan dengan nilai kontrak Rp.42,9 miliar menggunakan APBA 2019, Kemudian surat perjanjian kerja nomor 31 AC/Bang/PUPR/APBA/2019 tanggal 2 Juli 2019.

Dalam dokumen laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan Pemerintah Aceh tahun anggaran 2019 oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menemukan sejumlah temuan, diantaranya bahwa pekerjaan pembangunan jembatan tersebut mengalami keterlambatan, meski demikian pekerjaan tetap dibayar 100 persen serta rekanan tidak dikenakan sanksi denda atas keterlambatan tersebut. Dalam laporannya, BPK menyebutkan bahwa hingga pemeriksaan berakhir, BPK tidak memperoleh dokumen kapan pekerjaan jembatan selesai dikerjakan dan copy jaminan bank yang dimaksudkan oleh PPTK.

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas dokumentasi foto jembatan menunjukkan ada 7 bentang jembatan telah tersambung, akan tetapi dari hasil pemeriksaan fisik ke lapangan pada tanggal 6 Februari 2020 menunjukkan masih terdapat pekerjaan pemasangan baut di lantai jembatan. Padahal berdasarkan berita acara serah terima pekerjaan nomor 630/BID-PBJ/2275/2019 tanggal 26 Desember 2019 yang telah dibayar lunas.

Kasus ini kemudian sampai ke diusut oleh pihak Kejati Aceh pada tahun 2021 dan memanggil sejumlah pihak seperti sejumlah pihak seperti Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Pokja IV, Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Aceh, Rekanan dan Konsultas Pengawas sudah dipanggil Kejati pada Februari 2021.

Perkembangan terkini, pihak Kejati Aceh memutuskan menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi jembatan Kilangan di Aceh Singkil.

Pihak Kejati Aceh diberitakan sudah mengecek langsung ke lokasi proyek Multiyears tersebut. Kesimpulan Kejati Aceh, Meski Audit BPK RI menemukan indikasi penyelewengan hukum namun pihak Kejati Aceh telah memastikan bahwa pelanggaran hanya di bidang administrasi dan telah diselesaikan. Kemudian pihak penyidik juga telah melaporkan ke pimpinan yang kemudian diputuskan bahwa belum ditemukan adanya alat bukti untuk ditingkatkan kasus tersebut ke tahap berikutnya.

Meski penyelidikan proyek multiyears jembatan Kilangan dengan anggaran sebesar Rp42 Miliar lebih dihentikan, tidak tertutup kemungkinan kasus tersebut dibuka kembali berdasarkan bukti dan data yang akurat.

Pendapat Hukum

Kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi, pada tingkat penyidikan berperan sebagai penyidik. Dalam penyidikan ini kejaksaan merupakan ujung tombak yang menentukan layak atau tidaknya sebuah perkara untuk diteruskan ke penuntutan. Apabila kejaksaan beranggapan bahwa penyidikan cukup bukti maka perkara tersebut dilanjutkan ke penuntutan dan sebaliknya apabila tidak cukup bukti maka penyidikan dihentikan.

Setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, ternyata ada hak penyidik untuk menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). SP3 ini terbit ketika sudah adanya penetapan seseorang sebagai tersangka. Jika mengacu pada KUHAP, maka tentang SP3 ini hanya diatur dalam 1 pasal dan 1 ayat yaitu Pasal 109 ayat (2) yang bunyi lengkapnya :

“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntu umum, tersangka atau keluarganya”

Dari norma di atas jika kita kaji, maka alasan terbitnya SP3 itu ada tiga yaitu :

1. Tidak cukup bukti

2. Peristiwa tersebut bukan tindak pidana

3. Demi hukum

Tidak cukup bukti, artinya penyidik tidak memiliki 2 alat bukti yang syah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hal ini tentu sedikit membingungkan karena ketika proses penyidikan berlangsung, dan ketika akan menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka penyidik telah memiliki 2 alat bukti yang sah.

Lalu jika alasan tidak cukup bukti yang dijadikan dasar, maka artinya ada alat bukti yang dianulir oleh penyidik sebagai alat bukti yang sah, sehingga dalam terbitnya SP3 tersebut dinyatakan bahwa alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka dinyatakan tidak sah/tidak tepat/tidak akurat/bukan sebagai alat bukti sehingga diterbitkanlah SP3.

Terkait dengan kasus SP3 Jembatan Kilangan, penyidik Kejati Aceh tidak dapat begitu saja melanjutkan kasus baru karena sebab sebagai berikut :

Pertama, Terhadap penyidikan yang telah dilakukan penghentian penyidikan, kejaksaan selaku penyidik hanya dapat membuka kembali penyidikan apabila ada putusan hakim praperadilan yang memutus penghentian penyidikan tidak sah dan apabila ditemukan alasan baru.

Pengaturan mengenai penyidikan kembali perkara yang pemah dihentikan penyidikannya berdasarkan putusan hakim praperadilan mengenai tidak sahnya penghentian penyidikan diatur secara tegas dalam Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP, namun penyidikan kembali berdasarkan ditemukannya alasan atau bukti baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tersirat dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a dan d KUHAP, Pasal 76 KUHP, dan tersurat dalam Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-5 18/A/J.A/l 1/2001 tanggal 1 Nopember 2001 Tentang Administrasi Perkara.

Kedua, Dalam hukum dikenal dengan asas “Ne bis In Idem”, yang diatur dalam Pasal 76 KUHP dimana diatur tentang orang tidak boleh dituntut dua kali atas perkara yang sama.

Frase “menuntut” memang otoritas jaksa, namun tentu penyidik juga tidak akan bertindak gegabah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka karena jaksa sudah dipastikan tidak akan mau menuntut orang tersebut jika ternyata untuk perkara yang sama pernah dituntut sebelumnya. Karena itu, ketika penyidik menyadari bahwa orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka ternyata adalah orang yang sama dengan perkara yang sama yang pernah dijatuhi hukuman, maka diterbitkanlah SP3.

Apabila penghentian penyidikan dilakukan dengan cara mengeluarkan SP3 dan kemudian dilakukan penyidikan kembali berarti SP3 tersebut menjadi batal dan ini akan berdampak terhadap keadilan dan kepastian hukum dari tersangka. Bagi tersangka apabila perkara yang disangkakan terhadapnya sudah dihentikan dengan mengeluarkan SP3 maka itu hendaknya memberikan kepastian hukum, tetapi apabila SP3 tersebut dibatalkan dengan melakukan penyidikan kembali merupakan hal yang tidak adil bagi tersangka. Padahal tujuan hukum adalah memberikan keadilan dan kepastian hukum. Jadi apabila suatu penyidikan yang dihentikan dengan mengeluarkan SP3 maka harusnya SP3 itu dapat menjamin kepastian hukum bagi tersangka.

KUHP sebagai hukum positif yang berlaku di negara Indonesia, menyatakan secara tegas dalam Pasal 76, terhadap diri terdakwa hanya diperbolehkan diperiksa dalam persidangan, sekali saja terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan secara tegas KUHP melarang terdakwa untuk diperiksa dan disidangkan kembali yang kedua kalinya dengan peristiwa dan tindak pidana yang sama. Penerapan asas ne bis in idem dalam perkara pidana adalah mempunyai suatu tujuan tertentu. Tujuannya antara lain:

• Jangan sampai pemerintah berulang-ulang membicarakan tentang peristiwa pidana yang sama, sehingga dalam suatu peristiwa pidana ada beberapa putusan-putusan yang kemungkinan akan mengurangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya;

• Sekali orang sebagai terdakwa harus diberi ketenangan hati, janganlah orang dibiarkan terus menerus dengan perasaan terancam oleh bahaya penuntutan kembali dalam peristiwa yang sekali telah diputus.

Dengan demikian jelas bahwa tujuan penerapan asas ne bis in idem dalam perkara pidana adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap diri terdakwa agar tidak dapat dituntut dan disidangkan kembali dalam peristiwa dan perkara pidana yang sama dan yang sebelumnya telah pernah diputus dan juga menghindari agar pemerintah tidak secara berulang-ulang memeriksa perkara yang telah pernah diperiksa sebelumnya yang pada akhirnya menimbulkan beberapa putusan berbeda-beda.

Kesimpulan dan Saran

Terhadap penyidikan yang pernah dihentikan dapat dilakukan penyidikan kembali. Pengaturan mengenai penyidikan kembali perkara yang pemah dihentikan penyidikannya berdasarkan putusan hakim praperadilan mengenai tidak sahnya penghentian penyidikan diatur secara tegas dalam Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP, namun penyidikan kembali berdasarkan ditemukannya alasan atau bukti baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tersirat dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a dan d KUHAP, Pasal 76 KUHP, dan tersurat dalam Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP- 5 18/A/J.A/l 1/2001 tanggal 1 Nopember 2001 Tentang Administrasi Perkara.

Mencermati kasus penghentian penyidikan jembatan kilangan, Meminta agar Kajati Aceh jangan terpengaruh kepada tekanan publik yang tidak mendasar secara bukti dan putusan hukum.

Pembukaan kembali perkara yang telah di dihentikan akan merusak citra kejaksaan aceh serta menciderai profesionalisme penegak hukum, dimana proses penerbitan penyidikan tentunya telah melalui serangkaian pemeriksaan dan pembuktian melalui mekanisme hukum.

Dalam melakukan penyidikan, seorang jaksa penyidik harus benar- benar cermat dalam melaksanakan tugasnya sebab apabila penyidik salah dalam melakukan proses penyidikan mengakibatkan penyidik dapat dipraperadilankan dan diperiksa oleh pengawasan. [RED]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda