Masa Depan Politik Aceh
Font: Ukuran: - +
Gagasan pemikiran politik masa depan Aceh di lihat dari dua hal, yaitu pengaruh kepentingan elit politik pusat terhadap kekhususan politik lokal Aceh dan perilaku elit politik. Kedua pondasi itu harus mencerminkan narasi yang ideal berorientasi pada semangat membawa perubahan bagi masyarakat Aceh. Bukan malah semakin terpuruk jauh dari mimpi dalam mewujudkan Aceh yang sejahtera, adil, dan makmur. Intinya, narasi politik yang dibangun bukanlah sama sekali jauh dari harapan publik di Aceh.
Mimpi mewujudkan masa depan politik Aceh yang berorientasi pada kesejahteraan, adil, dan makmur, syaratnya harus dihilangkan perilaku ku’eh (tidak senang melhat kesuksesan pihak lain), termasuk tidak memiliki perasaan senasib sepenanggungan, serta cenderung tidak menepati janji (komitmen). Tiga hal ini telah membuat kemunduran cara berpolitik, beretika dan santun yang menjunjung tinggi semangat membangun daerahnya sendiri.
Terpenting kedepannya, perlu ditegaskan secara bersama-sama distribusi peran yang mampu mengoptimalkan semua lini dan bentuk partisipasi dari berbagai pihak, akumulasi peran, serta kesepakatan etika berpolitik yang menjadi ciri khas elit politik di Aceh. Tujuannya jelas adalah untuk membentuk karakter masyarakat politik yang cinta akan semangat membangun dan membesarkan daerahnya sendiri. Ketika itu tidak menjadi diskursus dan tidak diwujudkan dikalangan elit politik di Aceh, baik legislatif maupun eksekutif, maka dapat disimpulkan bahwa imajinasi politik selaku orang Aceh tidak ada.
Road map Politik
Kelemahan paling mendasar dari kita selaku masyarakat politik yaitu tidak membuat road map politik khas Aceh pasca konflik. Isinya berlandaskan kepada kewenangan yang tertuang di dalam UUPA itu sendiri yang disinergiskan dengan visi dan misi dalam membangun Aceh masa depan. Desain road map politik seharusnya menjadi pedoman wajib bagi kalangan politik dalam bertindak merumuskan kebijakan dan langkah ke depannya Aceh ingin dibawa kemana. Subtansinya jelas memperjuangkan kesejahteraan, keadilan, kedaulatan untuk kemaslahatan warga Aceh sendiri tentunya.
Pernah dikalangan masyarakat sipil membuat road map Aceh pasca konflik yang dinamakan skenario Aceh Baru. Dimana road map terbagi kedalam Aceh baru, Aceh lama, dan Aceh hancur. Ketiga pembagian itu seharusnya dijadikan landasan dari awal oleh kalangan elit politik dalam merumuskan langkah yang diinginkan masyarakat Aceh. Karena konsep itu lahir dari saripati keinginan di akar rumput (grass root), bukan lahir dari imajinasi atau pemikiran masyarakat sipil. Lantas apakah mampu kalangan elit politik melahirkan dan merumuskan skenario desain politik masa depan berbasiskan kesejahteraan, keadilan, dan lainnya?.
Imajinasi Rakyat dan Politisi
Jika meminjam pemikiran Otto Syamsuddin Ishak dalam diskusi bersamanya beberapa waktu yang lalu. Dirinya mengatakan hayalan politikus tidak nyambung dengan hayalan masyarakat/konstituennya sendiri. Maka dari pemikiran Otto dapat artikan kebutuhan untuk mewujudkan kesejahteraan maupun kemakmuran lahir bukan dari kebutuhan grass root tapi dari benak pikiran politikus sendiri.
Imajinasi itu, jika meminjam pemikiran Benedict Anderson "Magnum Opus"-nya, berjudul Imagined Communities, bahwa solidaritas yang sifatnya abstrak lahir karena berlandaskan pada kesamaan kesadaran akan sebuah komunitas yang dibayangkan (imagined communities). Anderson menegaskan bahwa solidaritas merupakan cerminan dari jiwa nasionalisme yang melekat pada suatu komunitas tertentu. Jika demikian, apa yang terjadi pada kita di Aceh, boleh jadi kita gagal membangun jiwa nasionalisme ke-Aceh-an pasca konflik. Tidak seperti dahulu pada era konflik terjadi, dimana jiwa nasionalisme ke-Acehan kita sangat kuat sekali. Apakah keadaan yang membentuk sehingga memiliki common sense dan common enemy, atau lunturnya jiwa nasionalisme karena kita terlena dengan kehidupan damai yang membuat arah perilaku elit politik lebih egois memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri.
Pengaruh Kepentingan Elit Politik Pusat
Kenapa indikator ini dimasukan diawal tulisan, karena pertimbangan rasionalnya terlalu dominan kepentingan elit politik pusat yang mengendalikan pemerintahan daerah di seluruh Indonesia. Catatan tegasnya, intervensi elit politik pusat tentunya berlandaskan kepada kepentingan kontrol stabilitas politik maupun keamanan. Dua hal itu menjadi mindset elit politik pusat mengelola seluruh provinsi di Indonesia. Tentu saja hal ini berujung pada mempertahankan kekuasaan menjadi lebih mudah dikontrol.
Kita fahami semua elit politik di pusat adalah sekelompok orang-orang yang ada dalam masyarakat dan menempati kedudukan tinggi di eksekutif maupun legislatif. Kekuasaan yang mudah dikelola elit politik pusat, ketika desain kepentingan nasional secara strategis, visioner, dan stabilitas menjadi agenda dikalangan mereka, maka bisa dipastikan posisi daerah akan mengikuti langgam atau bandul permainan mereka.
Menarik menganalisis mengapa Aceh penting tetap diintervensi dan dikontrol penuh oleh elit pusat, walaupun secara status sudah menjalankan tata kelola pemerintahannya berpedoman pada konsep desentralisasi asimetris. Ada beberapa yang dapat dicermati dari serangkaian pengumpulan informasi guna menjawab pertanyaan tersebut. Pertimbangan logis Aceh tetap diintervensi oleh elit politik pusat karena beberapa hal. Pertama, Aceh sebagai perekat nasionalisme ke-Indonesia-an; kedua, kontribusi besar terhadap pembentukan negara; ketiga, Aceh menjadi magnet mempengaruhi politik nasional; dan keempat, Aceh strategis secara teritorial kewilayahan.
Kalau dipelajari cara elit politik pusat mengontrol dan mengintervensi Aceh melalui mekanisme regulasi atau peraturan tertentu. Tentunya bersifat pelan-pelan tapi pasti arahnya akan sentralistik kembali, walau sudah diberikan kekhususan. Tidak menutup kemungkinan jika caranya menghilangkan kekhususan di dalam regulasi UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Buktinya terlihat dari program legislasi nasional (proglenas) di DPR yang memasukkan revisi terhadap UU No.11 tahun 2006 untuk dibahas ulang sehingga melahirkan produk regulasinya sesuai citra rasa elit politik pusat.
Cara kerja mereka “elit politik pusat” melalui metode posisi berdasarkan pemikiran Karl Marx, dimana elit politik yang menduduki posisi atau jabatan strategis dalam sistem politik di parlemen maupun di eksekutif membuat tindakan menghilangkan kekhususan Aceh. Tentunya jabatan strategis yaitu dapat membuat keputusan dan kebijakan dan dinyatakan atas nama negara.
Kalau mau dibuat pengkategorian muatan kepentingan elit politik pusat terhadap Aceh terbagi menjadi dua, yaitu kepentingan subjektif dan kepentingan objektif. Kepentingan subjektif yaitu pemangku kepentingan yang memiliki kepentingan pribadi terhadap sumber daya yang dimiliki di Aceh, tauapun memperbesar kekuasaan ditingkatan lokal di bumi serambi mekah. Adapun kepentingan objektif dimana elit politik pusat sangat berkepentingan terhadap Aceh untuk menjalankan pelayanan publik serta merealisasikan perencanaan yang berfokus kepada pembangunan fisik maupun ekonomi di Aceh.
Kekhususan Politik Lokal Aceh
Di Indonesia hanya ada empat provinsi yang pola penerapan desentralisasinya bersifat asimetris, meliputi Aceh, Papua, Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Sudah pasti bentuk penerapan politik lokalnya berbeda dengan sistem yang seragam diterapkan pemerintah pusat. Kalau kita telusuri bentuk kekhususan yang dijamin pada UU No. 11 tahun 2006 meliputi keberadaan partai politik lokal, keberadaan calon independent/perorangan, diakui keberadaan pemerintahan mukim dan gampong sebagai struktur resmi di pemerintahan Aceh, peran DPRA dan pemerintah Aceh memberikan pertimbangan terhadap perencanaan serta persetujuan perjanjian internasional, dan lain-lain.
Pendek kata, elit politik di Aceh harus benar-benar mampu mengoptimalkan kewenangan khusus terkait pengelolaan tata kelola pemerintahan yang tertuang di dalam UU No. 11 tahun 2006. Jika tidak dan sibuk terjebak pada urusan sikap oligarki dan hegemoni kekuasaan, maka bisa dipastikan ke depannya nasib masa depan politik di Aceh menjadi suram. Dampaknya jelas maka akan memunculkan sikap yang selalu konflik sesama para elit politik lokal di Aceh. Jangan heran jika ada label dari luar Aceh mengatakan kita tidak selesai sesama kita dalam membangun daerahnya sendiri.
Ini menjadi suatu label negatif yang harus dijawab oleh para elit politik di Aceh dengan sikap kebersamaan, perasaan senasib, dan terpenting adalah komitmen bersama menghilangkan sikap ego dan mengedepankan kepentingan masyarakat Aceh. Itu kunci mewujudkan peradaban Aceh dengan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan yang maju dari sebelumnya.
Belum lagi masalah masa depan Aceh yang harus direspon melalui kebijakan politik maupun leadership dari pemimpin ke depannya untuk menyelesaikan masalah seperti ketimpangan ekonomi sesama masyarakat Aceh, pengaruh kebijakan global, perubahan iklim, dan disrupsi teknologi yang menimbulkan masalah etis dan sosial, bahkan tentu saja membutuhkan penyelesaian secara politik. Semua masalah itu dapat diredam atau diselesaikan, jikalau upaya menguatkan jiwa nasionalisme keAceh-an sesama orang Aceh yang harmonis serta jiwa nasionalisme ke Indonesia-an yang dinamis. Semoga. []
Penulis:
Aryos Nivada (Dosen FISIP Unsyiah)