Menakar Magnet Mualem di Pilkada 2024
Font: Ukuran: - +
Reporter : Aryos Nivada
Penulis: Aryos Nivada, Dosen FISI Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif
DIALEKSIS.COM | Analisis - Tahun 2024 menjadi tahun politik yang sangat penting bagi Indonesia. Selain pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden, sebagian besar daerah di Indonesia juga akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pilkada ini menjadi ajang penting bagi partai-partai politik untuk mengukur kekuatan dan kemampuan menjaring suara rakyat.
Salah satu faktor yang kerap menjadi pertimbangan pemilih dalam Pilkada di Provinsi Aceh adalah keberadaan sosok fenomenal, mengakar, dan karismatik dari seorang Muzakir Manaf atau akrab disapa 'Mualem'. Muncul pertanyaan, siapa sosok yang seimbang atau bahkan mengalahkan pengaruh orang seperti Mualem di Aceh? Atau apakah masih ada sosok lain yang lebih mengakar di masyarakat Aceh namun belum terungkap?
Sepak terjang Mualem sudah dikenal luas oleh seluruh masyarakat Aceh, terutama di era konflik bersenjata sebagai panglima tertinggi Gerakan Aceh Merdeka. Pasca perang dan perdamaian, Mualem pernah menjabat sebagai wakil gubernur periode 2012 “ 2017. Saat ini, ia didaulat sebagai Ketua Partai Aceh, Komisi Pengawas Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Waliyul 'Ahdi Lembaga Wali Nanggroe Aceh masa bakti 2022-2026, dan Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat sejak 2005 hingga sekarang.
Semakin ketar-ketir calon lainnya lantaran berbagai survei menempatkan Mualem selalu teratas secara elektabilitas dan popularitas. Namun, perlu diingat bahwa elektabilitas Mualem juga bisa mengalami fluktuasi seiring berjalannya waktu dan dinamika politik yang terus berubah. Hal ini sesuai dengan teori marketing politik (political marketing) yang menyatakan bahwa popularitas dan elektabilitas calon pemimpin sangat dipengaruhi oleh strategi pemasaran dan komunikasi politik yang efektif (Scammell, 1999; Lees-Marshment, 2001). Sehingga tidak ada jaminan elektabilitas seseorang tinggi menjadi pemenang dalm pertarungan politik di Pilkada.
Menjelang Pilkada 2024 di Aceh, banyak partai politik berlomba-lomba meminang agar kadernya menjadi pasangan Mualem. Namun, Mualem enggan memilih dari kalangan politikus atau kader partai karena menimbang pengalaman Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah. Konon, jika diduetkan dari internal, fakta menunjukkan pengalaman Mualem sendiri bersama Zaini Abdullah yang mengalami keretakan terjadi hanya 6 bulan setelah menjabat sebagai pasangan terpilih Pilkada 2012. Jika harus dipaksakan dengan internal lagi, tidak ada jaminan bahwa memori lama tidak akan terulang di masa mendatang.
Lalu, bagaimana Mualem memilih pasangannya? Ada diskusi menarik mengenai cara Mualem memilih pasangannya melalui mekanisme kesepakatan kolektif partai pengusung, namun dengan peluang tidak memunculkan kecemburuan serta merusak hubungan emosional. Solusi perekatnya adalah memilih dari kalangan ulama atau akademisi.
Namun, saat ini Aceh membutuhkan seorang akademisi yang teruji dan terbukti berhasil membuat perubahan bagi Aceh, ditelisik dari sosok akademisi yang pernah memimpin Aceh, mulai Abdul Madjid Ibrahim, Ibrahim Hassan, dan Syamsudin Mahmud. Dalam konteks kekinian banyak sosok akademisi siap dipinang Mualem, misalkan Prof Herman Fithra, Prof Samsul Rizal, Prof. Adjunct. Dr. Marniati, Prof Ishak Hasan, Prof. Dr. Marwan, dan Prof. Dr. Mujiburrahman.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Surbakti (1992) yang menyatakan bahwa calon pemimpin yang berasal dari kalangan akademisi cenderung memiliki kapasitas intelektual dan kapabilitas manajerial yang lebih baik dalam mengelola pemerintahan.
Namun, magnet Mualem ini perlu ditakar dengan seksama. Tidak sedikit yang menyatakan bahwa meskipun Mualem memiliki basis massa besar, namun pada akhirnya tidak mampu menghantarkan dirinya menjadi orang nomor satu di Pilkada 2017 dan tidak mampu meyakinkan dirinya menjadi magnet kuat di Pilkada 2012.
Fenomena ini bisa jadi akibat dari banyak faktor penyebab, seperti terpecahnya kubu internal Partai Aceh yang maju melalui jalur independen/perorangan, tidak ada dukungan elit berkuasa dari pusat saat itu, dan lain-lain. Atau sebaliknya, karena basis massa Mualem sebenarnya tidak sebesar yang diklaim. Jika merujuk pada teori pemilihan rasional (rational choice theory) yang menyatakan bahwa pilihan pemilih tidak hanya dipengaruhi oleh faktor popularitas calon, tetapi juga oleh pertimbangan rasional terhadap program kerja, visi, dan misi calon (Downs, 1957; Riker & Ordeshook, 1968).
Jika dibenturkan dari hasil Pemilu 2024, komposisi perolehan kursi Partai Aceh mendatang 20 kursi dari 81 kursi di parlemen Aceh “DPRA”. Artinya masih mayoritas dikuasai dari partai nasional. Tafsir lain tidak semua wilayah dapat dipengaruhi dan dikuasai oleh Partai Aceh bersama Mualem. Disinilah celah peluang untuk membuat partai nasional secara kolektif membangun gerakan bersama melahirkan sosok alternatif yang dapat diperjuangkan di Pilkada 2024 Provinsi Aceh.
Di sisi lain, Mualem masih sangat disegani dan didengar suaranya oleh masyarakat. Sosok seperti Mualem tentu akan menjadi magnet kuat yang mampu mempengaruhi pilihan masyarakat dalam menyalurkan suaranya. Oleh karena itu, para calon di Pilkada 2024 dan tim suksesnya perlu cermat membaca peta dan segmentasi pemilih, sekaligus menakar seberapa besar magnet Mualem dalam mempengaruhi dinamika politik di Pilkada nantinya.
Melakukan komunikasi politik yang efektif kepada seluruh segmen calon pemilih sangatlah penting agar tidak terjebak pada pengaruh Mualem untuk menyatukan partai politik. Hal ini sejalan dengan teori segmentasi pemilih (voter segmentation theory) yang menyatakan bahwa untuk memenangkan pemilihan umum, calon pemimpin perlu memetakan segmen-segmen pemilih dan menyusun strategi komunikasi politik yang spesifik untuk setiap segmen (Scammell, 1999; Newman, 1999).
Secara logika rasional, kemungkinan adanya pengaruh Mualem yang kuat bisa terjadi jika partai politik tidak memiliki taji dan ambisi untuk keluar dari bayang-bayang Mualem. Jangan sampai Mualem akan melawan "tong kosong" di Pilkada 2024. Jika itu terjadi, maka sudah jelas bargaining position partai nasional akan berada di bawah kontrol partai lokal, yakni Partai Aceh.
Maka akan terlihat jelas eksistensi partai nasional, walau dominan di parlemen Aceh, faktanya tidak mampu melahirkan poros lain di Pilkada 2024. Tentunya adanya poros baru dan kandidat baru sejalan dengan keinginan masyarakat Aceh untuk perubahan dan pembaharuan di tangan pemimpin Aceh ke depannya.
Agar alternatif memberikan khasanah sikap politik pemilih di Aceh dalam menentukan siapa pemimpin ke depan yang dapat menyelesaikan kompleksitas masalah publik. Mulai urusan kemiskinan, stunting, pengangguran, narkoba, dll. Bagi siapa pun memiliki tanggung jawab moral untuk berbuat memperbaiki kondisi Aceh, salah satunya caranya berpartisipasi maju di Pilkada 2024.
Dengan menakar magnet Mualem secara proporsional, diharapkan dapat membuka pemikiran dan sikap politik yang berwarna dalam merumuskan alternatif pilihan lain pada kontestasi di Pilkada 2024, sehingga dapat menghadirkan kepala daerah terpilih yang benar-benar mendapat mandat kuat dari rakyat. Kepemimpinan daerah yang legitimasinya kuat tentu akan lebih mudah dalam menjalankan roda pembangunan menuju perubahan dan pembaharuan.
Penulis: Aryos Nivada, Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif