kip lhok
Beranda / Analisis / Penyelenggara Haji Mandiri Aceh, Mungkinkah?

Penyelenggara Haji Mandiri Aceh, Mungkinkah?

Rabu, 17 Juni 2020 08:21 WIB

Font: Ukuran: - +

Aryos Nivada Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala


Wacana penyelenggaraan haji secara mandiri menguat setelah pihak otoritas Arab Saudi menunda pelaksanaan ibadah haji tahun 2020 akibat pandemi Covid 19. Wacana itu menguat dari Provinsi Aceh, provinsi yang notabene merupakan wilayah otonomi khusus dalam wilayah Indonesia.  

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi kepada publik dan media beberapa waktu lalu menyatakan , pada dasarnya Aceh bisa saja mengelola ibadah haji karena kewenangan tercantum dalam Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Wacana itu disambut dan direspon hangat oleh berbagai pihak, walaupun pro kontra tergambarkan di publik. Meski demikian terbersit sejumlah pertanyaan apakah dimungkinkan dan dapat dilaksanakan pelaksanaan ibadah haji secara mandiri ?

Muncul pertanyaan lainnya, pertama apakah memang benar Aceh memiliki otoritas dan kewenangan untuk dapat menyelenggarakan haji dalam UUPA. Kedua, apakah kewenangan tersebut tidak bertentangan dengan otoritas pemerintah pusat dan regulasi perundangan disisi lain.

Kewenangan Aceh dalam Pengelolaan Haji 

Dalam UU Nomor 8 tahun 2019 tentang pengelolaan Haji dan Umrah, pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Ibadah haji adalah rukun Islam, kelima bagi orang Islam yang mampu untuk melaksanakan serangkaian ibadah tertentu di Baitullah, Masyair, serta tempat, waktu, dan syarat tertentu.

Pada dasarnya pengelolaan Ibadah haji termasuk ke dalam lingkup urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan pemerintah Aceh. Bahkan pengelolaan ibadah haji ini disejajarkan dengan kewenangan penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam, adat istiadat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh. 

Hal tersebut diatur dalam pasal 16 ayat (2) huruf e UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Disebutkan “Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” 

Hal tersebut diatur dalam pasal 16 ayat (2) huruf e UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Disebutkan 

“Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” 

Adapun pelaksanaan ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam dalam Qanun Aceh dengan berpedoman pada peraturan perundang- undangan (Pasal 16 ayat 4 UU 11 Tahun 2006).

Haji sendiri merupakan bagian dari pelaksanaan kehidupan beragama di Aceh yang bersendikan Islam. Kekhususan Aceh dalam penyelenggaraan kehidupan beragama tersebut juga dikuatkan melalui pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menyebutkan; Adapun pelaksanaan ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam dalam Qanun Aceh dengan berpedoman pada peraturan perundang- undangan (Pasal 16 ayat 4 UU 11 Tahun 2006).

Haji sendiri merupakan bagian dari pelaksanaan kehidupan beragama di Aceh yang bersendikan Islam. Kekhususan Aceh dalam penyelenggaraan kehidupan beragama tersebut juga dikuatkan melalui pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menyebutkan: 

1. Keistimewaan merupakan pengakuan bangsa lndonesia yang diberikan kepada daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat             yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual. moral, dan kemanusiaan;

2. Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi: penyelenggaraan kehidupan beragama; 

    penyelenggaraan kehidupan adat;

3. penyelenggaraan pendidikan; dan

4. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah;

Berdasarkan pasal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa keistimewaan atau yang membedakan Aceh dengan daerah lain adalah 4 hal diatas. Penyelenggaraan kehidupan beragama di Aceh diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Aceh dapat menerapkan aturan aturan yang bersumber dari hukum Islam yang selanjutnya diatur dalam ketentuan Qanun Aceh (Lihat Pasal 4 UU Nomor 44 Tahun 1999). Berdasarkan ketentuan, jelas bahwasanya Aceh memiliki kewenangan dalam melakukan pengelolaan ibadah haji. Meski demikian kewenangan ini sendiri dibatasi oleh UUPA, melalui frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan”. 


Kewenangan Pemerintah Pusat dalam Pengelolaan Haji

Penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan di Arab Saudi pada dasarnya berkaitan dengan hukum internasional, hukum kontrak internasional dan juga mengenai beberapa regulasi yang ada di Indonesia serta perjanjian internasional antara negara dengan negara, dalam hal ini Indonesia dengan Arab Saudi.

Secara ketentuan nasional, tanggung jawab penyelenggaraan ibadah haji berada pada pemerintah pusat. Dalam UU Nomor 8 tahun 2019 tentang pengelolaan haji dan umrah, disebutkan pada pasal 10 ayat (1) Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler menjadi tanggung jawab Pemerintah. Kemudian pada ayat (2) disebutkan tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. Pada ayat (3) Pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui satuan kerja yang bersifat tetap dan terstruktur di tingkat daerah, di tingkat pusat, dan di Arab Saudi. 

Artinya secara hirarki kewenangan mengelola ibadah haji secara reguler tersebut diselenggarakan oleh pusat melalui mekanisme pelimpahan sebagian wewenang di daerah. 

Akan tetapi penyelengaraan ibadah haji merupakan otoritas pusat, dalam dalam UU Nomor 8 tahun 2019 tentang pengelolaan haji dan umrah terdapat ketentuan bahwa penyelenggaraan ibadah haji juga dapat diselenggarakan oleh Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. 

Pada Pasal 1 ayat (10) UU Nomor 8 tahun 2019 disebutkan bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh penyelenggara Ibadah Haji khusus dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat khusus. 

Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus berstatus sebagai badan hukum yang memiliki izin dari menteri untuk melaksanakan Ibadah Haji khusus. Berdasarkan pasal 64 ayat (2) UU Nomor 8 tahun 2019 disebut Kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari kuota haji Indonesia. 

Aceh dapat memanfaatkan celah dalam peraturan perundang-undangan ini untuk menyelenggarakan haji secara khusus dengan mekanisme Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. Tentunya setiap prosedur dan kuota tetap harus mengacu pada perundang-undangan terkait haji yang berlaku. 

Pengelolaan haji secara mandiri dan menetapkan kuota khusus yang berbeda dari ketentuan nasional, sejauh ini belum ada regulasi yang mengatur perihal tersebut. Artinya apabila Aceh hendak menyelenggarakan kewenangan pengelolaan haji secara mandiri, maka harus pula terjadi perubahan atau revisi terkait regulasi haji yang berlaku secara nasional, karena dalam UUPA telah membatasi kewenangan pengelolaan haji dengan tetap tunduk dan tidak bertentangan dengan UU yang berlaku secara nasional. 

Disisi lain karena urusan haji adalah urusan antar negara, maka yang dapat melakukan hubungan kerjasama tersebut adalah subjek hukum internasional, dalam hal ini adalah negara.  

UUPA telah membatasi Aceh untuk melakukan kerjasama luar negeri, terbatas pada investasi dan kegiatan seni budaya dan olahraga internasional. (lihat Pasal 165 ayat 1 dan pasal 9 UUPA). Selain itu subjek hubungan internasional Pemerintah Aceh terbatas pada lembaga atau badan di luar negeri (Pasal 9 ayat 1 UUPA).

Meski demikian, pemerintah Pusat dapat menyerahkan kewenangan dalam hal pengelolaan haji tersebut kepada Pemerintah Aceh. Dasarnya adalah Pasal 7 ayat (3) UUPA, dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), 

Pemerintah dapat: (a.) melaksanakan sendiri; (b.) menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota; (c.) melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah; dan (d.) menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dan gampong (desa) berdasarkan asas tugas pembantuan.

Tantangan

Penyelenggaraan ibadah haji secara mandiri, di satu sisi memiliki tantangan yang tidak mudah. Mulai dari prosedur pembiayaan, kesiapan petugas hingga tanggung jawab baik pra haji maupun pasca haji. 

Terlebih penyelenggaraan haji di tengah pandemi memiliki tantangan tersendiri terkait penerapan protokol kesehatan. Disinilah pemerintah Aceh perlu meyakinkan semua pihak, baik kepada pemerintah pusat maupun kepada publik, bahwa Aceh mampu mengelola ibadah haji secara mandiri dan profesional. 

Yang tak kalah penting adalah diplomasi dengan pemerintah Arab Saudi. Meski Aceh sudah tidak asing lagi bagi Saudi. Secara historis hubungan Aceh dengan Saudi dalam penyelenggaraan haji sudah berlangsung bahkan sebelum Indonesia merdeka. 

Aceh juga memiliki aset di Makkah berupa Baitul Asyi atau rumah orang Aceh yang merupakan wakaf dari ulama Aceh Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi atau lebih dikenal dengan Habib Bugak Al-Asyi. Akan tetapi tentu entitas Aceh hari ini berbeda dengan Aceh dahulu pada masa kesultanan, di mana belum termasuk dalam lingkup negara kesatuan Indonesia. 

Aceh yang hari ini memilih berdamai dan berjalan bersama dalam bingkai merah putih, tentu harus berkompromi dalam banyak hal dalam urusan haji. Oleh karena itu yang perlu dipastikan adalah adanya dukungan dari pemerintah pusat dalam pengelolaan haji secara mandiri dan juga dukungan dari pemerintah Arab Saudi sendiri. Tanpa kedua hal tersebut, rasanya mimpi memberangkatkan jamaah haji Aceh secara mandiri mirip dengan ucapan politisi kala di panggung kampanye. Indah ketika diucapkan namun susah untuk diwujudkan! 


Penulis

Aryos Nivada

Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala



?
Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda