kip lhok
Beranda / Analisis / Prof. DR. Firman Noor, MA: Mengapa Tiga Periode Kepresiden Harus dihindari

Prof. DR. Firman Noor, MA: Mengapa Tiga Periode Kepresiden Harus dihindari

Kamis, 17 Juni 2021 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga
Firman Noor/ foto dok Kumparan

Salah seorang dari Pusat Penelitian Politik LIPI mengulas tentang tiga priode kepresidenen harus dihindari. Mengapa harus dihindari, Dr. Firman Noor, MA (Hons), Peneliti Ahli Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI mengulas panjang lebar tentang tiga priode jabatan presiden.

Menurut Firman Noor yang tulisanya ditayangkan di media Kompas, edisi 17 Juni 2021 dia mengungkap dasar pemikiranya mengapa tiga priode kepresidenen harus dihindari.Mengawali tulisanya, Firman Noor mengutip kalimat pesan sejarah.

Kalimat itu; jangan sekali-kali meninggalkan sejarah dan peneliti ini mengahiri tulisanya dengan suri tauladan sebagai contoh, bahwa kekuasaan itu ada batasnya.

Bagaimana ulasan Firman Noor yang menarik ini, Dialeksis.com merangkumnya dalam berita. Menurut peneliti LIPI ini, diawal ulasanya dia mengingatkan agar tidak sesekali melupkan sejarah.

Firman Noor mengutip slogan yang didengungkan Bung Karno saat pidato terakhirnya pada 1966. Firman menulis, dalam makna pengalaman kesejarahan inilah ide mengenai tiga periode kekuasaan presiden menjadi layak untuk dihindari.

Menurutnya, saat ini seiring dengan makin masifnya wacana tiga periode adalah masa untuk mengingat kembali bahwa kekuasaan lebih dari satu dekade bukanlah pilihan yang bijaksana.

“Negara kita sudah sarat akan pengalaman munculnya penguasa-penguasa yang awalnya rendah hati (humble), tetapi menjadi demikian tidak sensitif akibat terlalu lama berkuasa,”tulis Firman.

Sehingga, kata Firman, tepat jika salah satu inti pokok dari keberadaan era reformasi adalah mengakhiri pengalaman getir adanya kekuasaan yang tidak terkontrol yang menimbulkan pembusukan politik.

“Para pelaku perjuangan penegakan reformasi menyadari bahwa pembusuk politik itu ternyata berkaitan erat dengan kekuasaan yang berkepanjangan. Hal yang akhirnya menyebabkan tertutupnya celah bagi perbedaan, munculnya pemerintahan yang tidak terkontrol, dibungkamnya oposisi, macetnya regenerasi kepemimpinan, dan menumbuhkan oligarki, korupsi, serta nepotisme,”jelasnya.

Berangkat dari keprihatinan itu, jelas Firman, bangsa ini sejak 1998 kemudian sepakat secara sadar untuk membatasi kekuasaan. Bahkan, ini sejatinya merupakan sebuah rasion de etre dari eksistensi Era Reformasi. Kita jelas tidak perlu mengulang kembali kesalahan dan bersikap ahistoris dengan memutar kembali arah jarum jam menuju model kekuasaan lama yang otoriter.

“Rekam jejak sejarah politik, tidak saja di negara kita, demikian terang-benderang bahwa di negara-negara otoriter mana pun berkorelasi dan ditandai dengan periode kekuasaan yang lama,” tulisnya.

Dalam hal kondisi otoriterian, saat ini potensi itu bukannya tidak ada. Hasil kajian beberapa kalangan menunjukkan Indonesia saat ini justru semakin menunjukan tendensi ke arah sana (Power 2018 dan LP3ES, 2020).

Beberapa kajian terakhir dari lembaga-lembaga survei juga menunjukkan stagnansi demokrasi di mana menurut data Freedom House, Indonesia masuk dalam kategori partly free; sementara menurut EUI, Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy (demokrasi yang cacat).

Diuraikan Firman, pada kondisi ketika demokrasi mengalami stagnansi itu, tiga periode kekuasaan akan membuka peluang untuk makin tidak tersentuhnya penguasa, dan berkecambahnya oligarki dan kroni-kroni-nya yang bekerja untuk kepentingan dirinya dan bukan rakyat banyak.

Singkatnya tiga periode berpotensi membuka pintu semakin terbajaknya demokrasi untuk kepentingan segelintir orang.

Situasi ini jelas pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari watak kekuasaan itu yang, sebagaimana Lord Acton katakan, memang cenderung korup (power tends to corrupt). Dan kita tidak perlu naif karena manakala kekuasaan dibiarkan berada dalam genggaman satu orang atau sekelompok orang dalam kurun waktu yang lama, tingkat penyelewengan kekuasaan akan cendrung semakin tinggi.

Apalagi, kata dia, dalam sebuah lingkungan di mana oposisi demikian lemah. Terbayang sudah akan menguatnya lagi oligarki atau setidaknya sebuah politik kartel, akar dari kebusukan demokrasi itu berada.

“Manakala kekuasaan dibiarkan berada dalam gengaman satu orang atau sekelompok orang dalam kurun waktu yang lama, tingkat penyelewengan kekuasaan akan cendrung semakin tinggi,” sebutnya.

Selain itu, jelas peneliti ini, menghindari tiga periode adalah karena potensinya yang akan memacetkan regenerasi kekuasaan. Dengan berkuasanya seorang presiden hingga 15 tahun, dan bisa jadi terulang pada masa-masa berikutnya mengingat penguasaan sumber kekuasaan petahana yang di atas rata-rata, dapat terbayangkan secara kalkulatif dalam kurun waktu 30 tahun akan hanya ada dua presiden.

Di sini akan ada kemacetan regenerasi pemimpin politik yang bisa saja menyebabkan banyak potensi pemimpin hebat yang hilang ditelan bumi. Negara Perancis memaklumi akan potensi semacam itu sehingga negara ini pun mengurangi durasi kepemimpinan presidennya menjadi lima tahun saja setelah sebelumnya 7 tahun. Sebelumnya Perancis kerap diledek memiliki seorang presiden layaknya raja mengingat terbuka peluang untuk dapat berkuasa selama 14 tahun lamanya.

Dampak dari stagnansi pemimpin politik ini adalah juga berpotensi menghadirkan pembusukan politik pada tatanan pemerintahan. Periode 15 tahun dapat membangun sebuah kebiasaan, sikap dan perilaku, serta pengelompokan elite berdasarkan kepentingan dukungan atas penguasa.

“Selama kurun waktu itu bisa jadi sumber daya manusia penguasa hanya akan berkutat pada kelompok-kelompok pro-penguasa saja, itu pun akhirnya pada mereka yang benar-benar dekat dengan pimpinan”.

Stagnansi politik juga dapat terjadi pada level partai politik. Kepemimpinan partai menjadi tidak akan bermakna karena sirkulasi kekuasaan mandek, karena peluang berkompetisi untuk posisi jabatan presiden secara seimbang tipis dengan adanya ketentuan tiga periode itu.

Partai dan kepemimpinanya hanya akan menjadi aksesoris, yang bermain sekadar menjadi pendukung bahkan penggembira politik saja.

Sementara bagi kalangan oposisi 15 tahun, jelasnya, akan menjadi masa penantian yang panjang untuk melemahkan semangat suksesi pemerintahan yang demokratis, penuh semangat dan substantif. Ujung-ujungnya muncullah sebuah kartel politik, dimana demokrasi hanya akan bersifat prosedural.

Selain itu, memperjuangkan sebuah komitmen politik secara konsisten adalah hal lain yang menjadi alasan mengapa ide tiga periode itu bukan pilihan bijak. Segemilang apa pun sebuah pemerintahan seharusnya tidak perlu dibayar dengan meruntuhkan kesepakatan luhur bangsa.

Firman Noor mencontohkan, sebagaimana yang terjadi di negarai Amerika Serikat (AS), dari 45 presiden (dalam 46 kepresidenan) hanya Franklin D Roosevelt yang dapat memerintah lebih dari dua periode.

Dua periode itu kemudian dikukuhkan pada Amendemen Konstitusi ke-22 pada tahun 1951, yang menyebabkan, sebaik apa pun performa seorang presiden, tetap berlaku ketentuan dua periode.

“Pelajaran yang dapat kita ambil konsistensi AS dalam mempertahankan tradisi demokratiknya adalah adanya konsistensi ini akan mendukung pelembagaan aturan main atau prosedur yang berlaku. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian-penyesuaian politik konstitusional yang memang dibutuhkan dan biasa terjadi di negara demokrasi mapan,” jelasnya.

Maknanya, adalah bahwa sebuah tradisi politik yang sah diharapkan akan mendarah daging sehingga kalkulasi politik setiap pihak atau aktor politik disesuaikan dengan prosedur yang mentradisi itu. Kepastian prosedural akan menumbuhkan kesadaran atas keterbatasannya waktu berkuasa, di sisi lain meyakinkan akan tetap adanya peluang untuk berkuasa.

Selain itu, menurut Firman, masih terkait dengan melembagakan suksesi kekuasaan, adalah dalam rangka melindungi bangsa dari manipulasi elite. Terlaksananya ide tiga periode akan membahayakan karena ini dapat menjadi preseden bagi elite penguasa untuk dapat melakukan apa pun sejauh memiliki kekuasaan dan alasan.

“Ini tentu akan menjadi preseden yang buruk mengingat bahwa para penguasa dengan kroni dan penasihatnya memang dapat melakukan apa pun di periode kekuasaannya demi semata melanggengkan kekuasaan,” jelasnya.

Untuk itu Firman menilai, para pemimpin yang dipandang berhasil alangkah baiknya jika tempatkan dalam posisi tutwuri handayani. Tokoh-tokoh terhormat mantan presiden itu tetap dapat memainkan kontribusi sebagai guru bangsa yang memberikan pandangan dan sikap yang bijak berdasarkan pengalaman untuk memberikan pencerahan bagi kita semua.

Selain itu juga terpenting adalah memberikan suri tauladan untuk mencontohkan bahwa kekuasaan itu ada batasnya, demikian ulasan Firman Noor, pusat penelitian LIPI. (baga)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda