DIALEKSIS.COM | Analisis - Sepekan selepas pelantikan yang mengejutkan, nama Purbaya Yudhi Sadewa sudah berubah dari sosok birokrat teknis menjadi magnet wacana publik. Penunjukan Purbaya sebagai Menteri Keuangan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 8 September 2025 tidak sekadar reshuffle kabinet biasa; ia menandai pergeseran preferensi kebijakan dari hati-hati ke perfoma yang lebih agresif dari manajemen fiskal yang konservatif menuju agenda pro-growth yang tegas.
Latar belakangnya bukan tanpa makna: doktor ekonomi lulusan Purdue yang pernah menakhodai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan menempati posisi strategis di berbagai kantor kementerian membawa legitimasi teknokratis. Tapi legitimasi teknokrat saja tidak cukup untuk menjelaskan gelombang perhatian yang diterimanya; gaya komunikasinya yang lugas dan kebijakan awalnya yang cepat menempatkan Purbaya di persimpangan harapan dan risiko.
Hanya beberapa hari menjabat, Purbaya menaruh sasaran tinggi mendorong pertumbuhan yang berkisar 6 sampai 8 persen pernyataan yang membuat pelbagai kalangan menoleh, dari pelaku pasar hingga akademisi. Klaim ini bukan sekadar retorika optimis; ia menjadi sinyal sekaligus cerminan dari kebijakan pemerintah untuk siap menggeser instrumen fiskal untuk mendorong permintaan agregat lebih cepat.
Namun target ambisius itu juga membuka ruang skeptisisme, sehingga muncul pertanyaan kritisnya apakah kerangka makro dan kapasitas implementasi kementerian sanggup menahan ekspektasi yang melambung?
Langkah paling konkret yang langsung menuai perdebatan adalah relokasi dana negara sekitar Rp200 triliun dari saldo di Bank Indonesia ke perbankan komersial (terutama BUMN). Langkah itu dimaksudkan untuk mendorong kredit dan menyuntikkan likuiditas ke perekonomian. Secara teknis, ini gerakan cepat untuk mempercepat penyerapan anggaran dan memicu aktivitas ekonomi.
Tetapi dari sudut politik dan tata kelola, pemindahan dana dalam skala besar itu memicu debat tentang otonomi fiskal daerah, potensi politisasi penyaluran, dan risiko kenaikan jumlah uang beredar jika tidak diimbangi langkah moneter yang cermat. Bank Indonesia sendiri telah mencatat tambahan uang beredar setelah tindakan itu, sehingga keseimbangan antara dorongan fiskal dan stabilitas moneter menjadi titik rawan.
Reaksi publik terhadap Purbaya pada awalnya cukup beragam. Namun, sejumlah survei dan pemantauan media sosial mulai dari riset Lembaga Indonesia Political Opinion (IPO), Indonesia Social Insight (IDSIGHT), hingga hasil penelitian Litbang Kompas menunjukkan tren yang menarik.
Dalam waktu singkat, seluruh hasil riset tersebut memperlihatkan pergeseran sentimen publik: penilaian positif terhadap Purbaya melonjak signifikan hanya dalam hitungan minggu. Lembaga - lembaga pengukur opini itu menyodorkan data yang memperkuat narasi tentang munculnya “fenomena Purbaya.”
Salah satu riset bahkan menempatkan Purbaya sebagai menteri yang memperoleh tingkat penilaian positif tertinggi pada periode awal masa jabatannya. Pergeseran sentimen ini tidak hanya membuka ruang politik yang lebih luas bagi Purbaya, tetapi juga menambah beban ekspektasi publik terhadap kepemimpinannya.
Jika mencermati dan membaca dibalik aksi Purbaya yang luput pencermatan banyak orang. Seperti kebijakan pemindahan dana bukan semata operasi teknis likuiditas; ia membuka kemungkinan reposisi alat fiskal yang mengikat perbankan negara lebih dekat ke mesin penyaluran belanja produktif jika disertai syarat transparansi dan kinerja. Hal ini bisa difasirkan reposisi instrumen fiskal sebagai taktik koordinasi pusat-bank-bank daerah. Dalam skenario ideal, ini bisa memperpendek rantai birokrasi belanja; dalam skenario buruk, ia memberi peluang bagi keterbukaan politisasi anggaran.
Bacaan lainnya atas sikap Purbaya mengelola keuangan negara bisa disimpulkan sebagai technocratic entrepreneur membangun legitimasi di luar politik partai. Berbeda dengan menteri berlatar partai, modal sosial Purbaya adalah jaringan profesional lintas era pemerintahan. Modal ini memungkinkannya menawar koalisi kebijakan berbasis kapabilitas teknis tetapi sekaligus menjadikannya target kelompok-kepentingan yang dirugikan perubahan. Membaca Purbaya semata sebagai ‘populer’ di medsos menutup dimensi struktur kekuatan yang sedang ia tantang.
Penilaian dari sisi komunikasi kebijakan yang transparansi dan akuntabilitas dapat dinilai bagian penting menguatkan kredibilitas pemerintah dimata masyarakat Indonesia. Janji besar menuntut peta jalan (roadmap) yang jelas; tanpa itu, pasar dan publik cepat mengartikan pernyataan ambisius sebagai janji kosong. Risiko moral hazard dan pembalikan sentimen dapat muncul lebih cepat daripada kemampuan administrasi terkait mengantar hasil nyata.
Ambisi Purbaya akan teruji oleh tiga hal: konsistensi kebijakan (apakah paket kebijakan memiliki indikator kinerja terukur), kemampuan koordinasi antar-lembaga (khususnya dengan BI dan kementerian teknis), dan ketahanan politik (apakah ia mampu menahan tekanan kelompok berkepentingan). Jika salah satu pilar ini goyah, efek kepercayaan yang kini menguntungkan bisa berbalik tajam.
Purbaya datang ke kursi Menkeu dengan modal teknis dan keberanian retorik. Dalam bahasa yang lebih netral yaitu ia membuka eksperimen kebijakan yang menukik antara peluang percepatan ekonomi dan risiko dislokasi institusional. Jika ia mampu menstrukturkan kebijakan yang berorientasi hasil dilengkapi transparansi, pengawasan independen, dan komunikasi yang terukur sejarah dapat mencatatnya sebagai arsitek percepatan. Jika tidak, momentum optimisme bisa menjadi beban yang mempersingkat ruang manuver politiknya.
Pada akhirnya, perjalanan Purbaya Yudhi Sadewa di kursi Menteri Keuangan akan menjadi ujian antara gagasan dan realitas. Ia mewakili semangat baru teknokrasi yang tidak hanya ingin menata angka, tetapi juga menafsir ulang peran fiskal dalam mempercepat pemerataan dan menumbuhkan kepercayaan publik. Namun sebagaimana sejarah selalu mengingat, keberanian merumuskan visi besar harus diimbangi dengan ketepatan mengeksekusinya.
Dalam konteks itu, Purbaya berdiri di persimpangan antara janji pertumbuhan dan risiko politik. Jika ia berhasil menautkan idealisme teknokrat dengan disiplin birokrasi serta sensitivitas terhadap denyut sosial-ekonomi rakyat, maka ia bukan sekadar Menteri Keuangan, melainkan simbol transisi menuju tata kelola ekonomi yang lebih terbuka dan visioner.
Namun bila langkahnya tersandung oleh resistensi struktural dan tarik-menarik kepentingan, maka agenda besar itu bisa runtuh menjadi retorika tanpa arah. Sejarah akan menilai bukan pada seberapa tinggi target pertumbuhan yang dijanjikan, melainkan pada seberapa bijak ia menjaga keseimbangan antara ambisi dan kehati-hatian, antara kecepatan dan keberlanjutan.
Purbaya kini memikul lebih dari sekadar tanggung jawab fiskal; ia menanggung ekspektasi tentang arah baru kepemimpinan ekonomi Indonesia. Waktu akan membuktikan, apakah ia mampu martir dan pionir untuk menulis bab baru dalam sejarah kebijakan publik bukan sebagai pejabat yang populer, melainkan sebagai arsitek perubahan yang berani dan terukur.
Penulis: Aryos Nivada, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan Direktur Eksekutif Lingkar Sindikasi