DIALEKSIS.COM | Analisis - Kabar bahwa revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas menjadi alarm serius bagi masa depan otonomi Aceh. Awalnya tersiar informasi bahwa perubahan UUPA untuk tahun 2025 tidak termasuk dalam prioritas legislasi, yang berarti jika berpegang pada daftar ini, pembahasan RUU tersebut tidak akan dilakukan tahun depan.
Kondisi ini sontak memicu kekecewaan dan kekhawatiran di Aceh, mengingat UUPA adalah payung hukum utama yang menjamin kekhususan Aceh pasca-perjanjian damai Helsinki 2005. Absennya revisi UUPA di Prolegnas Prioritas seolah mengingkari urgensi untuk memperbarui undang-undang yang sudah hampir dua dekade usianya.
Syukurnya, delegasi Aceh di parlemen pusat tidak tinggal diam. Lewat lobi intensif, Forum Bersama anggota DPR/DPD RI asal Aceh (Forbes Aceh) berhasil mendorong agar revisi UUPA dipertimbangkan kembali.
Dalam rapat Baleg DPR RI bersama pemerintah dan DPD awal September lalu, muncul titik terang: revisi UUPA disepakati masuk sebagai salah satu tambahan RUU prioritas tahun 2025. Awalnya pemerintah dan Baleg hanya mengajukan tiga RUU prioritas; DPD RI mengusulkan dua RUU tambahan, dan hanya satu yang diterima yaitu revisi UUPA berkat dukungan delegasi Aceh.
“Alhamdulillah, revisi UUPA akhirnya diputuskan masuk prioritas 2025. Ini hasil perjuangan bersama delegasi Aceh di tingkat pusat,” ujar Senator Azhari Cage.
Ia bahkan menegaskan bahwa narasi yang menyebut revisi UUPA tidak masuk prioritas adalah keliru karena kesepakatan resmi sudah ada. Meski demikian, masuknya RUU ini ke daftar prioritas hanyalah awal dari perjuangan panjang. Aceh tak boleh terlena justru kini saatnya memastikan janji politik tersebut benar-benar diwujudkan dalam pembahasan konkret hingga pengesahan.
Mengapa Revisi UUPA Sangat Penting?
Revisi UUPA bukan sekadar rutinitas legislasi, melainkan sebuah keniscayaan strategis untuk memperkuat fondasi perdamaian dan kesejahteraan Aceh. Pemerintah Aceh dan DPRA telah melakukan pekerjaan rumahnya: pada 21 Mei 2025 lalu, DPRA menyepakati perubahan terhadap 8 pasal serta menambah 1 pasal baru dalam UUPA, dan draf revisi itu sudah diserahkan resmi kepada DPR RI di Jakarta.
Artinya, bola sekarang sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat dan DPR RI. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Ahmad Doli Kurnia, bahkan telah menyatakan kesiapannya berkoordinasi dengan pemerintah untuk membahas revisi UUPA ini, dengan menyoroti salah satu fokus utamanya: keberlanjutan dana otonomi khusus (Otsus) Aceh yang akan berakhir tahun 2027. Dengan kata lain, memperpanjang masa “daerah pembangunan” Aceh ini menjadi agenda krusial dalam revisi UUPA.
Apa saja yang diusulkan dalam revisi tersebut? Secara substansi, revisi UUPA mencakup 10 pasal perubahan dan 1 pasal baru, yang dirancang untuk menyempurnakan otonomi Aceh ke depan. Beberapa poin strategis antara lain; penegasan hak Aceh dalam pengelolaan minyak dan gas bumi (Pasal 160) serta izin penangkapan ikan di perairan Aceh (Pasal 165), sehingga sumber daya alam Aceh dapat dikelola lebih adil sesuai semangat MoU Helsinki; penguatan konsep syariat Islam seperti zakat sebagai pengurang pajak (Pasal 192) tanpa menimbulkan dualisme kebijakan; pembentukan auditor independen (Pasal 194) demi transparansi pengelolaan keuangan Aceh; dan tentu yang paling mendesak, perubahan Pasal 183 terkait Dana Otonomi Khusus Aceh. Usulan revisi menetapkan dana Otsus sebesar 2,5% dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional tanpa batas waktu ke depan.
Ini jauh lebih progresif dibanding ketentuan saat ini yang membatasi Otsus Aceh hanya 20 tahun sejak 2008. Juga ditambahkan pasal baru 251A tentang pembagian pendapatan, yang diharapkan memperjelas pembagian hasil bagi Aceh dan pusat demi mendukung kemandirian ekonomi Aceh. Seluruh perubahan ini dirancang agar UUPA tetap relevan dan efektif menjawab tantangan kekhususan Aceh di masa kini. Wajar jika Wali Nanggroe Aceh pun telah memberikan restunya, seraya berpesan bahwa setiap perubahan “harus membawa kebaikan bagi Aceh, bukan sebaliknya”.
Singkatnya, revisi UUPA adalah upaya memperkuat landasan hukum bagi hak-hak istimewa Aceh yang belum sepenuhnya terpenuhi. Masih ada butir-butir Nota Kesepahaman Helsinki 2005 yang perlu diakomodir penuh dalam UUPA, mulai dari kewenangan lebih besar atas sumber daya alam hingga hal-hal teknis pemerintahan lokal.
UUPA lahir sebagai buah perjanjian damai yang telah menjaga stabilitas Aceh selama hampir dua dekade, sehingga pemutakhiran UUPA adalah ikhtiar untuk menyempurnakan janji perdamaian itu agar tetap kontekstual dengan perkembangan zaman. Mengabaikan urgensi revisi sama saja dengan mengingkari semangat perdamaian dan otonomi yang dijanjikan kepada Aceh.
Dampak Jika Revisi UUPA Terbengkalai
Taruhannya terlalu besar jika revisi UUPA ini kembali tersendat atau diabaikan. Dampak paling nyata tentu akan dirasakan pada aspek keberlanjutan Dana Otsus Aceh. Sesuai UUPA saat ini, Aceh mulai menerima Dana Otsus sejak tahun 2008 sebagai bagian dari implementasi perjanjian damai. Skemanya 15 tahun pertama (2008 - 2022) Aceh menerima dana sebesar 2% dari DAU nasional per tahun, lalu 5 tahun berikutnya (2023 - 2027) turun menjadi 1%.
Dengan demikian, tahun 2027 menjadi tahun terakhir penyaluran Dana Otsus sesuai ketentuan yang ada, kecuali diperpanjang melalui revisi UU atau kebijakan baru pemerintah pusat. Saat ini, kita tinggal menghitung bulan menuju tenggat tersebut. Bila revisi UUPA gagal disahkan tepat waktu, Aceh terancam kehilangan aliran dana istimewa yang telah menopang pembangunan daerah selama dua dekade.
Perlu disadari, sumbangsih Dana Otsus bagi Aceh bukan angka kecil. Dalam kurun 2008 hingga sekarang, total akumulasi dana Otsus yang dikucurkan mendekati Rp100 triliun. Dana ini menjadi motor bagi pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan, serta pemulihan ekonomi Aceh pascakonflik. Jusuf Kalla, tokoh kunci di balik perdamaian Aceh, menegaskan betapa vitalnya Dana Otsus tersebut untuk mengejar ketertinggalan Aceh. Menurut JK, perekonomian Aceh hingga kini masih tertinggal dibanding provinsi lain di Sumatra, sehingga wajar dan logis jika dukungan dana Otsus diperpanjang beberapa tahun lagi agar kesejahteraan rakyat Aceh dapat sejajar dengan daerah lain.
“Dana otsus Aceh yang nilainya hampir Rp100 T itu sangat penting bagi pembangunan dan pemulihan Aceh pascakonflik, sehingga wajar bila kebijakan ini diperpanjang,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR. Tanpa perpanjangan, begitu 2028 tiba Aceh harus berdiri sendiri tanpa sokongan khusus tersebut sebuah cliff effect yang dikhawatirkan dapat membuat banyak program pembangunan tersendat bahkan terhenti. Apakah Aceh siap menghadapi kondisi itu? Tentu tidak, apalagi indikator ekonomi-sosial Aceh masih memerlukan penguatan.
Selain soal dana, revisi UUPA memuat hal-hal krusial lain yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat Aceh. Misalnya, penegasan kewenangan Aceh dalam mengelola hasil migas hingga 70% untuk daerah adalah amanat perdamaian yang harus dituntaskan. Jika pasal terkait migas (Pasal 160 UUPA) tidak diperkuat, Aceh bisa terus merasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian hasil sumber daya alamnya.
Begitu pula izin penangkapan ikan (Pasal 165); tanpa revisi, nelayan Aceh masih menghadapi regulasi yang kurang berpihak kepada kearifan lokal. Inovasi seperti zakat sebagai pengurang pajak juga penting untuk konteks Aceh yang menerapkan syariat tanpa payung hukum yang jelas, implementasinya bisa stagnan.
Dan jangan lupakan, pasal baru 251A tentang pembagian pendapatan antara Aceh-pusat akan hilang jika revisi tak kunjung disahkan, padahal ini berpotensi meningkatkan pendapatan asli Aceh yang bermuara pada pelayanan publik lebih baik. Singkatnya, kegagalan merevisi UUPA akan merugikan masyarakat Aceh baik secara ekonomi maupun politik: hak-hak istimewa yang dijanjikan tak kunjung terealisasi, dan dukungan finansial khusus pun terhenti.
Lebih jauh, implikasi sosial-politik perlu diwaspadai. UUPA dan Dana Otsus bukan semata urusan uang, tetapi juga simbol komitmen negara terhadap Aceh. Masyarakat Aceh telah menyerahkan kepercayaan mereka melalui proses damai yang sulit; UUPA adalah manifestasi konkrit bahwa Aceh dihargai dalam bingkai NKRI dengan segala kekhususannya. Bila revisi yang bertujuan memperkuat kekhususan itu diabaikan, rasa trust masyarakat kepada pemerintah pusat bisa terkikis.
Generasi muda Aceh yang merasakan langsung manfaat beasiswa Otsus, pembangunan jalan, jembatan, rumah sakit dari dana tersebut tentu bertanya-tanya mengapa skema ini harus berakhir. Jangan sampai kekecewaan ini memupuk kembali narasi pinggiran atau ketidakpuasan yang bisa mengganggu harmoni pusat-daerah. Perdamaian Aceh adalah kisah sukses nasional, dan menjaga agar janji-janji dalam perdamaian itu ditepati adalah tanggung jawab moral kita bersama.
Maksimalkan Peran Forbes Aceh dan Pemerintah Daerah
Situasi ini menyiratkan satu hal: perjuangan Aceh tidak boleh kendor, justru harus makin gigih. Pertama, peran Forbes Aceh (Forum Bersama DPR-DPD RI asal Aceh) menjadi kunci penentu. Seluruh wakil rakyat dari Aceh di Senayan apapun partai dan latar belakangnya perlu bersatu padu mengawal revisi UUPA hingga tuntas. Sudah ada contoh baik ketika delegasi Aceh kompak memperjuangkan revisi UUPA sehingga Baleg DPR akhirnya memasukkannya ke prioritas 2025.
Kombinasi langkah di DPD (oleh senator Azhari Cage, dkk.) dan di DPR (dukungan anggota DPR seperti TA Khalid di Baleg) terbukti ampuh membuka jalan bagi Aceh. Ini momentum berharga yang harus dijaga. Forbes Aceh tidak boleh lengah atau bersikap “lepas tangan” setelah masuknya revisi UUPA ke daftar prioritas justru kini mereka harus all-out mengawal di setiap tahap mulai dari lobi lintas fraksi di DPR, memastikan dukungan pemerintah pusat, hingga detail teknis di Panitia Kerja nantinya.
Seperti diingatkan pakar hukum Mawardi Ismail, Forbes Aceh harus siap menempuh segala jalur legislasi yang tersedia, termasuk mekanisme “kumulatif terbuka” bila diperlukan, dengan memanfaatkan argumen urgensi dan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi yang relevan. Artinya, jangan beri ruang sedikit pun bagi alasan birokratis menghambat hak Aceh jika ada celah prosedural untuk mempercepat, gunakan semaksimal mungkin.
Kedua, Pemerintah Aceh sendiri (eksekutif daerah) harus lebih proaktif dan tidak “adem-adem saja” menanti hasil dari Jakarta. Pengalaman di masa lalu menunjukkan betapa ketidakseriusan pihak Aceh dapat berakibat fatal. Pada periode sebelumnya, revisi UUPA pernah terpinggirkan dari prolegnas karena dianggap pusat “tidak urgent”, salah satunya akibat persepsi bahwa pihak Aceh sendiri tidak bersuara lantang meminta perubahan.
“Pemerintah Aceh juga adem-adem saja, sepertinya nggak ada masalah dengan UUPA, jadi pemerintah pusat menilai UUPA aman-aman saja,” kritik Nasir Djamil saat revisi UUPA gagal masuk prolegnas 2022. Jangan sampai kesalahan serupa terulang. Saat ini tanda-tanda positif sudah terlihat kala itu Sekda Aceh, M. Nasir, rajin menjalin komunikasi ke DPR RI, bahkan langsung menemui Sekjen DPR untuk mendorong masuknya revisi UUPA ke prioritas Prolegnas.
Wakil Gubernur Aceh juga aktif melobi jajaran pemerintah pusat; misalnya Wagub H. Fadlullah melakukan pertemuan strategis dengan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan di Jakarta, menekankan urgensi revisi UUPA yang telah berusia hampir 20 tahun serta pentingnya memenuhi janji kekhususan Aceh dalam bingkai NKRI.
Ini langkah-langkah diplomasi politik yang patut diapresiasi dan perlu ditingkatkan. Pemerintah Aceh harus terus membangun narasi positif di level pusat bahwa revisi UUPA adalah win-win solution: Aceh mendapatkan kepastian hukum atas hak-haknya, sementara pemerintah pusat menunjukkan komitmennya merawat perdamaian dan keadilan bagi semua daerah.
Selain lobi formal, transparansi informasi juga penting. Masyarakat Aceh berhak tahu perkembangan perjuangan ini. Sudah ada desakan dari elemen sipil agar Pemerintah Aceh dan DPRA membuka akses publik terhadap draft final revisi UUPA dan progresnya di pusat. Keterbukaan semacam ini akan mencegah kesimpangsiuran informasi yang bisa dimanfaatkan pihak kontra-revisi.
Dukungan rakyat akan lebih solid jika mereka paham substansi perubahan yang diperjuangkan. Oleh karenanya, sinergi triangle antara wakil Aceh di pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil harus terus dijaga. Semuanya memiliki peran: wakil di pusat berjuang di legislatif, pemerintah Aceh melobi eksekutif nasional, dan rakyat Aceh memberi mandat moral sekaligus masukan kritis agar revisi ini benar-benar menyuarakan aspirasi di daerah.
Komitmen Pemerintah Pusat Diuji
Akhirnya, sorotan utama jatuh pada komitmen pemerintah pusat. Revisi UUPA adalah ujian apakah Jakarta benar-benar menghormati kesepakatan damai dan semangat otonomi khusus. Pihak eksekutif dan legislatif pusat perlu memandang isu ini bukan sebagai semata usulan daerah yang bisa ditunda-tunda, tetapi sebagai tanggung jawab konstitusional dan historis.
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) sendiri telah mengakui bahwa Dana Otsus Aceh bisa dan layak diperpanjang melalui revisi UUPA, bahkan mendorong agar pembahasan UU ini dapat dituntaskan selambatnya tahun 2026. Artinya, dari kacamata keamanan dan politik nasional, memperpanjang Otsus Aceh justru dipandang penting untuk menjaga stabilitas suatu sinyal bahwa pemerintah pusat sebenarnya memahami urgensi ini.
Pernyataan resmi tersebut perlu segera ditindaklanjuti dengan langkah nyata, yakni memasukkan RUU Revisi UUPA ke agenda pembahasan tahun depan (2025) dan menyelesaikannya sebelum masa Dana Otsus habis. Jangan menunggu hingga detik terakhir, karena proses legislasi tentu memakan waktu. Semakin cepat disahkan, semakin baik pula kepastian yang diterima Aceh untuk merencanakan pembangunan jangka panjangnya.
Kita tentu paham, di tingkat pusat ada kekhawatiran mengenai efektivitas penggunaan Dana Otsus selama ini. Tidak bisa dimungkiri, hasil dari hampir 20 tahun kucuran dana khusus tersebut di Aceh masih menyisakan pekerjaan rumah. Indikator kemiskinan, pengangguran, dan kualitas layanan publik Aceh belum sebanding dengan besarnya dana yang telah digelontorkan.
Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mengingatkan Pemerintah Aceh agar mempertanggungjawabkan pengelolaan dana Otsus dengan transparan dan efektif. Wacana dari sebagian kalangan pusat yang skeptis mungkin: “Untuk apa diperpanjang kalau dananya dianggap tidak berdampak signifikan?”.
Namun, menjadikan hal ini alasan untuk menunda atau menggagalkan revisi UUPA jelas merupakan logika yang keliru dan berbahaya. Pertama, karena dana Otsus itu sendiri lahir sebagai bagian dari solusi politik ia bukan semata stimulus ekonomi, tetapi simbol perhatian pemerintah pada daerah bersifat khusus. Menghentikannya sepihak justru bisa memberi sinyal negatif yang kontra-produktif secara politik.
Kedua, apabila realisasi dana Otsus dirasa kurang optimal, solusinya adalah perbaikan tata kelola dan pengawasan, bukan penghentian dukungan. DPR RI pun telah mengantisipasi hal ini dengan mendorong pembentukan satgas pengawasan khusus dana Otsus Aceh. Artinya, alih-alih menarik diri, pemerintah pusat sebaiknya lebih terlibat memastikan dana tersebut tepat sasaran. Perpanjangan dana Otsus melalui revisi UUPA justru bisa dibarengi dengan klausul penguatan akuntabilitas misalnya melalui auditor independen yang memang sudah diusulkan dalam revisi (Pasal 194) sehingga setiap rupiah dana Otsus ke depan betul-betul efektif menyejahterakan rakyat.
Terakhir, pemerintah pusat perlu menyadari bahwa keistimewaan Aceh adalah bagian integral dari NKRI. Mengakomodasi perbedaan dan kebutuhan khusus di Aceh tidak berarti memberi keistimewaan berlebihan, melainkan merajut kebinekaan dalam satu kesatuan negara. Prinsip-prinsip otonomi khusus Aceh telah diatur jelas dalam UUPA, yang merupakan turunan langsung dari MoU Helsinki.
Menjaga agar aturan ini terus diperbaharui sesuai konteks zaman adalah bentuk penghormatan terhadap perjanjian damai yang disepakati bersama. Pemerintah pusat pernah berjanji melalui UUPA bahwa Aceh mendapat porsi kewenangan dan perhatian khusus; maka sudah seharusnya janji itu ditepati secara konsisten.
Jangan sampai karena evaluasi sepihak bahwa “dana Otsus kurang berdampak”, pusat malah ragu melanjutkan komitmennya. Sebaliknya, pusat harus introspeksi: bagaimana bersinergi dengan daerah agar dana tersebut lebih berdampak. Toh, keberhasilan Aceh dalam membangun diri dengan dana Otsus juga akan tercatat sebagai keberhasilan Indonesia dalam menyelesaikan konflik melalui pendekatan kesejahteraan.
Mengawal Janji, Merawat Perdamaian
Tulisan ini berpihak pada kepentingan Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia: kami mendukung penuh agar revisi UUPA segera dibahas dan disahkan, demi kesinambungan dana Otsus dan penguatan pasal-pasal yang mengakomodasi kekhususan Aceh. Namun dukungan saja tidak cukup; ia harus diiringi aksi nyata dan kolaborasi dari semua pemangku kepentingan. Pemerintah pusat, DPR RI, Forbes Aceh, Pemerintah Aceh, hingga elemen masyarakat sipil Aceh memiliki tanggung jawab bersama. Masing-masing mesti memainkan perannya secara elegan dan tegas.
Revisi UUPA adalah janji yang harus dikawal sampai menjadi nyata. Keberhasilan memasukkannya (kembali) ke dalam Prolegnas Prioritas memberi harapan bahwa suara Aceh didengar. Tapi pekerjaan besar masih di depan mata: memastikan pembahasan tidak ditunda-tunda, pasal-pasal yang diusulkan tidak “dipangkas” tanpa alasan jelas, serta akhirnya disetujui menjadi undang-undang yang sah.
Semua itu memerlukan pengawalan cermat. Jangan biarkan peluang tahun 2025 ini terbuang sebab jika gagal sekarang, entah kapan lagi pintu akan terbuka selebar ini. Ada optimisme tersendiri melihat wakil Aceh kompak belakangan ini, dan sejumlah tokoh nasional pun mendukung (Wapres ke-10/12 Jusuf Kalla, misalnya, secara terbuka mendorong perpanjangan Otsus Aceh demi menutup ketertinggalan ekonomi daerah). Optimisme ini harus dijaga, seraya tetap kritis terhadap setiap hambatan yang muncul.
Sebagai penutup, mari kita ingat kembali esensi dari perjuangan ini: merawat damai dan keadilan untuk Aceh. UUPA bukan hanya lembaran hukum, ia adalah lambang bahwa Aceh dan Jakarta pernah duduk sejajar, berdialog mencari solusi damai, dan bersepakat untuk berjalan bersama dalam kerangka NKRI dengan semangat “satu tapi beragam”.
Setiap pasal dalam UUPA adalah titipan sejarah, dan setiap revisinya adalah penyesuaian agar titipan itu terus bermakna. Maka, memastikan revisi UUPA terlaksana sama artinya dengan memastikan janji perdamaian terus ditepati. Aceh telah memenuhi janjinya menjaga perdamaian; kini giliran pemerintah pusat memenuhi janjinya memuliakan otonomi Aceh. Jangan biarkan revisi UUPA hanya menjadi wacana wujudkanlah ia sebagai warisan berharga bagi Aceh dan Indonesia.
Penulis: Mukhrijal, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Syiah Kuala