Syarkawi Bupati Tersandera Keadaan
Font: Ukuran: - +
Aryos Nivada (Dosen FISIP Unsyiah dan Peneliti Jaringan Survei Inisiatif)
Bupati Bener Meriah, Aceh, Tgk. Sarkawi mengumumkan mundur dari jabatannya di depan jemaah Salat Idul fitri di Lapangan Masjid Agung Babussalam, Kabupaten Bener Meriah, pada Minggu (24/5). Sarkawi mundur karena faktor kondisi kesehatannya.
Kemudian pada Senin (25/5/2020), Syarkawi bersilaturahmi dengan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bener Meriah. Pertemuan dalam suasana Hari Raya Idul Fitri itu dihadiri Ketua DPRK Muhammad Saleh, Wakil Ketua DPRK Anwar, dan Ketua Komisi C DPRK Abu Bakar, di Pendopo Bupati Bener Meriah. Dalam kesempatan pertemuan di antara mereka membahas soal pengunduran dirinya.
Kemudian Surat pengunduran diri Tgk. Sarkawi akan direncanakan akan diproses usai Idulfitri atau setelah masuk kerja pasca libur. Surat itu akan ditujukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bener Meriah, Plt Gubernur Aceh dan pejabat yang berwenang lainnya.
Mekanisme Pengisian jabatan Bupati yang mengundurkan diri
Jika merujuk pada UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menegaskan bahwa Bupati dan wakil bupati yang berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam periode jabatannya, maka Pimpinan DPRK menugaskan KIP untuk menyelenggarakan Pilkada paling lambat 6 bulan terhitung sejak ditetapkannya penjabat Bupati. Ketentuan tersebut terangkum dalam Pasal 54 ayat (4) UUPA.
Pasal 54 ayat 4 UUPA
Dalam hal Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRA atau DPRK memutuskan dan menugaskan KIP untuk menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya penjabat Gubernur/bupati/walikota.
Terkait pelaksanaan kekosongan jabatan bupati, sekretaris daerah kabupaten/kota bertugas melaksanakan tugas sehari-hari Bupati sampai ditetapkannya Pejabat Sementara (PJ), berdasarkan Pasal 54 ayat 5 UUPA. Kemudian tata cara pengisian kekosongan, persyaratan, dan masa jabatan penjabat sebagaimana dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah. (Pasal 54 ayat 6 UUPA).
Akan tetapi ketentuan tersebut terdapat perbedaan dalam pengaturan di UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam UU tersebut mekanisme pengisian kekosongan Bupati dan Wakil bupati melalui pemilihan oleh DPRD, (Pasal 174 ayat 1 UU Pilkada).
Kemudian di ayat (2) disebutkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung yang masih memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan 2 (dua) pasangan calon kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dipilih.
Sementara apabila Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada saat dilakukan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, di ayat (3) disebutkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan pasangan calon paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi.
Adapun di ayat (5) disebutkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan proses pemilihan berdasarkan perolehan suara terbanyak. Kemudian di ayat (7) disebutkan, dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan penjabat Gubernur dan Menteri menetapkan penjabat Bupati/Walikota.
Karena Aceh menganut lex specialist, ketentuan pengisian kekosongan bupati dan wakil bupati Bener Meriah secara bersamaan haruslah mengikuti ketentuan UUPA.
Keterbatasan Anggaran dan Kapasitas Sumber Daya Penyelenggara
Problem terbesar penyelenggaraan Pilkada apabila Bupati Bener Meriah sebenarnya terletak pada keterbatasan anggaran di tahun 2020. Sebagaimana diketahui, bahwa pusat telah menginstruksikan daerah untuk melakukan “refocusing” dan penyesuaian anggaran belanja daerah di tahun 2020 ekses penyebaran wabah virus covid 19. Hal itu sebagaimana Instruksi Presiden (Inpres) nomor 4 tahun 2020 dan instruksi Mendagri Nomor 1 tahun 2020 serta SKB Mendagri dan Menkeu Nomor 119/ tahun 2020.
Pemerintah Aceh sendiri menetapkan sebanyak 1,7 Triliun dari “refocusing” APBA 2020 untuk penanganan wabah virus corona. Sumber dana “refocusing” itu, diambil dari penundaan dan pembatalan kegiatan-kegiatan perjalanan dinas dan kegiatan belanja yang belum berjalan pada setiap Dinas atau Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Dana “refocusing” itu akan digunakan untuk tiga hal yaitu untuk penanganan kesehatan dan keselamatan, penyediaan jaring pengamanan sosial dan penanganan dampak ekonomi akibat Covid-19.
Untuk konteks politik lokal di Kabupaten Bener Meriah, informasi yang dihimpun dari berbagai sumber diperkirakan secara keseluruhan anggaran yang dialokasikan untuk penanganan covid-19 di Bener Meriah mencapai 40 milyar. Dana itu diakumulasikan mulai dari APBK maupun APBN. Dari APBK Bener Meriah sebanyak 4 milyar yang digeser untuk penanganan covid-19. Selebihnya dari APBN yakni seperti dana desa, bantuan sosial. Keterbatasan anggaran Pemkab Bener Meriah diperparah dengan adanya mendapatkan sanksi penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana bagi hasil dari pemerintah pusat karena tidak menyampaikan laporan penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2020.
Problem lain adalah kapasitas dan kemampuan penyelenggara untuk menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemik. Hal paling krusial adalah terkait pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih. Ada problem akurasi dan ketidakpastian data mengingat terdapat pemilih yang merantau atau tinggal di luar wilayah Bener Meriah yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya, dikarenakan terdapat PSBB.
Solusinya dapat saja dilakukan penundaan Pilkada di Kabupaten Bener Meriah mengingat sejumlah hambatan yang dialami baik dari sisi anggaran maupun kesiapan penyelenggara. KIP Bener Meriah dapat mengusulkan penundaan Pilkada apabila dinilai kondisi anggaran dan kesiapan penyelenggara tidak memungkinkan untuk dilaksanakan Pilkada saat ini.
Pasal 104 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan bahwa : “ Dalam hal pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya di seluruh atau sebagian wilayah pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota yang berakibat pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal, pemilihan ditunda”
Kemudian Pasal 104 ayat (4) Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan : “Penundaan seluruh atau sebagian tahapan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Bupati atau Walikota atas usul KIP Kabupaten/Kota melalui Pimpinan DPRK.”
Muatan Politis dalam Proses pengunduran Bupati Bener Meriah
Mundurnya Syarkawi dari kursi Bupati Bener Meriah, disisi lain merupakan hak asasi politik seseorang yang dijamin oleh konstitusi. Terlebih pengunduran tersebut karena alasan yang sangat manusiawi, kondisi kesehatannya yang memburuk.
Meski demikian pilihan pengunduran diri tersebut tentu akan membuat kecewa sejumlah pihak. Terutama di basis kalangan ulama dan sejumlah kekuatan politik lokal di Bener Meriah.
Akan tetapi sejumlah pihak (publik) menilai, bahwa bisa saja pengunduran dirinya merupakan bagian dari manuver politik untuk “cek ombak” (test the water). Langkahnya dianggap sebagai bagian dari penilaian sejauhmana dukungan rakyat dan kekuatan politik terhadap dirinya, sekaligus menguji kesetiaan loyalis.
Akan tetapi apabila ini sekedar manuver Syarkawi akan sangat riskan bagi image (citra) politiknya ke depan. Publik akan menilai, dirinya tidak konsisten antara perkataan dan perbuatan. Bisa jadi akan muncul isu bahwa dirinya adalah pemimpin yang menjilat ludah sendiri andai kata dirinya tidak jadi untuk mundur dari tampuk kursi kekuasaan. Hal ini akan menyulitkan dirinya sendiri apabila dia maju kembali dalam Pilkada berikutnya. Karena citra personalnya sudah direkam yang dapat dimunculkan oleh lawan politiknya, bilamana maju pada Pilkada mendatang nantinya.
Permintaan mundur dari posisi Bupati bukanlah kali pertama dilakukan. Sebelumnya Bukhari, Bupati Aceh Besar Periode 2007-2012 juga pernah meminta mundur dengan alasan tekanan dan intervensi politik. Akan tetapi hingga akhir masa jabatan Bukhari Daud tetap bertahan dan tidak mundur dari kursi Bupati Aceh Besar.
Akankah langkah mundur Syarkawi ini akan kembali mengikuti jejak Bukhari, yang hanya mengucap mundur sebatas di bibir atau justru benar-benar dilakukannya? Publik menunggu keseriusan dan komitmen Syarkawi. Kita lihat bersama-sama bagaimana arah bandul politik lokal di Kabupaten Bener Meriah tersebut.
Aryos Nivada, Dosen FISIP Unsyiah dan Peneliti Jaringan Survei Inisiatif