DIALEKSIS.COM | Aceh - Dunia kesenian tradisi di Aceh sedang berada di ujung tanduk. Sejumlah seni tradisional seperti Seudati, Rapa’i, Laweut, Bines, Dikee, hingga Dala’e, yang dulu hidup dalam keseharian masyarakat, kini menghilang dari ruang publik dan hanya muncul dalam panggung seremonial yang sesekali digelar.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Teuku Afifuddin, M.Sn., Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA), saat berbincang dengan Dialeksis.com. Menurutnya, kondisi ini menjadi alarm keras bahwa Aceh sedang menuju situasi darurat kesenian.
“Hampir 80 persen kesenian tradisi Aceh tidak bisa lagi dijumpai di ruang publik. Semua seolah hanya hidup di atas panggung-panggung acara seremonial, itu pun dengan intensitas yang rendah,” ungkap Teuku Afifuddin dosen Institut Seni Budaya Indonesia Aceh.
Menurutnya, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kesenian tradisi Aceh dari kepunahan adalah dengan melahirkan Qanun Kesenian Aceh yang bersifat komprehensif dan implementatif. Qanun tersebut, kata dia, harus menjamin perlindungan dan keberlanjutan seni tradisi, dari hulu hingga hilir.
“Kita butuh Qanun Kesenian yang tidak hanya memberi payung hukum, tapi juga membuka ruang hidup bagi para seniman dan komunitas seni. Kesenian kita tidak boleh berhenti hanya sebagai arsip sejarah,” tegasnya.
Ia menambahkan, keberadaan Dewan Kesenian Aceh yang sudah dibentuk dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota harus diberdayakan secara maksimal melalui qanun ini. Peran DKA tidak boleh sekadar simbolis, tapi harus terlibat aktif dalam merumuskan strategi pelestarian dan revitalisasi kesenian lokal.
Teuku Afifuddin juga menekankan bahwa Qanun Kesenian nantinya harus mendorong pengalokasian dana desa untuk pelestarian kesenian tradisi. Dengan pendekatan ini, seni tradisi bisa hidup di komunitasnya, tumbuh bersama masyarakat, dan tidak terasing dari kehidupan sehari-hari orang Aceh.
“Kalau dana desa bisa dialokasikan untuk kesenian, maka Seudati, Rapa’i, Laweut, dan lainnya tidak perlu menunggu event besar untuk bisa tampil. Mereka akan kembali hidup di meunasah, balai desa, dan ruang-ruang publik lain yang dulu menjadi panggung alami mereka,” paparnya.
Selain perlindungan terhadap warisan budaya, qanun ini juga penting untuk mengadvokasi hak-hak para pelaku seni. Selama ini, ungkapnya, seniman di Aceh seperti terpenjara di rumah sendiri. Banyak kegiatan seni yang terhambat karena multitafsir peraturan, terutama yang terkait dengan aspek keamanan dan syariat Islam.
“Bayangkan, sampai hari ini tidak ada aturan khusus yang membahas ruang lingkup kebebasan berkesenian. Akibatnya, seniman terus dibayangi ketidakpastian. Misalnya, isu-isu soal musik haram yang tidak pernah dijelaskan secara terang benderang dalam peraturan. Ini sangat berbahaya,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mencontohkan nasib kesenian seperti Dikee seni pertunjukan lisan berupa zikir dan shalawat yang dulu mudah dijumpai pada acara Maulid atau malam tertentu di desa - desa. Kini, pertunjukan itu nyaris punah.
“Dulu, kita punya Dala’e Khairat yang rutin hadir setiap malam tertentu di desa-desa. Sekarang, hampir 90 persen tidak bisa ditemukan lagi di ruang publik. Di mana kita bisa menikmati Dala’e Khairat di Aceh hari ini? Hampir tidak ada,” ujar Afifuddin dengan nada prihatin.
Sebagai langkah strategis, ia mengusulkan agar implementasi Qanun Kesenian nantinya melibatkan lembaga-lembaga kultural dan keislaman yang sudah ada, seperti Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Daerah (MPD), dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), bersama Dewan Kesenian Aceh di tiap kabupaten/kota.
“Sinergi lintas lembaga ini penting agar kita bisa menemukan formulasi yang tepat untuk pelestarian kesenian tradisi, tanpa bertentangan dengan nilai-nilai adat dan syariat. Ini bukan tentang sekadar seni, tapi tentang jati diri kita sebagai bangsa Aceh,” jelasnya.
Teuku Afifuddin menutup pernyataannya dengan sebuah peringatan tajam jika kesenian tradisi tidak segera diselamatkan, bukan tidak mungkin semuanya akan berpindah dari panggung kehidupan ke lembaran sejarah.
“Kita akan tiba pada masa di mana Seudati, Rapa’i, Saman, dan lainnya hanya menjadi judul dalam buku pelajaran. Kesenian tidak boleh mati hanya karena kita abai menyelamatkannya,” pungkasnya.