kip lhok
Beranda / Berita / Ahli Epidemiolog : Waspada Sering Pakai Tes Antigen

Ahli Epidemiolog : Waspada Sering Pakai Tes Antigen

Kamis, 18 Maret 2021 22:45 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: Doc antara


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Epidemiolog UNS Tonang Ardyanto mengatakan saat ini penggunaan tes antigen sebagai syarat syarat sebelum memulai kegiatan yang mengumpulkan banyak orang, sepertinya menjadi latah penggunaannya. Padahal, katanya, ada beberapa kriteria tes antigen ini bisa digunakan. Pertama, azas legal. Sesuai Kepmenkes 446/2021 yang direvisi terakhir dengan Kepmenkes 3602/20201, maka penggunaan tes antigen sifatnya adalah BILA TIDAK memungkinkan penggunaan tes NAAT (untuk mudahnya disebut PCR). Jadi tidak berarti boleh sebebasnya menggunakan tes antigen setiap saat.

Kedua, harus diperhatikan juga aspek pre-test probability. Adanya indikasi awal seperti gejala khas dan kontak erat, menjadikan pemeriksaan tes antigen memiliki kekuatan signifikan. Bila digunakan pada kondisi pre-test probability rendah, maka nilai pemeriksaan juga menurun. Pada yang pre-test probability rendah inilah, maka hasil tes antigen dapat digunakan.

Namun harus juga memperhatikan bahwa dengan kondisi area transmisi tinggi saat ini, maka pre-test probability ini tidak bisa dianggap rendah. Dari kedua kondisi itu, dan sesuai juga azas regulasi, maka hasil tes antigen negatif TIDAK boleh serta merta disebut sebagai pasti negatif covid.

Ketiga, harus diperhatikan juga aspek efektivitas dan efisiensi. Kita coba simulasikan pada suatu kegiatan di area dengan transmisi tinggi.

Misalnya ada 100 orang yang diundang untuk berkegiatan rapat secara luring. Kemudian disepakati ada tes gejala dan tes antigen sebelum masuk ke ruang rapat. Berapa sebenarnya yang secara logis jumlah orang yang tersaring sebagai konfirmasi covid?

Dengan angka positivitas rata-rata 20%, berarti dari 100 orang itu ada 20 orang terkonfirmasi. Dari 20 orang tersebut, dengan asumsi 20-30% konfirmasi tanpa gejala, maka ada sekitar 15 orang bergejala.

Tinggal 5 yang hadir karena tanpa gejala. Karena tanpa gejala, rata-rata kapan kejadian infeksi, sudah relatif lama berlalu. Potensi untuk mendapatkan hasil Antigen positif adalah 1-2 orang diantaranya. Sedangkan pada 3-4 orang lainnya, PCR masih positif tapi Antigen sudah negatif.

"Artinya sebenarnya, dari 100 tes antigen tersebut membantu menapis sebanyak 1-2 orang tersebut yang berstatus konfirmasi tanpa gejala," tulisnya di akun facebooknya.

Di titik ini lah katanya harus dipilah. Bila hanya dilakukan tes gejala (demam, batuk, nafas lebih berat, gangguan penghidu, gangguan pencecap) maka risiko lolos adalah 5 orang. Bila ditambah tes antigen, berarti harus dilakukan 100 tes untuk menyaring 1-2 orang yang konfirmasi tanpa gejala tersebut. Menyisakan 3-4 orang yang masih lolos.

Walau 1-2 orang kan tetap penting? Benar. Tetap penting. Tapi untuk menyaring 2 orang itu, perlu tes antigen pada 100 orang. Padahal melaksanakan tes antigen di tempat-tempat yang bukan secara rutin menjadi tempat pemeriksaan, harus sangat hati-hati.

Membuka masker, mengambil swab, disiapkan sampelnya, masuk tabung, mengelola limbah dan seterusnya. Tindakan-tindakan tersebut tentu berisiko termasuk risiko penyebaran. Sedangkan, untuk PCR lebih sulit lagi, karena teknisnya lebih sulit daripada PCR. Sementara risiko terhadap pencegahan penularan dari pengambilan sampel, sama risikonya dengan tes antigen.

Sebenarnya dengan pemeriksaan gejala secara serius, sudah mampu menyaring sebagian besar, bahkan hampir semua dari 100 orang. Ada memang 5 orang yang mungkin lolos karena konfirmasi tanpa gejala. Menghadapi itu, maka protokol kesehatan harus disiplin selama acara. Karena tanpa gejala, asal disiplin protokol kesehatan, maka risikonya sudah menurun. Kita tahu ketika 2 orang sudah sama-sama disiplin protokol kesehatan, maka risiko menurun sampai kurang dari 5%.

Bila kita menambahkan tes antigen pada 100 orang tersebut, maka kita mengurangi jumlah yang lolos dari 5 menjadi 3-4 orang.

Bila harus memilih menghadapi risiko, maka masih lebih efektif menggunakan penapisan gejala secara serius saja, daripada menambahkan melakukan tes antigen dengan banyak risikonya. Hal lain, ada semacam rasa aman semu, ketika sudah melalui tes antigen, maka kita menjadi merasa sudah aman. Cenderung ini membuat merasa boleh longgar terhadap protokol kesehatan.

Dengan pertimbangan tersebut, sebaiknya lebih menekankan pada penapisan serius terhadap gejala, tidak hanya demam, tapi juga yang lain. Perlu ada mekanisme pemeriksaan, disertai pengisian subyektif oleh masing-masing peserta. Disertai suatu pakta integritas bahwa yang bersangkutan benar-benar tidak mengalami gejala-gejala (dirinci) selama 7 hari terakhir.

Langkah ini lebih efektif daripada menambahkan tes antigen dengan pertimbangan manfaat yang dapat diharapkan dan risiko yang harus ditanggung. Langkah ini juga untuk menjaga agar penggunaan tes antigen, termasuk menjaga rasionalitas masyarakat dalam memaknai hasil tes antigen.

"Lebih penting lagi, mau dengan penapisan gejala saja, atau tetap ditambah tes antigen, protokol kesehatan tetap harus disiplin ditegakkan. Bahkan lebih penting lagi: apakah memang kegiatan luring itu satu-satunya pilihan? Apa tidak bisa dihindari?" tutupnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda