Selasa, 24 Juni 2025
Beranda / Berita / BMKG: Musim Kemarau Mundur, Curah Hujan Tinggi Ganggu Pola Musim di Indonesia

BMKG: Musim Kemarau Mundur, Curah Hujan Tinggi Ganggu Pola Musim di Indonesia

Selasa, 24 Juni 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Ilustrasi musim kemarau. Foto: Freepik

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa hingga awal Juni 2025, sebagian besar wilayah Indonesia masih berada dalam musim hujan. Hanya sekitar 19 persen zona musim yang telah memasuki musim kemarau, menandai kemunduran signifikan dari pola iklim normal tahunan.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyatakan kondisi ini telah diprediksi sebelumnya. Menurutnya, curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya selama periode transisi April hingga Mei menjadi penyebab utama lambatnya peralihan musim.

"Sejak Maret, BMKG telah memprakirakan adanya anomali curah hujan atas normal di wilayah selatan Indonesia. Ini yang membuat musim kemarau tidak tiba sebagaimana mestinya," kata Dwikorita dalam keterangan tertulis yang diterima Dialeksis, Selasa (24/6/2025).

Wilayah selatan Indonesia, seperti Sumatera Selatan, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), mengalami hujan dengan intensitas tinggi selama April hingga Mei lalu. Bahkan sebagian kecil wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua bagian selatan juga turut merasakan kondisi serupa.

Akibatnya, transisi dari musim hujan ke kemarau berlangsung tidak merata. Sementara beberapa wilayah lain, terutama Sumatera dan Kalimantan, sudah menunjukkan tanda-tanda awal kemarau lebih cepat. BMKG mencatat, kedua kawasan itu mengalami beberapa dasarian berturut-turut (periode sepuluh harian) dengan curah hujan di bawah normal.

Meski belum seragam, analisis BMKG terhadap curah hujan pada dasarian pertama Juni 2025 menunjukkan tren penurunan. Sekitar 72 persen wilayah Indonesia berada dalam kategori curah hujan normal, 23 persen dalam kategori bawah normal, dan hanya 5 persen yang masih mengalami curah hujan atas normal.

“Ini berarti sinyal musim kemarau sudah mulai tampak, meski masih terbatas secara spasial,” ujar Dwikorita.

Namun, BMKG juga memperkirakan bahwa sebagian wilayah akan terus mengalami curah hujan tinggi hingga Oktober 2025. Dengan begitu, musim kemarau tahun ini diperkirakan akan berlangsung lebih singkat, dan tetap disertai dengan hujan yang sifatnya di atas normal.

Curah hujan yang tinggi selama musim kemarau membawa dampak ganda, terutama bagi sektor pertanian. Di satu sisi, hujan menjadi anugerah bagi petani padi karena pasokan air irigasi tetap tersedia. Ini membuka peluang untuk masa tanam yang lebih panjang dan produksi yang tetap stabil.

Namun di sisi lain, sektor hortikultura seperti cabai, tomat, dan bawang berisiko lebih tinggi. Kelembapan berlebih dapat memicu serangan hama dan penyakit tanaman.

“Kami mengimbau petani hortikultura agar menyiapkan sistem drainase yang baik serta metode perlindungan tanaman agar tetap bisa bertahan dalam cuaca lembab,” jelas Dwikorita.

Fenomena mundurnya musim kemarau ini menurut BMKG menjadi peringatan bahwa pola iklim global sudah tidak bisa lagi diprediksi dengan acuan masa lalu. Dwikorita menekankan perlunya adaptasi cepat di berbagai sektor, terutama pertanian, infrastruktur, dan kebencanaan.

“Kita tidak bisa lagi mengandalkan pola iklim klasik. Anomali akibat perubahan iklim global semakin sering terjadi. Adaptasi dan kesiapsiagaan adalah kunci,” tegasnya.

BMKG juga menyerukan peran aktif pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha dalam merespons perubahan iklim ini secara kolektif. Dengan sinergi yang kuat, diharapkan dampak dari ketidakteraturan musim dapat dikelola dengan baik demi menjaga ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan di Indonesia.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
dpra