Selasa, 07 Oktober 2025
Beranda / Berita / BMKG Prediksi La Niña Akhir 2025: Musim Hujan Datang Lebih Awal, Waspadai Risiko Banjir dan Longsor

BMKG Prediksi La Niña Akhir 2025: Musim Hujan Datang Lebih Awal, Waspadai Risiko Banjir dan Longsor

Selasa, 07 Oktober 2025 07:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati. Foto: IG metrotv


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksifenomena La Niña berpotensi muncul di penghujung tahun 2025. Fenomena pendinginan suhu muka laut di Samudra Pasifik itu diyakini akan membawa musim hujan lebih awal dari biasanya di sebagian besar wilayah Indonesia.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyebut bahwa sejumlah model iklim global menunjukkan tanda-tanda terbentuknya La Niña dengan intensitas lemah hingga moderat. “Indikasi awal menunjukkan suhu muka laut di wilayah Pasifik tengah mulai menurun secara konsisten. Jika tren ini berlanjut hingga Desember, maka La Niña kemungkinan besar terbentuk,” ujar Dwikorita di Jakarta, Senin (6/10/2025).

BMKG mencatat, kondisi ENSO (El Niño“Southern Oscillation) yang saat ini berada pada fase netral diperkirakan akan beralih menuju La Niña lemah menjelang akhir tahun. Perubahan ini berimplikasi langsung terhadap pergeseran pola curah hujan di Tanah Air.

“Musim hujan 2025/2026 diprediksi maju dari kondisi normal,” ujar Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal. Dari 699 Zona Musim (ZOM) yang diamati BMKG, sekitar 42 persen wilayah Indonesia diperkirakan akan mengalami awal musim hujan lebih cepat, terutama di wilayah barat dan tengah nusantara mulai dari Sumatera bagian barat, Jawa, Kalimantan bagian tengah, hingga Sulawesi bagian selatan.

Sementara itu, puncak musim hujan diperkirakan berlangsung antara November 2025 hingga Februari 2026, dengan curah hujan yang cenderung normal hingga di atas normal.

La Niña bukan hanya kabar gembira bagi sektor pertanian. Meningkatnya curah hujan memang bisa menguntungkan petani, namun juga membawa potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan puting beliung.

“Kalau La Niña ini terjadi, curah hujan bisa meningkat 20 hingga 40 persen di atas normal. Artinya, risiko banjir di daerah dataran rendah dan longsor di wilayah perbukitan harus diwaspadai,” kata Herizal.

BMKG juga memperingatkan bahwa kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) yang berpotensi negatif akan memperkuat pengaruh La Niña. Ketika dua fenomena ini bekerja bersamaan, curah hujan di wilayah barat Indonesia dapat melonjak signifikan.

Beberapa wilayah yang disebut berisiko tinggi antara lain: pesisir barat Sumatera, bagian selatan Jawa, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, serta Papua bagian utara.

Sektor pertanian menjadi salah satu yang paling terdampak oleh perubahan pola iklim. Petani yang biasanya menanam pada Oktober diprediksi akan memulai masa tanam lebih awal. Namun, tanpa perencanaan matang, panen bisa gagal akibat kelebihan air.

BMKG meminta Kementerian Pertanian dan pemerintah daerah untuk menyiapkan skenario tanam dan sistem drainase sawah yang lebih adaptif. “La Niña itu ibarat pedang bermata dua. Kalau disiapkan dengan baik, bisa jadi berkah. Kalau tidak, bisa jadi bencana,” kata Dwikorita.

Sementara bagi sektor energi, hujan berkepanjangan bisa meningkatkan pasokan air untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA), namun juga mengancam jaringan transmisi di daerah rawan longsor.

BMKG mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap ancaman bencana hidrometeorologi. Langkah ini mencakup pembersihan saluran drainase, peningkatan kapasitas waduk dan bendungan, serta diseminasi informasi cuaca ekstrem kepada masyarakat.

Selain itu, lembaga ini mengingatkan bahwa peningkatan frekuensi hujan juga dapat memengaruhi stabilitas tanah di wilayah perbukitan, termasuk di jalur transportasi nasional yang melintasi pegunungan.

“Kita belajar dari pengalaman tahun 2021 dan 2022, di mana La Niña menyebabkan kerugian ekonomi hingga triliunan rupiah akibat longsor dan banjir bandang. Maka, langkah antisipatif harus dimulai sekarang,” ujar Dwikorita.

Meski sejumlah indikator mengarah ke La Niña, BMKG menegaskan fenomena kali ini tidak akan separah siklus sebelumnya. “Ini kemungkinan La Niña lemah, bukan yang ekstrem seperti pada 2010 atau 2020,” ujar Herizal.

Meski demikian, ia menekankan pentingnya memperhatikan perubahan lokal. “Tidak semua daerah akan merasakan dampak yang sama. Faktor topografi, kondisi tanah, dan tata ruang sangat menentukan besarnya risiko,” ujarnya.

BMKG meminta masyarakat tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem lokal, seperti hujan intensitas tinggi dalam waktu singkat, angin kencang, dan gelombang tinggi di laut. Nelayan juga diminta memperhatikan informasi prakiraan cuaca harian, khususnya di wilayah Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan.

“Kami terus memperbarui data iklim dan akan menyebarkannya secara berkala. Informasi ini penting bagi masyarakat, petani, dan pelaku usaha agar bisa menyesuaikan kegiatan dengan kondisi cuaca yang dinamis,” ujar Dwikorita.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI