kip lhok
Beranda / Berita / Ini Penjelasan Kemenkes Soal Tembakau Setara Narkotika

Ini Penjelasan Kemenkes Soal Tembakau Setara Narkotika

Jum`at, 14 April 2023 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merespons kegaduhan terkait keberadaan tembakau yang disejajarkan dengan narkotika dan psikotropika dalam Pasal 154 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan.

Juru bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, menegaskan bahwa penyetaraan tembakau ke dalam zat adiktif dilakukan karena bahan baku rokok tersebut turut menjadi unsur yang dapat menyebabkan ketergantungan bagi pengonsumsinya.

"Penyetaraan tembakau dengan zat adiktif dilakukan karena bahan bakunya yang dapat menyebabkan ketergantungan," kata Mohammad Syahril dalam keterangan resminya, Jumat (15/4/2023).

“Pengelompokkan tersebut bukan berarti tembakau dan alkohol diperlakukan sama dengan narkotika dan psikotropika, dimana kedua unsur tersebut ada pelarangan ketat dan hukum pidananya,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Jumat (14/4/2023). 

Adapun, Syahril menambahkan pengelompokkan tembakau sebagai zat adiktif sebelumnya telah diatur dalam Pasal 113 ayat 2 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan atau UU yang kini masih berlaku di Indonesia.

Melalui pasal tersebut, dinyatakan bahwa tembakau menjadi salah satu bentuk dari zat adiktif yang penggunaannya harus diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. 

“Jadi tidak benar jika Tembakau dan Alkohol akan diperlakukan sama dengan Narkotika dan Psikotropika,” kata Syahril. 

Terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan tujuan pemerintah yang memutuskan untuk mengelompokkan tembakau sebagai zat adiktif.  

Menurutnya, hal ini dilakukan lantaran Kemenkes melihat potensi besar dari tembakau yang dapat memicu munculnya berbagai risiko penyakit selain penyakit jantung. Penyakit yang mungkin timbul akibat konsumsi rutin tembakau adalah kanker dan penyakit kronik lainnya.  

“Pada akhirnya jadi beban ekonomi, baik ekonomi maupun keluarga. Kemudian penduduk produktif banyak yang tidak sehat dan angka harapan hidup rendah,” kata Nadia, Jumat (14/4/2023).



Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda