Minggu, 26 Oktober 2025
Beranda / Berita / Kota Kolaborasi Parfum Aroma Rokok

Kota Kolaborasi Parfum Aroma Rokok

Minggu, 26 Oktober 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nurdin Hasan

Nurdin Hasan | Freelance Journalist. Foto: doc Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Opini - Selamat datang di Banda Aceh! Kota ini seolah-olah sedang menjalani krisis identitas terlucu di Indonesia. Daerah ini secara resmi dicanangkan sebagai "Kota Kolaborasi", sejak walikota baru dilantik. Tetapi, kini sedang sibuk mencium wacana baru, menjadi "Kota Parfum Dunia."

Sebuah kolaborasi fantasi yang patut diacungi jempol atau mungkin, dihirup dalam - dalam sambil menahan batuk. Pemerintah Kota Banda Aceh, dengan semangat membara, menyatakan diri sebagai "Kota Kolaborasi." Dengarkan baik-baik, ”Kolaborasi.” Kata yang indah, bukan? 

Tentu saja, kolaborasi adalah kunci kemajuan. Kita bayangkan. Pemerintah kota berkolaborasi dengan masyarakat, sektor swasta, mungkin dengan bintang jatuh, atau bahkan bisa jadi dengan roh para pahlawan Aceh. ​Namun, yang paling mencolok dari kolaborasi ini adalah ’collab’ ide - ide nyleneh di tingkat elit. 

 Beberapa waktu lalu, Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal dengan gagah berani dan anggun, mengumumkan visi untuk mengangkat potensi minyak nilam Aceh ke panggung dunia dan menjadikan Banda Aceh sebagai "Kota Parfum".

 Alasannya? Karena Aceh memiliki potensi besar dari minyak nilam (patchouli oil), bahan dasar utama parfum dunia yang memang berasal dari Tanoh Indatu ini. Dan, faktanya benar. Data Kementerian Pertanian (2023) menunjukkan bahwa Aceh menyumbang sekitar 60% produksi nilam nasional. Indonesia sendiri menguasai hampir 90% ekspor minyak nilam dunia.

 Jadi, secara teori: ide itu harum. Ini adalah lompatan kuantum branding sangat berani, mengingat kopi Aceh sudah mendunia. Dari aroma pahit dan kuat kopi Gayo yang realistis, kini kita beralih ke wangi yang... belum ada. 

Dalam praktiknya, yang harum masih sebatas di atas kertas dan berita media. ​ Bayangkan, sebuah kota yang ingin harum mendunia. Padahal di sekelilingnya belum ada satu pun pabrik parfum skala internasional. Setidaknya, bukan aroma parfum yang tercium dominan. Kalau toko - toko yang jual parfum sich banyak.
 

Investor yang datang kayaknya lebih banyak menanam modal pada sektor rokok, bukan minyak wangi. Pajak reklame dari produk rokok masih menjadi penyumbang besar dari sektor iklan luar ruang. Artinya, Banda Aceh pengen jadi kota wangi, tapi pendapatannya masih tergantung dari aroma nikotin. 

 Ibarat seseorang yang berjanji berhenti merokok, sambil nyulut sebatang di tangan. Visi “Kota Parfum Dunia” terasa seperti humor metaforis yang terlalu serius. Ini seperti mengklaim diri sebagai "Kota Antariksa" hanya karena ada layang-layang terbang tinggi. Kolaborasi tingkat tinggi antara imajinasi dan realitas.

Visi "Kota Parfum" seketika terasa seperti bualan, karena realitas lapangan membisikkan aroma yang sama sekali berbeda: bau iklan rokok. ​Saat mata dan hidung Anda berkeliling Banda Aceh, bukannya iklan parfum mewah berkelas dunia yang menyambut, tapi pemandangan disponsori pabrik rokok raksasa. Baliho dan spanduk iklan rokok tersebar di jalanan kota meski ada aturan yang melarang di jalur-jalur tertentu.

 Sebuah ironi yang menyengat. ​Visi pemerintah ingin menjadikan Banda Aceh sebagai kota yang wangi, suci, dan penuh pesona global. Tapi fakta visual dan finansial: Banda Aceh, kota dengan pendapatan dari pajak reklame yang disumbang oleh produk yang jelas - jelas merusak kesehatan dan mood orang yang lagi diet.
 Sebenarnya, Aceh punya standar moral yang tinggi sehingga membuat drama ini kian pedas, yakni bumbu syariat. Ulama Aceh melalui Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sudah mengeluarkan fatwa. Sejak tahun 2014, peuneutoh MPU berbunyi bahwa merokok haram bagi anak-anak, ibu hamil, dan dalam aktivitas sosial yang merugikan orang lain serta makruh bagi semua kondisi lainnya.
 Namun apa daya, fakta di jalan justru berlawanan. Spanduk iklan rokok menjamur sepelemparan batu dari sekolah, warung, hingga depan masjid. Hal ini seolah sedang menguji kesabaran fatwa. Ironisnya, banyak dari papan reklame itu justru resmi berizin, alias disahkan pemerintah kota. 
 ​Mari kita rangkai plotnya. Pemerintah ingin kolaborasi mewujudkan kota wangi, padahal Banda Aceh berkolaborasi finansial dengan industri rokok. ​Ini bukan lagi kolaborasi. Ini komedi putar kolosal! Parfum vs. Rokok. Nilam vs. Nikotin. Mana yang bakalan menang? Sepertinya saat ini, rokok masih unggul, karena uang reklamenya nyata, sementara parfum masih sebatas wangian di awang-awang.
 Mari kita jujur. Banda Aceh bukan sedang krisis ide. Tapi, krisis logika branding. “Kota Parfum” itu gagah. Namun, tanpa industri, riset, atau regulasi yang sinkron, klaim ini hanya jadi pewangi politik: harum di konferensi, hambar di lapangan.

​Apabila Pemko serius dengan klaim "Kota Kolaborasi," mungkin kolaborasi pertama yang harus dilakukan adalah antara hati nurani, fatwa ulama, dan izin reklame. ​Kolaborasi sejati bukan hanya tentang menggelar seminar atau menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) untuk rebranding menjadi kota wangi. 
 Mari kita visualisasikan: Banda Aceh 2030. Di setiap sudut kota, aroma patchouli mengambang di udara. Parfum berlabel Nilam Heritage diproduksi di pabrik ramah lingkungan. Lalu, saat para wisatawan mancanegara datang, mereka mencium Aceh, bukan hanya mengenangnya di buku sejarah tsunami.
 Kolaborasi sejati adalah memastikan bahwa aroma pembangunan tercium di setiap sudut kota. Ia adalah aroma kemajuan, kesehatan, dan ketaatan pada nilai-nilai yang diyakini. Dan, pastinya bukan dari iklan rokok yang terbungkus rapi dalam neon boks berizin.

Akhirnya, ayo renungkan penutup risalah ini saat menyeruput tetesan terakhir kopi pahit ba’da Subuh. ​Kalau Banda Aceh suatu hari kelak, entah kapan itu, benar-benar jadi "Kota Parfum Dunia," apakah Satpol PP akan menyita rokok dengan alasan melanggar aroma khas kota? Kalau iya, maka inilah pertama kali dalam sejarah dunia sebuah kota benar-benar menegakkan hukum berdasarkan penciuman. PEACE...!!![]

Penulis: Nurdin Hasan | Freelance Journalist

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI