Makin Banyak Rumah Tak Layak Huni di Kota Besar
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Hunian yang layak menjadi kebutuhan utama setiap keluarga. Namun tidak semua orang mampu memenuhi kebutuhan itu, terutama di wilayah perkotaan (urban). Harga tanah makin mahal, kepadatan penduduk juga meningkat. Pilihan lainnya adalah mencari hunian yang layak di wilayah yang makin jauh dari pusat kota atau tempat kerja.
Saat ini, makin banyak penduduk yang menghuni daerah perkotaan. Pada 2020, sekitar 56 persen (151,22 juta jiwa) tinggal di wilayah perkotaan, sisanya 44 persen (119,09 juta jiwa) tinggal di perdesaan. Kondisi ekonomi yang lebih menjanjikan menjadikan banyak penduduk yang melakukan urbanisasi.
Dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, dari sepuluh kota metropolitan di Indonesia, Surabaya memiliki pertumbuhan rumah tidak layak huni tertinggi sepanjang 2016-2020, yakni 27,11 persen. Di kota dengan jumlah KK sebanyak 971.659 ini, terdapat 391.363 rumah tidak layak huni.
Tentu saja pemerintah kota Surabaya tak tinggal diam. Sejak 2017, Surabaya mencanangkan program bedah rumah atau rehabilitasi rumah tidak layak huni (Rutilahu). Program ini akan merenovasi rumah tidak layak huni yang diusulkan masyarakat. Hingga 2019, sudah 3.544 rumah yang direnovasi agar layak huni.
Pada tahun 2020 Pemkot Surabaya merencanakan sekitar 1.000 rumah untuk direnovasi. Namun, akibat pandemi Covid-19 yang terealisasi hanya 461 unit. Kemudian pada tahun ini, Pemkot Surabaya menargetkan bisa merenovasi 842 unit rumah.
Tidak sesuainya jumlah target bedah rumah Kota Surabaya itu disorot oleh Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Reni Astuti. Menurut Reni, masih banyak rumah yang tidak layak huni dan memprihatinkan dan tidak boleh ada pengalihan anggaran untuk pemenuhan hak warga Kota Surabaya.
Selain Surabaya, kota metropolitan lainnya yang pertumbuhan rumah tidak layak huni tinggi antara lain Kota Bekasi (22,16 persen), Kota Tangerang (19,96 persen), Jakarta Selatan (16,30 persen), Jakarta Utara (15 persen), Semarang (14,01 persen), Depok (13,85 persen), dan Makassar (13,32 persen).
Survei hanya mengacu pada kota metropolitan dengan penduduk minimal 1 juta orang. Ada empat kriteria rumah layak huni menurut pemerintah yakni, kecukupan luas tempat tinggal minimal 7,2 m2 per kapita (sufficient living space); memiliki akses terhadap air minum layak; memiliki akses terhadap sanitasi layak; dan ketahanan bangunan (durable housing).
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pengantar Laporan Ikhtisar Bank Dunia 2019, “Waktunya ACT: Mewujudkan Potensi Perkotaan Indonesia” menyebutkan urbanisasi membawa banyak manfaat bagi Indonesia seperti lebih produktif, memiliki pendapatan lebih tinggi, serta akses lebih baik pada layanan dan infrastruktur.
“Namun, Indonesia belum mendapatkan manfaat dari urbanisasi seperti halnya beberapa negara Asia Timur lainnya. Kualitas hidup masih dapat ditingkatkan di banyak kota, di mana banyak orang harus menempuh perjalanan panjang yang macet, tinggal di tempat yang sempit dan rentan terhadap bencana alam,” tulis Sri Mulyani.[Lokadata]