DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengkritik terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pinjaman untuk Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP).
Di balik narasi penguatan ekonomi desa, MaTA menilai kebijakan ini menyimpan potensi kerusakan fiskal jangka panjang dan mengancam kedaulatan desa sebagai subjek pembangunan.
“PMK 49/2025 ini ibarat bom waktu. Pemerintah pusat menjadikan Dana Desa dan transfer daerah sebagai jaminan otomatis untuk utang koperasi. Ini tidak hanya melemahkan otonomi desa, tapi juga membuka celah moral hazard yang besar,” ujar Alfian, Koordinator MaTA, kepada media dialeksis.com, Senin (28/7/2025).
Menurut Alfian, Pasal 11 dalam PMK tersebut menjadi titik paling kritis. Dalam aturan itu, apabila koperasi gagal membayar angsuran, maka kekurangannya secara otomatis ditutup menggunakan Dana Desa atau Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Bagi Hasil (DBH) yang merupakan transfer dari pemerintah pusat ke daerah.
“Mekanismenya terlalu longgar. Hanya dengan permintaan dari bank dan surat pernyataan tanggung jawab mutlak, dana publik bisa ditarik untuk bayar utang koperasi. Ini bukan penguatan ekonomi desa, ini bailout berkedok koperasi,” tegas Alfian.
Lebih jauh, ia menilai bahwa pendekatan ini mengabaikan prinsip kehati-hatian fiskal. Jika koperasi tidak dikelola secara sehat, desa bisa menanggung akibatnya melalui pemotongan dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Masalah lain terletak pada tumpang tindih peran kepala desa dan bupati dalam proses pengajuan dan penandatanganan pinjaman.
Dalam Pasal 7 dan 8 PMK 49/2025, kepala desa atau bupati diberi wewenang menyetujui dan menandatangani perjanjian pinjaman koperasi.
“Ini membuka ruang konflik kepentingan yang besar. Kepala desa bisa saja menggunakan wewenangnya untuk memuluskan proyek pinjaman koperasi tertentu, tanpa proses pengawasan dan akuntabilitas yang memadai. Musyawarah desa bisa berubah jadi formalitas semata,” ujar Alfian.
MaTA menilai, ketidakhadiran mekanisme pengawasan partisipatif dan transparansi dalam PMK ini dapat menciptakan celah besar bagi penyalahgunaan kewenangan di tingkat desa.
Dalam PMK tersebut, plafon pinjaman per koperasi bisa mencapai Rp3 miliar, termasuk belanja operasional Rp500 juta. Padahal, rata-rata alokasi Dana Desa per tahun hanya berkisar Rp1-1,5 miliar.
“Ini sangat tidak realistis. Bagaimana mungkin desa yang kecil, dengan kapasitas manajerial terbatas, tiba-tiba diberi tanggung jawab mengelola pinjaman miliaran rupiah? Kalau gagal, siapa yang bayar? Ya tentu dana publik lagi,” kritik Alfian.
MaTA mengatakan bahwa kebijakan ini mengabaikan realitas kapasitas desa. Koperasi desa seharusnya dibangun dari bawah, bertahap sesuai kekuatan lokal, bukan dengan utang skala besar yang berisiko tinggi.
Selain membebani desa, PMK ini juga mengancam keuangan daerah. Jika banyak koperasi kelurahan (KKMP) gagal membayar pinjaman, maka DAU dan DBH yang merupakan tulang punggung APBD bisa terkuras untuk menutup kerugian.
“Bayangkan jika sepuluh koperasi gagal di satu kabupaten. Otomatis DAU-nya akan dipotong untuk bayar utang itu. Akibatnya, layanan publik bisa terganggu, pembangunan terhambat. Ini sama saja menjadikan daerah sebagai penanggung utang tanpa perlindungan,” ujar Alfian.
Alfian menekankan bahwa PMK 49/2025 bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menempatkan desa sebagai subjek pembangunan dan pemilik otonomi fiskal.
“UU Desa tidak pernah mengamanatkan Dana Desa sebagai jaminan utang. Ini adalah bentuk pelanggaran prinsip kedaulatan fiskal desa. Kalau ini dibiarkan, maka desa hanya akan jadi alat distribusi utang, bukan lagi pusat kemandirian ekonomi,” tambahnya.
Sebagai solusi, MaTA merekomendasikan agar pemerintah mengubah pendekatan pembangunan koperasi desa. Bukannya mendorong skema utang yang berisiko,
Dalam hal ini, pemerintah seharusnya mengembangkan dana bergulir atau hibah produktif berbasis kinerja koperasi dan memberikan pelatihan dan pendampingan manajemen koperasi secara menyeluruh.
“Koperasi dibangun dari kepercayaan, gotong royong, dan kemampuan lokal. Bukan dari utang yang ujungnya menjadi beban publik, kita menolak penggunaan Dana Desa dan DAU sebagai jaminan pembayaran utang.” tegas Alfian.
MaTA mendesak pemerintah pusat untuk segera merevisi, bahkan mencabut PMK 49/2025 sebelum menimbulkan krisis utang di tingkat desa dan daerah. Menurut Alfian, kebijakan ini lebih banyak membawa risiko daripada manfaat.
“Jika dibiarkan, desa bisa terjebak dalam utang yang tidak mereka rancang, dana pembangunan bisa dialihkan untuk membayar pinjaman, dan transparansi keuangan negara akan semakin rapuh,” pungkasnya.