DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mantan tapol-napol GAM, Nasruddin, yang dikenal luas sebagai Nyak Dhin Gajah, menyerukan agar pemerintah pusat lebih bijak dalam merespons isu impor dan ekspor di Sabang, terutama menyusul polemik masuknya beras ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Sabang. Ia menilai kontroversi yang berkembang justru memperlihatkan kurangnya pemahaman pusat terhadap kekhususan Aceh dalam kerangka regulasi kawasan bebas.
Menurutnya, setiap aktivitas impor di Sabang memiliki dasar hukum yang tegas dan mekanisme yang jelas, sehingga tuduhan atau narasi yang berkembang tanpa memahami regulasi justru menyesatkan publik. Nyak Dhin bahkan menyebut respons Menteri Pertanian yang dinilai sebagian pihak “over dosis” perlu dievaluasi secara serius.
“Semua impor di Sabang ada dasar hukumnya. Karena itu, sikap kementerian yang reaktif harus dikaji kembali. Kalau perlu, Presiden mengevaluasi kebijakan kementerian agar tidak merugikan Aceh,” ujarnya kepada Dialeksis, Senin (24/11/2025).
Sabang ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2000 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 37 Tahun 2000. Status ini menempatkan Sabang “di luar daerah pabean nasional”, sehingga sejumlah fasilitas diberikan untuk mendukung arus perdagangan dan investasi, termasuk pembebasan bea masuk, PPN impor, PPh, hingga cukai pada barang-barang tertentu.
Meski demikian, Nyak Dhin menegaskan bahwa fasilitas tersebut tidak absolut. “Ada barang-barang yang tetap dilarang atau dibatasi berdasarkan undang-undang nasional, termasuk yang terkait karantina. Ini bukan wilayah bebas seenaknya,” katanya.
Impor ke Sabang tetap wajib melalui pelabuhan resmi, menggunakan dokumen lengkap, serta proses pabean yang diawasi ketat oleh Bea Cukai. Selain itu, Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) berperan penting dalam menetapkan jenis dan kuota barang yang dapat memperoleh fasilitas bebas pajak.
Berbagai aturan teknis tersebut diperkuat dengan hadirnya PMK Nomor 113 Tahun 2024 yang mulai berlaku 31 Maret 2025. Regulasi ini mewajibkan pemberitahuan pabean untuk seluruh barang yang masuk atau keluar kawasan bebas, dengan tujuan memperkuat kepastian hukum serta meningkatkan kontrol atas lalu lintas barang.
“Dengan sistem yang ada, klaim bahwa Sabang menjadi jalur masuk barang ilegal secara masif sangat tidak berdasar. Ada mekanisme, ada pengawasan, ada otoritas yang bekerja,” tegasnya.
Nyak Dhin mengingatkan bahwa reaksi berlebihan terhadap isu impor Sabang dapat menimbulkan kerugian besar bagi Aceh, terutama dalam aspek psikologi investasi. Dalam pandangannya, opini yang berkembang di publik dapat mencederai citra Sabang sebagai kawasan ekonomi khusus yang sedang dipromosikan oleh daerah dan pusat.
“Jika pemberitaan tidak proporsional, itu bisa melukai upaya bertahun-tahun untuk menguatkan Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas. Ini menyangkut kepastian hukum dan iklim investasi,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa arus investasi di sektor riil sangat bergantung pada stabilitas regulasi. Ketika isu “impor ilegal” berkembang tanpa klarifikasi yang jelas, maka pelaku usaha akan melihatnya sebagai sinyal negatif yang dapat menghambat pembangunan ekonomi Aceh.
Lebih jauh, Nyak Dhin meminta BPKS, Bea Cukai, dan kementerian teknis agar membuka data impor secara transparan, termasuk jenis barang, volume, hingga tujuan distribusi, sehingga publik dapat memahami kondisi sebenarnya tanpa terjebak pada framing politis.
Menurut Nyak Dhin, pemerintah pusat juga harus memahami bahwa Aceh memiliki sensitivitas tersendiri terkait kebijakan ekonomi dan tata kelola kawasan bebas, mengingat sejarah konflik dan proses rekonsiliasi politik yang masih terus berjalan.
“Kebijakan impor yang menyangkut Sabang tidak boleh diputuskan secara gegabah. Ini menyangkut kehormatan Aceh dan hubungan pusat-daerah,” tegasnya.
Ia berharap Presiden dapat menata ulang koordinasi antar kementerian agar respons terhadap isu strategis terutama terkait impor komoditas pokok tidak kontraproduktif terhadap kepentingan Aceh dan arah pembangunan KPBPB.
“Jangan sampai narasi yang keliru memukul mundur Sabang. Ini bukan soal beras saja, ini soal masa depan kawasan bebas yang sedang kita bangun,” tutupnya.