Wakil KPPAA: Kasus Kekerasan Anak Yang Dilaporkan di Aceh Selama Covid-19 Menurun
Font: Ukuran: - +
Wakil Ketua KPPAA, Ayu Ningsih. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sehubungan dengan maraknya pemberitaan media terkait kasus-kasus kekerasan terhadap anak, tentunya membuat masyarakat semakin prihatin terhadap nasib dan masa depan anak-anak kita kelak.
Apalagi jika berbagai upaya pencegahan dan penanganannya tidak segera dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KPPAA, Ayu Ningsih kepada Dialeksis.com, Kamis (26/08/2021) yang mengatakan, salah satu upaya pencegahan terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap anak adalah dengan memperkuat ketahanan keluarga, sosialisasi perlindungan anak dan membangun jaringan kerjasama dengan berbagai pihak untuk integrasi isu perlindungan anak.
“Jika dilihat trend kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan selama pandemi Covid-19 terus mengalami penurunan, ada 756 kasus kekerasan terhadap anak tahun 2018, tahun 2019 ada 518 kasus, tahun 2020 ada 456 kasus, data per juni tahun 2021 ada 202 kasus kekerasan terhadap anak,” jelasnya.
Ayu Ningsih menyampaikan, angka-angka tersebut merupakan kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan dan mendapatkan penanganan, lalu bagaimana dengan kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang tidak tertungkap dan tidak dilaporkan?
“Yang mungkin saja lebih banyak dari pada angka-angka yang dilaporkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan kasus-kasus yang terjadi tidak dilaporkan, seperti masyarakat tidak tahu mau melapor kemana, lokasi dan jarak tempat tinggal yang jauh, merasa malu dan menganggap tabu untuk melapor, takut karena mendapatkan intimidasi dan ancaman dari keluarga pelaku, takut disalahkan dan dikucilkan oleh masyarakat,” sebutnya.
Kota Banda Aceh, Kata Ayu Ningsih, merupakan urutan tertinggi angka pelaporan kasus kekerasan terhadap anak, urutan berikutnya adalah Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bener Meriah dan Bireun.
“Kasus-Kasus pelecehan seksual terhadap anak merupakan kasus tertinggi dan mendominasi pelaporan sejak tahun 2017-2021. Rata-rata pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal oleh anak, dan sebagian besar masih merupakan saudara, kerabat dan tetangga,” tukasnya.
Jika melihat upaya penanganan kasus kekerasan terhadap anak saat ini masih belum optimal. Ayu Ningsih mengatakan, karena masih beragamnya penafsiran hukum dari aparat penegak hukum, bahkan ada beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak yang pelakunya dihukum dengan hukuman ringan dan belum memberikan efek jera terhadap pelaku dan calon pelaku lainnya.
“Dalam hal ini Perguruan tinggi memiliki peran yang sangat strategis sebagai suatu institusi yang dapat menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan pemahaman tentang penegakan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap anak,” ujar Ayu Ningsih.
Apalagi perguruan tinggi setiap tahunnya akan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai kompetensi untuk membantu melakukan sosialisasi dan terlibat dalam mendampingi kasus-kasus kekerasan terhadap anak.
“Dengan kata lain perguruan tinggi dapat berkontribusi dan berperan aktif dalam melakukan upaya pengawasan, pencegahan dan pendampingan kasus-kasus kekerasan terhadap anak melalui dosen dan mahasiswa yang akan melakukan pengabdian di masyarakat serta alumni, peran strategis lainnya dari perguruan tinggi dapat melakukan pembimbingan, bantuan teknis dan sosialisasi dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat terutama mengenai perlindungan hukum terhadap korban kekerasan terhadap anak di wilayahnya,” jelas Ayu Ningsih kembali.
Berikut beberapa catatan KPPAA dalam penanganan hukum anak korban kekerasan di Aceh, Yaitu:
1. Perlu mengembangkan sistem pencegahan dan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi lainnya, karena belum semua daerah memiliki regulasi, sistem, keberpihakan dan kebijakan anggaran terkait penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap anak.
2. Sebagian korban belum mendapatkan layanan rehabilitasi yang tuntas dengan berbagai alasan baik jumlah SDM, jenis layanan, anggaran, maupun kapasitas dan keterbatasan layanan lembaga pemerintah dalam penanganan rehabilitasi anak. Apalagi Jenis layanan rehabilitasi terhadap korban yang berlaku saat ini masih bersifat umum untuk semua jenis/kategori kekerasan yang mereka alami.
3. Perlu dilakukan upaya evaluasi terhadap kinerja lembaga-lembaga penyedia layanan dalam melakukan pendampingan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan, yang pendampingan selama ini belum optimal dan tuntas.
4. Diperlukan kerjasama dengan Lembaga layanan non pemerintah/swasta, perguruan tinggi dalam hal peningkatan kapasitas sumberdaya manusia maupun kemampuan khusus dalam memberikan layanan rehabilitasi terhadap anak yang menjadi korban kekerasan. (*)
- Nasir Djamil Dukung Realisasi Ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa
- Banda Aceh Masih Zona Merah, Wali Kota Minta Warga Terus Waspada
- PDAM Mountala Aceh Besar Terima Penghargaan Pembayar Pajak Daerah Terbesar 2020
- Pasien Covid-19 Meningkat, RSUDZA Alihfungsikan Ruang Rawatan Thalasemia dan Onkologi Anak