Rabu, 29 Oktober 2025
Beranda / Celoteh Warga / Abdee Slank, Gitar, Luka, dan Ingatan

Abdee Slank, Gitar, Luka, dan Ingatan

Rabu, 29 Oktober 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Risman Rachman
Abdee Slank. Foto: Kolase Dialeksis

DIALEKSIS.COM | Aceh - Entah bagaimana perasaan Slank terutama Abdee Negara, sang gitaris saat membaca penjelasan Dispora Aceh yang hanya menyebut DPP Granat dan alasan administrasi serta retribusi yang belum tuntas. Seolah urusan kertas lebih penting dari urusan hati.

Mungkin Slank tak ambil pusing. Mungkin Abdee pun maklum. Tapi generasi Aceh yang tumbuh dengan ingatan tsunami tak mungkin lupa siapa yang datang di saat-saat awal, bukan dengan proposal, bukan dengan seremoni, tapi dengan gitar dan kemanusiaan.

Slank bukan sekadar band. Mereka adalah pelaku sejarah. Tak lama setelah gelombang maut menyapu daratan Aceh, mereka hadir. Tanpa undangan, tanpa protokol. Mereka datang karena terpanggil, bukan dipanggil.

Salah satu momen paling menggetarkan, mengutip kesaksian Sarjev Hirzy adalah ketika Abdee melelang gitar kesayangannya untuk korban tsunami. Gitar itu bukan sembarang gitar, ia adalah bagian dari tubuh musikalnya, teman rekaman, saksi panggung, dan simbol perjalanan.

Gitar itu dibeli oleh Adrie Subono. Ketika ditanya kenapa ia rela melepasnya, Abdee menjawab, “Yang dilelang kan harus yang punya nilai sejarah.” Lalu ia menambahkan, “Lagipula, apalagi yang bisa aku sumbangkan?”

Sebagai catatan, Adrie Subono ini keponakan B.J Habibie. Presiden RI ke - 3 yang mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM) lewat Wiranto, membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengusut pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan memberi amnesti kepada sekitar 40 anggota GAM yang ditahan. Di antaranya adalah Alm. Ishak Daud dan mantan Ketua DPRA Aceh (2009 - 2014), Hasbi Abdullah.

Kembali ke pernyataan Abdee. Kalimat itu bukan sekadar jawaban. Ia adalah refleksi dari laku gaseh meugaseh cinta yang memberi tanpa syarat. Bahkan, dalam tafsir spiritual, itu adalah iman yang menjelma dalam tindakan. Ia tahu: benda paling berharga dalam hidupnya bisa menjadi jembatan bagi orang lain, untuk bertahan.

Dan kini, ketika Slank ingin kembali ke Aceh bukan untuk berpesta, tapi untuk mengenang dan menyapa”mereka justru dihadang oleh logika administrasi. Seolah sejarah tak cukup sah tanpa lampiran.

Ironisnya, di malam yang sama ketika konser Slank dibatalkan, Bergek tetap tampil di Taman Sari. Musik tetap mengalun, publik tetap berkumpul. Maka pertanyaannya bukan lagi soal izin, tapi soal siapa yang dianggap layak menyapa Aceh. Sebegitukah?!

Mungkin kita risih dengan vokalisnya yang bertelanjang dada. Tak apa. Sebab kalau soal pakaian luar, kita memang teladan. Tapi di balik pakaian, banyak diantara kita sangat “telanjang” dalam aksi-aksi yang membuat banyak orang luar tak kalah risih.

Tulisan ini bukan hanya tentang Abdee. Ini tentang bagaimana kita memperlakukan ingatan. Apakah kita hanya mengenang mereka yang pernah datang saat mereka sudah tiada, seperti yang sudah biasa kita lakukan. Apakah kita sedang mengadministrasikan rasa?

Jika Slank saja harus tunduk pada prosedur untuk menyapa luka yang pernah mereka ikut rawat, maka barangkali kita sedang kehilangan arah dalam memaknai dan merawat sejarah ke depan.

Dan, kalau pun kita tak bisa belajar dari lirik mereka, atau dari tampilan panggung mereka, setidaknya dari Abdee kita bisa menjenguk percikan cahaya kemanusiaan. Atau, kita merasa bahwa kitalah insan paling terang memencarkan cahaya kemanusian? Sombong!

Penulis Risman Rachman, Kolomis dan penggiat literasi. 

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI