DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di sebuah pagi yang tenang, ditemani aroma kopi yang menggoda, Saifullah Abdulgani yang akrab disapa SAG membagikan sebuah catatan renungannya yang sederhana namun sarat makna. Bukan tentang gelar atau jabatan, melainkan tentang pengalaman hidup yang bersentuhan dengan orang-orang luar biasa. Pengalaman yang terukir dari secangkir kopi dan menjadi kenangan tak ternilai.
"Saya hanyalah orang biasa yang kebetulan pernah mendapat kesempatan berjalan di antara orang-orang luar biasa," tulis SAG dalam refleksinya.
Kalimat pembuka yang merendah ini justru membuka jalan bagi pembaca untuk menyelami nilai-nilai kehidupan yang ia petik dari perjalanannya. Dalam pandangannya, keistimewaan seseorang tidak ditentukan oleh status sosial atau popularitas, melainkan dari cara mereka memandang dan merespons peristiwa dalam hidup.
Menurut SAG, orang-orang luar biasa yang ia temui memiliki satu kesamaan: sudut pandang mereka terhadap hidup begitu berbeda. Jika sebagian besar orang menganggap masalah sebagai hambatan, mereka justru melihatnya sebagai tantangan yang perlu dijawab dengan ketekunan dan kreativitas.
"Kita ingin orang lain memahami kita. Mereka justru berusaha memahami orang lain lebih dulu," tulisnya, menyiratkan pelajaran mendalam tentang empati. Mereka yang luar biasa tidak memaksa dunia mengerti mereka, tetapi justru menjadikan dirinya alat untuk mengerti dunia.
Lebih jauh, SAG mengangkat ironi yang menyentil kita semua. "Mereka gemar menuai, baru kemudian memetik. Kita? Tidak menanam, tidak pula memetik, tapi rajin berdoa di bawah pohonnya." Sebuah sindiran halus tentang sikap pasif sebagian dari kita yang mengharapkan hasil tanpa upaya. Padahal, kebaikan dan keberhasilan lahir dari kerja keras yang konsisten, bukan sekadar harapan kosong.
Refleksi SAG bukan hanya teori filosofis. Ia membumikan nilai-nilai tersebut melalui kejadian sehari-hari. Salah satunya tentang kebaikan dua sosok: Bang Nando dan Pak Junaidi. Di pagi itu, keduanya menunjukkan keteladanan kecil tapi berkesan membayar kopi untuk orang lain. Sebuah tindakan sederhana yang penuh makna.
"Bang Nando dan Pak Junaidi kembali memberi contoh baik pagi ini; membayar kopi. Akhirnya, memang, semua akan lucu pada waktunya," tulis SAG dengan nada ringan namun penuh syukur. Kejadian yang tampak biasa itu menjelma menjadi pelajaran hidup. Betapa nilai berbagi bisa tercermin dari hal sekecil secangkir kopi.
Dalam pertemuan itu, SAG merasa tersanjung bisa duduk semeja. Momen itu, meski hanya berlatar warung kopi, mengandung makna spiritual yang dalam. "Saya tersanjung duduk semeja di pagi yang penuh berkah ini. Meski hanya secangkir kopi, tapi ada sejuta kenangannya," tulisnya menutup catatan reflektif itu.
SAG juga memberikan kesan mendalam atas pertemuan tersebut, bahwa kebijaksanaan bisa lahir dari pertemuan-pertemuan sederhana. Kita tak perlu ruang megah atau forum besar untuk belajar tentang hidup. Cukup dengan duduk bersama orang-orang baik, saling mendengar, dan saling memahami.
“Secangkir kopi bukan hanya minuman pagi. Ia adalah simbol kehangatan, keikhlasan, dan keakraban. Ia mengikat kenangan, menyambung obrolan, dan melahirkan perenungan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan kita untuk menengok ulang cara kita menjalani hidup. Apakah kita masih menuntut dunia untuk memahami kita, atau sudah mulai belajar memahami orang lain? Apakah kita masih rajin berdoa di bawah pohon yang tidak kita tanam, atau mulai menabur benih kebaikan meski kecil sekalipun?
Dan yang tak kalah penting: sudahkah kita menjadi 'secangkir kopi' bagi orang lain hangat, menyenangkan, dan meninggalkan kesan yang baik?
Ia mengajak kita untuk kembali pada nilai - nilai dasar kehidupan: kesederhanaan, ketulusan, dan saling berbagi. Sebab dalam hidup ini, kadang bukan hal besar yang dikenang, melainkan justru secangkir kopi yang disajikan dengan hati.
Tetap sehat dan terus menebar kebaikan ya, Bang?
” Saifullah Abdulgani