DIALEKSIS.COM | Celoteh Warga - Aceh sedang tenggelam. Bukan hanya oleh air, tapi oleh narasi lama yang terus menempatkan manusia sebagai penguasa. Banjir bukan sekadar genangan, tapi cermin retak dari cara kita memandang diri: sebagai pusat, sebagai pemilik, sebagai penentu.
Di tengah gelapnya listrik yang padam, kita dipaksa melihat ulang siapa kita. Bukan dari balik layar gawai, tapi dari suara air yang merangsek masuk rumah, dari anak-anak yang menggigil di pengungsian, dari ibu-ibu yang memasak dengan lilin dan doa.
Pernah suatu masa, kita melihat diri sebagai pendosa. Lalu kita beribadah agar surga terbuka. Tapi kini, surga itu bukan di langit. Ia adalah sungai yang tak meluap, tanah yang tak longsor, dan listrik yang tak padam saat hujan datang. Surga adalah keseimbangan, bukan kemewahan.
Pernah juga kita merasa sebagai kaset kosong, siap direkayasa oleh ilmu pengetahuan. Tapi banjir tak bisa diselesaikan dengan teori. Ia menuntut etika. Ia menuntut kita berhenti menggali bukit, menutup rawa, dan membangun di atas jalur air.
Kini, kita hidup dalam kelompok. Ada yang merasa aman karena tinggal di perumahan elite. Ada yang merasa cukup karena punya genset. Tapi air tak memilih golongan. Lumpur tak kenal kasta. Kita semua basah.
Maka, tibalah saatnya kita mengubah narasi. Kita bukan penguasa alam. Kita adalah mikrokosmos dari semesta. Kita lahir dari perkawinan sah antara tanah dan air, antara langit dan laut. Kita bukan pemilik sungai, kita adalah anak sungai. Kita bukan pemilik listrik, kita adalah gema dari energi bumi.
Etika lingkungan baru bukan soal program pemerintah atau proyek donor. Ia adalah cara kita memandang diri. Apakah kita masih merasa berhak menebang pohon demi parkiran? Apakah kita masih merasa layak membangun vila di lereng yang dulu tempat air beristirahat?
Aceh tak butuh pahlawan. Ia butuh kesadaran. Bahwa banjir bukan musuh, tapi pesan. Bahwa gelap bukan kutukan, tapi jeda untuk merenung. Bahwa kita bukan pusat, tapi simpul dalam jejaring kehidupan.
Mari kita mulai dari satu pertanyaan sederhana: Kita itu siapa, jika alam tak lagi mengenali kita sebagai penjaga?
Penulis: Risman Rachman warga Banda Aceh sekaligus kolomis