DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akhir-akhir ini, Mualem terlihat lebih mudah tersentuh. Setelah berkeliling ke berbagai wilayah terdampak bencana, ia menyaksikan langsung penderitaan rakyatnya, keluarga yang hilang entah ke mana, korban jiwa yang terus bertambah, harta benda yang lenyap, logistik makanan yang tak memadai, listrik padam, komunikasi lumpuh total, serta jalan dan jembatan nasional yang terputus hingga mengisolasi banyak daerah.
Segalanya serba sulit. Bantuan memang ada, tetapi tak selalu sampai ke tangan yang membutuhkan. Akses terbatas, relawan kurang, sumber daya minim, dan hampir semua upaya terhambat oleh kondisi lapangan yang berat.
Belum selesai dengan itu, kini Aceh dihadapkan pada fase pemulihan pascabencana, ancaman penyakit pascabanjir besar, kekurangan tenaga medis, dan fasilitas kesehatan yang kewalahan. Padahal, menurut data Kementerian Kesehatan RI, lebih dari 14 ribu Tenaga Cadangan Kesehatan disebut siap diturunkan ketika bencana terjadi. Namun kenyataannya, di hadapan Presiden, Menteri Kesehatan justru menyampaikan bahwa ia kekurangan tenaga medis dan meminta bantuan Kementerian Pertahanan.
Bagi Mualem, mungkin pengalaman masa perang pernah memberi rasa sakit yang amat dalam. Tetapi bencana kali ini punya kedahsyatan yang berbeda. Koordinator MER-C Aceh, Ira Hadiati, bahkan menyebut bahwa banjir bandang dan longsor sejak 22 November 2025 ini berdampak jauh lebih luas dibanding tsunami 2004.
“Banjir ini melanda hampir seluruh kabupaten/kota di Aceh, dampaknya sekitar dua kali lipat lebih besar dibanding wilayah terdampak tsunami,” ujar Ira pada 6 Desember 2025. Sebagai relawan tsunami 2004, ia tahu betul perbandingannya.
Ira menegaskan bahwa penanganan bencana kali ini tak mungkin diselesaikan hanya oleh pemerintah provinsi. Pemerintah pusat harus turun langsung dan menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional agar penanganan, rehabilitasi, dan rekonstruksi dapat berlangsung cepat dan terkoordinasi.
Di tengah situasi berat itu, Mualem masih berupaya menyalakan semangat para Bupati dan Wali kota yang daerahnya terdampak. Ia mengingatkan agar mereka tidak mudah menyerah, tidak cengeng, dan tetap mampu mempertanggungjawabkan amanah rakyat. Saat ini masyarakat sangat membutuhkan kepemimpinan, bagaimana logistik bisa sampai kepada yang membutuhkan, bagaimana camat, geuchik, dan aparatur gampong dapat difungsikan maksimal untuk memastikan distribusi bantuan berjalan.
Namun seorang pemimpin tetaplah manusia. Ada kalanya, ketika ditanya tentang nasib rakyat di wilayah bencana, Mualem tak mampu menahan haru, air matanya jatuh juga.
Tangisan itu bukan tanda kelemahan. Itu panggilan hati. Seruan agar semua pihak membuka mata dan turun membantu. Agar seluruh sumber daya dikerahkan ke Aceh, memperbaiki infrastruktur utama secepat mungkin. Jalur udara dan laut sangat terbatas, baik dari sisi kapasitas maupun waktu tempuh, tanpa perbaikan akses darat, bantuan akan terus terhambat.
Hari ini, Selasa, 09 Desember, ketika saya melintasi Pidie Jaya dan Bireuen, belum lagi membayangkan kondisi di Aceh Tengah-Tenggara, Aceh Utara, Aceh Timur, hingga Aceh Tamiang, kini saya benar-benar mengerti mengapa Mualem menangis.
Menangis bukan berarti lemah, bukan berarti tak mampu. Menangis adalah fitrah yang menunjukkan kedalaman rasa. Tetapi saya yakin, Mualem tetap kuat dan tegar. Sebagai seorang panglima, ia kembali diuji. Dan Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa tidak ada ujian yang diberikan melebihi batas kemampuan hamba-Nya untuk menghadapinya.
Krue Seumangat, Mualem!
Kuta Blang, Selasa, 09 Desember 2025, pukul 18.00 WIB.