kip lhok
Beranda / Data / Daud Beureueh, Pejuang Disonansi

Daud Beureueh, Pejuang Disonansi

Selasa, 11 Juni 2024 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Teuku Daud Beureueh. Foto: Wikipedia


DIALEKSIS.COM | Aceh - Kemarin 10Juni diperingati sebagai hari wafatnya Daud Beureueh, tokoh pejuang kemerdekaan Aceh pada 1987 dalam usia 91 tahun dengan kondisi buta. Pemakaman Daud bahkan tidak dihormati layaknya prosesi untuk orang berjasa di Aceh.

Teungku Muhammad Daud Beureueh, lahir di Beureu'eh, Pidie, 1899, tak pernah mengenyam pendidikan formal. Ilmunya diperoleh dari pesantren-pesantren di Sigli, termasuk milik Teungku Muhammad Hamid, ayah Farhan Hamid (PAN). Meski tanpa pendidikan Belanda, kecerdasannya luar biasa hingga mampu menguasai bahasa Belanda.

Pada masa penjajahan, Daud memimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh melawan Belanda. Di era kemerdekaan, dia menjabat Gubernur Militer Aceh. Namun, 21 September 1953-9 Mei 1962, Daud memberontak dengan mendirikan Negara Islam Indonesia, kecewa dengan Soekarno.

Pemicunya adalah "les hitam" atau "daftar hitam", dokumen berisi rencana Jakarta membunuh 300 tokoh penting Aceh setelah daerah itu memberontak. Dokumen ini konon dikirim PM Ali Sastroamidjojo via Jaksa Tinggi Sunarjo ke Medan, atau dari Kabinet Sukiman.

Ali Sastroamidjojo membantah keterlibatannya dalam rapat paripurna DPR 2 November 1953. Meski begitu, rumor rencana pembunuhan itu memberi angin pada pemberontakan Darul Islam di Aceh. Aktivis Darul Islam bersiap, dan Daud Beureueh mengangkat senjata.

Selama sembilan tahun, Daud memimpin perlawanan di bawah bendera Darul Islam, membuka babak pemberontakan Aceh pasca kolonial. Selain "les hitam", kekecewaannya pada Soekarno yang dianggap mengkhianati juga jadi pemicu.

Daud kecewa karena pembubaran Divisi X TNI di Aceh pada 23 Januari 1951 dan pencabutan status provinsi Aceh. Lalu Aceh digabung ke Sumut dengan Gubernur Abdul Hakim dan Medan sebagai pusatnya tanpa sepengetahuan Daud yang saat itu Gubernur Jenderal.

Di usia 33 tahun, Daud mendirikan Madrasah Sa'adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli. Dia ulama disegani yang tak segan mengritik penguasa yang menyimpang dari Islam.

Kongres Alim Ulama 1953 di Medan memutuskan memperjuangkan NII via pemilu. Daud mendeklarasikan Aceh bagian NII pada 21 September 1953, bergabung dengan NII Jabar Kartosoewirjo.

Pemerintah merespons dengan menurunkan pasukan berdasar Keppres 175/1952: 4 batalion tentara dan 13 batalion mobrig ke Aceh. Upaya dialog kemudian dilakukan.

Kolonel Jasin melihat Daud kunci konflik. Usai surat-menyurat dan pertemuan, Daud mengutus putranya Hasballah bertemu Jenderal Nasution di Jakarta pada November 1961.

Jasin mengirim surat pada 5 Februari 1962 berisi keputusan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, yang disambut Daud pada 17 Februari. Akhirnya, 9 Mei 1962, Daud dan pasukannya kembali ke Republik, dijemput Letkol Nyak Adam Kamil.

Di Orde Baru, Daud dilumpuhkan pemerintah. Pemakaman tokoh disonansi ini bahkan tak dihormati layaknya pahlawan kemerdekaan.

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda