Sabtu, 10 Mei 2025
Beranda / Data / Dialog Lintas Iman di Aceh 1602: Simfoni Mazmur yang Menyatukan Tiga Agama

Dialog Lintas Iman di Aceh 1602: Simfoni Mazmur yang Menyatukan Tiga Agama

Sabtu, 10 Mei 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Dr. Baiquni Hasbi, M.A., Ph.D., dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe. Foto: doc Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Di tengah gemuruh perdagangan rempah yang menguasai Nusantara abad ke - 17, tersimpan sebuah fragmen sejarah yang menggugah: pertemuan tiga pemeluk agama berbeda di Aceh Darussalam. Sultan Alaiddin al - Mukammil, James Lancaster pedagang resmi Kerajaan Inggris, dan seorang penerjemah Yahudi bersatu dalam dialog yang dituntun rasa ingin tahu dan penghormatan atas kitab suci.

Peristiwa pada 1602 ini, menurut Dr. Baiquni Hasbi, M.A., Ph.D., dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, adalah bukti bahwa "Aceh telah menjadi laboratorium toleransi jauh sebelum dunia modern mengenal konsep dialog antariman."

Saat kapal Inggris merapat di Pelabuhan Aceh, Sultan al - Mukammil tidak hanya membuka pintu bagi transaksi komoditas. Di balik urusan dagang, sang penguasa justru memilih menggali pengetahuan spiritual. “Apakah kalian memiliki Kitab Mazmur Daud?” tanya Sultan setelah urusan bisnis dengan Lancaster usai. Pertanyaan itu, seperti dijelaskan Peter G. Riddell, ahli antar-keimanan Asia Tenggara, bukan sekadar basa-basi, melainkan “ungkapan empati yang melampaui batas keimanan.”

Lancaster, yang kala itu memimpin ekspedisi East India Company, menjawab mantap: “Tentu saja, Tuan Sultan. Kitab ini kami nyanyikan setiap hari.” Tak disangka, al - Mukammil lantas mencoba melantunkan satu mazmur dalam bahasa Arab, diikuti Lancaster yang membalas dengan versi bahasa Inggris. Di antara mereka, seorang penerjemah Yahudi yang namanya hilang dari catatan sejarah menjadi penghubung linguistik dan kultural. “Ini adalah momen langka di mana tiga tradisi Abrahamik (Islam, Kristen, Yahudi) bertemu dalam harmoni,” ujar Su Fang Ng, ahli sastra Inggris dari University of Oklahoma.

Baiquni Hasbi menekankan, interaksi ini bukan hanya tentang pertukaran teks suci, melainkan upaya Sultan Aceh untuk “mengonfirmasi kebenaran universal yang melintasi agama.” Mazmur Daud, yang dihormati dalam Islam sebagai Zabur, dalam Kristen sebagai bagian dari Perjanjian Lama, dan dalam tradisi Yahudi sebagai Tehillim, menjadi simpul spiritual yang mengikat. “Sang Sultan memahami bahwa meski praktik ibadah berbeda, sumber inspirasi mereka bisa sama,” tambahnya.

Riddell menambahkan, dialog ini mencerminkan kecerdasan kultural Aceh Darussalam sebagai pusat peradaban Islam yang kosmopolit. “Al - Mukammil tidak melihat Lancaster sebagai ‘orang asing’, melainkan mitra dalam eksplorasi intelektual,” katanya. Sikap ini, menurut Su Fang Ng, juga menunjukkan bahwa masyarakat Aceh kala itu telah akrab dengan pluralitas, berkat posisinya sebagai kota pelabuhan strategis.

Peristiwa 422 tahun silam itu, menurut Baiquni Hasbi, menyimpan pesan abadi: “Ketika rasa ingin tahu didorong empati, bukan prasangka, perbedaan justru menjadi kekayaan.” Ia menggarisbawahi bahwa Aceh masa kini perlu merawat warisan ini, terutama di tengah tantangan radikalisme dan intoleransi.

Peter G. Riddell sepakat. “Dunia saat ini membutuhkan lebih banyak ‘Sultan al - Mukammil’ pemimpin yang berani menjadikan perbedaan sebagai ruang belajar, bukan sumber permusuhan,” tegasnya. Sementara Su Fang Ng mengingatkan, kisah ini membuktikan bahwa tradisi literasi keagamaan bisa menjadi medium perdamaian, bukan alat propaganda.


Penutup: Simfoni yang Tak Lekang

Di bawah langit Aceh yang sama, di antara debur ombak Samudera Hindia, tiga suara”dari masjid, gereja, dan sinagog”pernah menyatu dalam satu mazmur. Tak ada upaya mengubah keyakinan, tak ada sikap superioritas. Hanya ada keheningan yang diisi oleh melodi pengertian. Sejarah singkat ini, seperti diungkap Baiquni Hasbi, “mengajarkan bahwa perdamaian tidak lahir dari keseragaman, tetapi dari keberanian mendengar ‘nyanyian’ pihak lain.”


Di era digital yang kerap mempertontonkan konflik atas nama agama, kisah Aceh 1602 mengingatkan: terkadang, yang kita butuhkan hanyalah keberanian membuka kitab suci “lawan”, lalu menemukan diri sendiri di dalamnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
diskes
hardiknas