kip lhok
Beranda / Data / Kasus Pengaduan Pers Masih Tinggi Selama Enam Tahun Terakhir

Kasus Pengaduan Pers Masih Tinggi Selama Enam Tahun Terakhir

Rabu, 28 Agustus 2024 21:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu. Foto: Tempo.co


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan jumlah pengaduan kasus pers yang diterima Dewan Pers masih berada pada angka yang tinggi selama enam tahun terakhir.

Berdasarkan data Dewan Pers, tahun 2019 terdapat 626 kasus yang masuk, diikuti 567 kasus pada 2020, 774 kasus di tahun 2021, 691 kasus pada 2022, 813 kasus di tahun 2023, dan hingga 30 April 2024 sudah ada 200 kasus yang dilaporkan.

Ninik menekankan bahwa jenis kasus yang dilaporkan sangat beragam, dengan 97 persen pelanggaran dilakukan oleh media online atau digital. Pengaduan ini didominasi oleh media lokal.

"Pelanggaran yang sering terjadi meliputi pelanggaran kode etik, publikasi tanpa verifikasi, informasi yang tidak diuji, kurangnya sikap skeptis, serta penggunaan sumber yang tidak kredibel. Selain itu, beberapa media masih menggunakan isu provokasi seksual dalam pemberitaannya," sebut Ninik dalam acara Indonesia Digital Conference (IDC), Rabu (28/8/2024).

Lebih lanjut, Ninik menyebutkan, pada tahun 2023, lebih dari 60 persen pengaduan didominasi oleh perusahaan media yang tidak profesional. Perusahaan-perusahaan ini memiliki ciri-ciri seperti perilaku wartawan yang memeras, bekerja sama dengan LSM dan aparat penegak hukum (APH) untuk keuntungan pribadi, serta memproduksi konten yang tidak mencerminkan karya jurnalistik. Ninik juga menyoroti adanya perusahaan pers yang bermotif tertentu.

Melihat situasi ini, Dewan Pers merekomendasikan agar perusahaan media berinvestasi lebih pada pengembangan sumber daya manusia di luar Uji Kompetensi Wartawan.

Selain itu, Ninik menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan keberlanjutan media dengan hanya beriklan di media massa yang kredibel.

Tak hanya itu, kesungguhan lembaga penegak hukum dalam menindaklanjuti upaya pengungkapan kebenaran, terutama dalam laporan investigatif jurnalis, juga sangat diperlukan.

"Negara juga perlu membuat regulasi terkait penggunaan kecerdasan buatan (AI) agar tidak mencapai tingkat yang merugikan masyarakat. Di samping itu, edukasi mengenai potensi bahaya penggunaan AI dalam dunia pers juga harus ditingkatkan demi menjaga integritas informasi yang disampaikan kepada publik," pungkasnya.***

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda