kip lhok
Beranda / Data / Kisah Si Toekoe Pemberian Kepala Suku di Aceh

Kisah Si Toekoe Pemberian Kepala Suku di Aceh

Minggu, 03 September 2023 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Toekoe gajah berandal [Foto: Ist/Doc Sukabumi History]



Baca artikel detikjabar, "Pilu Si Toekoe, Gajah Berandal yang Bikin Meneer Belanda Kelabakan" selengkapnya https://www.detik.com/jabar/berita/d-6909025/pilu-si-toekoe-gajah-berandal-yang-bikin-meneer-belanda-kelabakan.


Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/


DIALEKSIS.COM | Nasional - Gajah berandal dan sulit diatur! Begitu orang-orang Belanda menyebutnya kala itu, Gajah itu dinamai Si Toekoe diambil dari nama pemberinya yang juga seorang kepala suku di Aceh bernama Toekoe Kadli Boebon.

Kisah soal Si Toekoe diceritakan Rangga Suria Danuningrat seorang pegiat sejarah Sukabumi History, ia menukil catatan sejarah itu dari koran lawas Belanda De Nieuwe Courant yang terbit pada 16 Januari 1910. Bingkai sejarah masa lampau itu kembali diceritakan Rangga kepada detikJabar.

"Pada tahun 1873, ketika Groot-Atjeh diperintah oleh gubernur khusus kerajaan Belanda untuk Aceh bernama M. Th Tobias, terjadi sebuah peristiwa yang mengharukan. Saat itu, kepala suku Rodjo Poeteh di daerah Alaslaanden bernama Toekoe Kadli Boebon, memberikan hadiah istimewa kepada gubernur tersebut. Hadiah itu adalah seekor gajah muda yang baru ditangkap dari alam liar," kata Rangga mengawali kisahnya, Selasa (15/8/2023).

Diceritakan, kondisi gajah itu memiliki penampilan yang berbeda dari gajah lain pada umumnya. Selain temperamental, kulitnya yang tebal juga terlihat longgar, telinganya berbentuk daun dan belalainya panjang hingga menggapai tanah. Karena masih muda belum terlihat gading di bagian dekat belalainya.

"Gajah muda itu diberi nama Si Toekoe, sesuai dengan jabatan kepala adat pemberinya. Sayangnya, Si Toekoe sulit beradaptasi dengan lingkungan baru yang tiba-tiba ia temui. Selain sulit makan, ia terus-menerus menjerit memanggil ibunya yang mungkin telah melupakannya," ujar Rangga.

"Ia juga terus menarik tali yang mengikatnya di kandang milik gubernur Tobias, seolah-olah sedang diganggu oleh setan. Harapan sang gubernur saat itu, bahwa seiring dengan bertambahnya usia, Si Toekoe akan menjadi lebih bijaksana dan terbiasa dengan lingkungan barunya, namun hal itu tidak pernah terwujud bahkan si Toekoe semakin beringas dan sering menabrakkan dirinya ke jeruju besi yang kokoh," sambungnya.

Ukuran Toekoe membesar seiring usianya yang juga bertambah, perubahan bentuk Toekoe semakin mirip dengan ciri-ciri nenek moyangnya Mastodon. Toekoe juga memiliki sedikit pulasan warna putih, saat itu diberi julukan Gajah Puteh yang kala itu banyak ditemui di daerah Bener Meriah.

"Hewan ini mulai menunjukkan sifat dan karakteristik yang membuat orang merasa jenuh. Bahkan, sudah sering kali dipertimbangkan untuk menghukum mati Si Toekoe, terutama ketika gadingnya mulai tumbuh dengan indahnya dan gading itu bertambah panjang hingga menjuntai ke lantai. Namun kala itu Gubernur Tobïas tidak bisa mengambil keputusan seperti itu," ungkap Rangga.

Tidak hanya masalah politik, tetapi juga masalah moral, membuatnya enggan untuk menyingkirkan hadiah yang telah diberikan oleh kepala suku yang sangat dihormati. Akhirnya, diambillah keputusan untuk mengirim Si Toekoe ke Jawa, keputusan itu diambil karena adanya anggapan binatang hidup yang dianggap tidak cocok di Sumatra di belahan bagian utara maka akan lebih baik ketika di Jawa.

"Akhirnya sesuai titah sang gubernur si Toekoe diikat menggunakan rantai besi yang tebal. Kemudian diangkut menggunakan kapal dikawal pasukan bersenjata. Perjalanan laut yang berlangsung selama enam belas hari, gajah ini akhirnya tiba di Batavia," kisah Rangga.

Di Batavia si Toekoe dikeluarkan dengan susah payah dari kapal. Kemudian hewan raksasa itu dimasukan ke dalam gerobak hewan dan dibongkar lalu dikirim lewat kereta api ke Bogor. Sebuah perjalanan baru yang mungkin sedikitpun tidak terlintas di benak hewan itu.

"Singkat cerita setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya si Toekoe tiba di Sinagar, Nagrak, Kabupaten Sukabumi. Ia dibawa ke perkebunan teh, saking besarnya dia ditarik ratusan pekerja dari Batavia atau Jakarta ke Sukabumi menggunakan kereta khusus yang ditarik dengan kuda-kuda pilihan," ujar Rangga.

Kereta berukuran besar mirip pedati itu bergerak memasuki Sukabumi di daerah Cibadak. Puluhan orang bergantian menarik kereta besar itu. Saat kereta di buka warga yang melihat menceritakan kondisi si Toekoe yang sangat memprihatinkan.

"Kulitnya yang tebal dan berbulu tergores dan pecah di tempat di mana ia diikat dengan tali dan rantai. Dia menderita secara fisik dan mental. Segala pengalaman dalam beberapa hari terakhir, seperti diikat, dibawa ke kapal, perjalanan lewat laut selama lebih dari setengah bulan lamanya, semua hal itu membuatna mengalami depresi dan sakit pencernaan akut hingga matanya sulit untuk terbuka dan dipastikan saat itu si Toekoe akan mati lemas," beber Rangga.

Menurut Rangga, bagi gajah yang lahir dan dibesarkan dalam kebebasan, sebagai seorang Mastodon sejati, ia merasa sangat malang terjebak dalam ikatan fisik dan emosional. Semua tali dan rantai yang mengikatnya menimbulkan penderitaan yang mendalam.

"Namun saat itu ada harapan yang muncul. Para administrator perkebunan, Eduard Julius Kerkhoven dan Baron Van Heeckeren, yang tidak asing dengan binatang liar seperti macan tutul, banteng, badak, dan gajah, memutuskan untuk membebaskan Si Toekoe dari tali dan rantai yang membelenggunya," kata Rangga.

Selama berhari-hari sang tuan tanah itu membersihkan luka-lukanya dengan air karbol dan menggunakan salep dan perban, Si Toekoe membiarkan para administrator perkebunan merawat lukanya dan setelah perawatan selesai, ia menerima beberapa batang tebu manis dari mereka dan dengan tenang menerima nasibnya, siap memulai kehidupan yang baru.

"Setiap pagi, si Toekoe diikat dan diberi makan dengan penuh kasih sayang, serta diajak berbicara dengan lembut. Lambat laun, kondisi fisiknya sembuh, meski hatinya tetap tak membaik dan manyisakan trauma mendalam. Si Toekoe tetap tidak responsif terhadap perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan kepadanya," tutur Rangga.

"Bahkan, seiring berjalannya waktu, Baron Van Heeckeren yakin bahwa masalahnya bukanlah suasana hati, melainkan karakternya yang sulit diatur. Menurut Baron, Si Toekoe tidak dapat diandalkan, jahat dan tidak tahu berterima kasih," imbuh Rangga.

Keputusan saat itu diambil dengan bulat untuk melenyapkan Si Toekoe. Dan suatu kesempatan emas segera muncul. Di Batavia, tiba-tiba hadirlah Filles World Renowned Circus dan Menagerie. Jika ada tempat di mana mereka bisa mengatasi situasinya, maka itu adalah tempat yang tepat bagi Si Toekoe pikir Baron Van Heeckeren saat itu.

"Pemilik sirkus, Filles, lalu datang ke Sinagar untuk melihat gajah Sumatera itu dan membawa seorang penjinak binatang yang sangat berpengalaman. Setelah mengamati dengan seksama kuda-kuda yang indah di kandang pacuan terkenal Sinagar, mereka menuju tempat di mana Si Toekoe tinggal," ungkap Rangga.

Di tempat itu, Si Toekoe diikatkan kakinya ke tiang yang kuat tanpa melakukan tindakan apa pun. Tempat itu dihindari oleh semua orang, termasuk hewan-hewan seperti anjing dan kucing, karena bahaya yang ditimbulkan oleh belalai panjang Si Toekoe dapat menimbulkan malapetaka jika gajah putih itu mengamuk.

"Fantastis saat itu kata Filles. Dia adalah binatang yang luar biasa. Namun dia seorang bajingan terkutuk, gajah berandalan kata pihak sirkus akhirnya muncul kesimpulan saat itu Si Toekoe tidak jadi diambil dan ditempatkan di Sirkus," kata Rangga mengisahkan.

Akhirnya Si Toekoe tetap ditempatkan di Sinagar, Sukabumi. Namun di Sukabumi bukanlah tempatnya mengakhiri hidup. Perjalanan Toekoe masih terus berlanjut,

"Karena ditolak bergabung (sirkus), Toekoe melanjutkan hidupnya di Sinagar, kawasan perkebunan teh di Nagrak, Kabupaten Sukabumi. Sampai akhirnya seorang pengunjung Sinagar yang juga merupakan seorang ahli hukum dan anggota dewan pengurus Kebun Raya dan Kebun Binatang Batavia memiliki ide brilian," kata Rangga Suria Danuningrat, seorang pegiat sejarah Sukabumi History yang menceritakan kisah Toekoe  seperti dilansir di detikJabar, Selasa (15/8/2023).

Saat itu muncul ide bahwa Si Toekoe akan cocok sebagai atraksi di kebun binatang yang sering dikunjungi oleh anak-anak. Satu-satunya syaratnya adalah pengantaran Si Toekoe ke kebun binatang di Batavia.

"Ide tersebut diterima dengan antusias dan Si Toekoe akan segera menemukan tempat barunya di kebun binatang yang akan menjaga dan mengawasinya dengan baik di bawah pengawasan yang bertanggung jawab. Keputusan itu mengakhiri perjalanan panjang Si Toekoe yang penuh tantangan," ujar Rangga mengisahkan.

Dari seorang gajah berandal yang tidak bisa mengendalikan diri hingga menjadi hewan yang dihargai dan ditempatkan dengan baik dalam lingkungan yang aman. Pengiriman Si Toekoe ke kebun binatang di Batavia di Cikini menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan gajah tersebut. [detik.com]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda