Senin, 12 Mei 2025
Beranda / Data / Mengungkap Misteri Genetika di Pedalaman Brasil: Kisah Silvana Santos dan Sindrom SPOAN

Mengungkap Misteri Genetika di Pedalaman Brasil: Kisah Silvana Santos dan Sindrom SPOAN

Sabtu, 10 Mei 2025 23:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Keluarga yang terkena dampak sindrom Spoan di Serrinha dos Pintos hidup tanpa diagnosis sampai ahli genetika Silvana Santos tiba. Foto: Mariana Castiñeiras/Caroline Souza


DIALEKSIS.COM | Brazil - Di timur laut Brasil, tersembunyi sebuah kota kecil bernama Serrinha dos Pintos. Dengan populasi kurang dari 5.000 jiwa, kota terpencil ini pernah diliputi teka - teki medis: puluhan anak lahir dengan kondisi melemah secara progresif, tanpa penjelasan. 

Hingga kedatangan Silvana Santos, ahli biologi dan genetika asal São Paulo, yang berhasil mengidentifikasi penyebabnya sindrom SPOAN, kelainan genetik langka yang kini tercatat dalam sejarah sains. Atas dedikasinya, Santos dinobatkan sebagai salah satu dari *100 Perempuan Paling Berpengaruh 2024* versi BBC.

Awalnya, Santos hanya berkunjung ke Serrinha dos Pintos untuk berlibur atas undangan tetangganya. Namun, pemandangan pegunungan nan hijau segera tertutup oleh kejutan lain: banyaknya pernikahan antarsepupu. 


“Semakin saya jelajahi kota ini, semakin saya sadar betapa umum praktik ini,” kata Santos. Keterpencilan geografis dan minimnya migrasi membuat warga saling terkait darah. Banyak pasangan bahkan tidak menyadari hubungan kekerabatan hingga setelah menikah.

Fenomena ini memicu risiko kesehatan. Menurut Luzivan Costa Reis, ahli genetika Universitas Federal Rio Grande do Sul, pernikahan antarsepupu meningkatkan risiko kelainan genetik pada anak dari 2 - 3% menjadi 5 - 6%. Di Serrinha, data Santos mengungkap fakta mengejutkan: lebih dari 30% pasangan berkerabat, dan sepertiganya memiliki anak penyandang disabilitas.

Selama bertahun-tahun, Santos bolak-balik menempuh 2.000 kilometer dari São Paulo ke Serrinha. Ia mengumpulkan sampel DNA, mendengarkan cerita keluarga, dan akhirnya menemukan mutasi genetik yang memicu sindrom SPOAN. Kondisi ini merusak sistem saraf, membuat penderita kehilangan kemampuan bergerak secara bertahap. Pada usia 50 tahun, hampir semua pasien bergantung sepenuhnya pada orang lain.

“Dulu, mereka hanya disebut ‘cacat’. Kini, kami punya nama: SPOAN,” ujar Marquinhos (46), salah satu pasien yang mendapat kursi roda berkat penelitian Santos. Alat tersebut tak hanya memberi kemandirian, tetapi juga mencegah kelainan bentuk tulang akibat terlalu lama terbaring.

Santos menemukan bahwa mutasi penyebab SPOAN telah ada sejak lebih dari 500 tahun lalu, dibawa oleh pemukim Eropa awal kemungkinan Yahudi Sephardi atau Moor yang melarikan diri dari Inkuisisi. Teori ini diperkuat temuan dua kasus serupa di Mesir dengan garis keturunan Eropa yang sama. “Ini seperti puzzle sejarah yang terpecahkan melalui DNA,” tutur Santos.

Bagi warga Serrinha, kehadiran Santos seperti cahaya di kegelapan. “Ia memberi diagnosis yang tak pernah kami punya. Bantuan pun mengalir, dari dana hingga kursi roda,” kata Marquinhos. Lolô (83), petani yang menikahi sepupunya, mengakui perubahan besar: putrinya, Rejane, kini tak lagi dipandang sebagai “kutukan”, melainkan penderita SPOAN yang perlu didukung.

Kini, Santos memimpin proyek skala nasional untuk menyaring 5.000 pasangan di Brasil timur laut. Tujuannya bukan melarang pernikahan sepupu, tetapi memberi pemahaman risiko genetik. “Pengetahuan adalah kekuatan. Dengan ini, keluarga bisa membuat keputusan lebih informed,” tegasnya.

Meski telah menjadi profesor dan jarang tinggal di Serrinha, Santos tetap dianggap keluarga. “Dia bagian dari kami,” ujar Inés, ibu dari Chiquinho (59) dan Marquinhos, yang hidup dengan SPOAN. Di balik lereng pegunungan yang sunyi, kisah Silvana Santos dan Serrinha dos Pintos menjadi bukti: sains tak hanya mengungkap gen, tetapi juga menyatukan hati. [bbc]

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    diskes
    hardiknas