Senin, 10 November 2025
Beranda / Data / Monitoring Media: Tiga Tahun Terakhir, Kekerasan Anak di Dayah Aceh Terus Naik

Monitoring Media: Tiga Tahun Terakhir, Kekerasan Anak di Dayah Aceh Terus Naik

Minggu, 09 November 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn
Ilustrasi kekerasan anak. [Foto: yayasan kesehatan perempuan]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Redaksi Dialeksis melakukan monitoring dan penelusuran jejak digital informasi publik terkait kasus kekerasan terhadap anak dan perundungan di lingkungan dayah (pesantren) di Aceh. Proses ini dilakukan melalui tracking media nasional dan lokal Aceh selama tiga tahun terakhir, yakni 2023-2025.

Data yang dikumpulkan bersumber dari berbagai media kredibel seperti unicef.org, dialeksis.com, theacehpost.com, infopublik.id, beritamerdeka.net, hingga laporan resmi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh.

Hasil penelusuran menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: kasus kekerasan terhadap anakdi Aceh terus meningkat dalam tiga tahun terakhir, termasuk di lingkungan pendidikan pesantren yang seharusnya menjadi tempat pembinaan moral dan spiritual.

Kasus kekerasan terhadap anak di Aceh menunjukkan tren peningkatan yang konsisten. DP3A Aceh mencatat 715 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2022, naik menjadi 790 kasus pada 2023 (unicef.org).

Memasuki 2024, angka tersebut masih tinggi 656 kasus kekerasan terhadap anak tercatat di Aceh sepanjang tahun, naik dari 634 kasus pada 2023 (theacehpost.com).

Jika digabung dengan kekerasan terhadap perempuan, total kasus mencapai 1.227 pada 2024, meningkat dari 1.098 kasus pada 2023 (theacehpost.com).

Dari sisi wilayah, Kabupaten Aceh Utara tercatat sebagai daerah dengan kasus tertinggi. Pada 2024, daerah ini melaporkan 68 kasus kekerasan terhadap anak, disusul Aceh Tengah (50 kasus) dan Banda Aceh (49 kasus). Untuk gabungan kasus perempuan dan anak, Aceh Utara masih teratas dengan 161 kasus sepanjang 2024 (theacehpost.com).

UNICEF mencatat bahwa dayah menjadi salah satu lokasi paling rentan terjadinya kekerasan fisik, emosional, hingga pelecehan seksual terhadap anak. Situasi ini memperlihatkan bahwa problem perundungan dan kekerasan bukan fenomena lokal semata, melainkan cermin dari krisis budaya disiplin dan pendidikan humanis di lembaga keagamaan tradisional Aceh.

Penelusuran redaksi menemukan sejumlah kasus kekerasan dan perundungan di dayah Aceh yang mencuat ke publik dalam tiga tahun terakhir:

• Aceh Tengah (Februari 2023): Seorang santri 13 tahun di Dayah Ulumul Quran, Bebesen, dianiaya oleh kakak kelasnya hingga trauma dan tak bisa berjalan. Kasus ini dilaporkan ke polisi setelah upaya damai gagal (beritamerdeka.net).

• Pidie (2023): Seorang santri dipukul oleh pengurus pesantren. Kasus ini memperlihatkan bahwa pelaku kekerasan bukan hanya sesama santri, tetapi juga oknum pengelola dayah (dialeksis.com).

• Aceh Barat (Oktober 2024): Video viral memperlihatkan santri Pesantren Darul Hasanah disiram air cabai hingga melepuh. Pelaku diduga istri pimpinan dayah, dan kasus ini memicu pembentukan tim investigasi oleh Dinas Pendidikan Dayah Aceh (dialeksis.com).

• Bireuen (Agustus 2025): Santri asal Aceh Tengah dikeroyok tiga seniornya hingga luka lebam serius. Kasus ini menegaskan maraknya bullying antarsantri yang berulang tiap tahun (dialeksis.com).

• Aceh Besar (Oktober 2025): Kasus ekstrem terjadi di Dayah Babul Maghfirah, Kuta Baro. Seorang santri yang tak tahan terus dibully nekat membakar asrama pesantren. Kasus ini menyita perhatian nasional dan mendapat tanggapan langsung dari KemenPPPA (news.detik.com, antaranews.com).

Rentetan kasus tersebut menggambarkan bahwa kekerasan di dayah bukan insiden tunggal, melainkan pola berulang. Dari Aceh Barat hingga Aceh Tengah, bentuk kekerasan bervariasi: fisik, verbal, bahkan seksual. Ironisnya, lembaga yang diharapkan membentuk akhlak justru menjadi tempat munculnya luka sosial.

Meningkatnya kekerasan di dayah mendorong pemerintah Aceh mengambil langkah pencegahan. Pada Agustus 2024, Dinas Pendidikan Dayah Aceh meluncurkan program “Kick Off Stop Kekerasan di Dayah”, sebagai upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan ramah anak (habadaily.com).

Program ini diperkuat dengan Surat Edaran Gubernur Aceh untuk memperketat pengawasan serta pencegahan kekerasan di pesantren.

Selain itu, UNICEF bekerja sama dengan pemerintah Aceh meluncurkan program “Dayah Ramah Anak” sejak 2023. Sebanyak 14 dayah di seluruh Aceh menjadi pilot project dengan pelatihan disiplin positif bagi lebih dari 1.100 guru dan 14.000 santri (unicef.org).

Langkah penegakan hukum juga berjalan. Setiap kasus yang terungkap diusut tuntas oleh kepolisian. Pelaku anak di bawah umur mendapat pendampingan sesuai aturan peradilan anak. Kementerian PPPA turut memberikan perhatian, khususnya pada kasus ekstrem seperti pembakaran asrama di Aceh Besar.

Namun, sejumlah kalangan menilai bahwa pendekatan preventif dan edukatif masih minim, dan solusi jangka panjang harus berangkat dari transformasi kultur di dayah itu sendiri.

Mantan Komisioner KPAI Aceh, Ayu Ningsih, menegaskan bahwa pendidikan di dayah harus mengedepankan pendekatan humanis, bukan kekerasan.

“Kekerasan hanya akan melahirkan trauma dan merusak karakter anak. Pesantren seharusnya menjadi rumah yang aman bagi pertumbuhan moral dan psikologis santri,” ujarnya (dialeksis.com).

Hasil penelusuran tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa kasus kekerasan di dayah Aceh memiliki pola yang berulang dan lintas kabupaten, bukan hanya akibat perilaku individu, tetapi juga lemahnya sistem pengawasan, budaya feodal dalam pendidikan dayah, serta minimnya mekanisme perlindungan internal.

Redaksi Dialeksis menilai bahwa reformasi sistemik diperlukan -- mulai dari kurikulum berbasis empati, pelatihan bagi guru dan pengasuh, hingga keterlibatan aktif pemerintah dan masyarakat sipil.

Tanpa itu, angka kekerasan hanya akan berpindah lokasi dari satu dayah ke dayah lain, sementara kepercayaan publik terhadap pendidikan berbasis agama terus tergerus.[arn]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI