Minggu, 06 Juli 2025
Beranda / Data / Tragedi Kapal Friendship: Ketika Aceh dan Amerika Bertemu di Ujung Senapan

Tragedi Kapal Friendship: Ketika Aceh dan Amerika Bertemu di Ujung Senapan

Sabtu, 05 Juli 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Kapal dagang Friendship. Foto: NPS


DIALEKSIS.COM | Data - Pagi yang diselimuti kabut musim dingin menyelimuti kota Salem, Massachusetts, pada awal 1831. Namun, di atas geladak kapal dagang Friendship, Kapten Charles Mosem Endicott, 38 tahun, sudah berdiri tegak. Pandangannya menatap jauh ke arah laut, tempat ia akan memulai pelayaran penting bukan ke Eropa seperti biasanya, melainkan ke ujung barat Sumatra yakni Aceh.

Tujuan pelayaran ini bukan main - main. Ia hendak mengarungi setengah dunia demi mendapatkan lada, komoditas yang membuat Eropa tergila - gila selama berabad - abad. Lada dari Aceh telah menjadi primadona rempah sejak lama, dan wilayah ini kerap dikunjungi kapal - kapal dagang dari Inggris, Belanda, Prancis, Denmark, hingga Spanyol.

Namun, perjalanan Kapten Endicott tak sekadar transaksi dagang. Ia tahu betul, pelayaran menuju Aceh bukan tanpa risiko.

Pada masa itu, Aceh bukan bagian dari koloni Hindia Belanda. Ia adalah kerajaan independen yang memiliki hubungan resmi dengan Kesultanan Ottoman di Turki dan juga menjalin komunikasi diplomatik dengan Kerajaan Inggris. 

Sejarawan Lee Kam Hing dalam The Sultanate of Aceh (1995) mencatat status politik Aceh yang unik ini menjadikannya wilayah yang tak bisa diperlakukan semena-mena oleh bangsa asing, termasuk oleh para pedagang dari Amerika Serikat.

Lebih dari itu, perairan Aceh dikenal rawan pembajakan. Kapal-kapal asing pembawa muatan bernilai tinggi sering menjadi sasaran bajak laut lokal. Namun, semua potensi ancaman itu tak menggoyahkan tekad Endicott.

Setelah menempuh pelayaran berminggu-minggu, Friendship tiba di pelabuhan Kuala Batu pada 7 Februari 1831. Kapten Endicott bersama beberapa anak buahnya turun ke darat untuk berunding dengan pedagang lokal mengenai pembelian lada dalam jumlah besar.

Namun, ketika negosiasi berlangsung, bencana datang tiba-tiba. Sekelompok pria bersenjata dari darat dan perahu kecil menyerbu kapal Friendship yang saat itu ditinggal dalam penjagaan minim. Dalam serangan brutal itu, dua awak kapal dan perwira pertama tewas di tempat, sementara yang lain ditawan. Kapal pun direbut secara paksa.

“Dalam serangan itu, perwira pertama dan dua awak kapal tewas. Sementara lainnya ditawan. Kapal pun direbut,” tulis Farish A. Noor dalam risetnya The Battle of Quallah Battoo in 1832 (2014).

Mengetahui kapalnya diserang, Endicott segera meminta bantuan dari kapal dagang asing yang berada di sekitar perairan. Berkat bantuan tersebut, kapal Friendship berhasil direbut kembali, meski dalam kondisi rusak berat dan kehilangan barang-barang berharga senilai sekitar 50.000 dolar AS.

Kembalinya Friendship ke pelabuhan Salem pada 20 Juli 1831 membawa kabar buruk. Harapan masyarakat Salem untuk keberhasilan dagang berubah menjadi kabar duka dan kemarahan. Kapten Endicott langsung melaporkan insiden penyerangan ke pemerintah. Kota Salem pun gempar.

Kabar itu segera sampai ke meja kerja Presiden Amerika Serikat saat itu, Andrew Jackson. Ia naik pitam ketika membaca laporan penyerangan dan pembunuhan terhadap warga negaranya. Sebagai panglima tertinggi militer AS, Jackson tak tinggal diam.

“Penyerangan itu menewaskan 17 orang dan melukai empat lainnya,” menurut catatan resmi Angkatan Laut AS.

Jackson pun memerintahkan balasan militer. Ia mengirim kapal perang USS Potomac dengan membawa 300 tentara bersenjata lengkap ke Aceh. 

“Kapal-kapal perang lainnya akan menyusul untuk memberikan hukuman yang lebih berat,” ujar Jackson sebagaimana dikutip Claude Berube dalam On Wide Seas (2021).

Perintah tersebut menjadi tonggak sejarah. Untuk pertama kalinya, Amerika Serikat melakukan operasi militer ke Asia tepatnya ke wilayah yang kini bernama Indonesia. Serangan ini juga menjadi satu-satunya aksi militer langsung AS ke Nusantara sejak negara itu merdeka pada 4 Juli 1776.

Setahun berselang, USS Potomac melancarkan serangan ke Kuala Batu tanpa peringatan atau negosiasi. Meriam dilesatkan, pelabuhan dibakar habis, dan pasukan marinir turun ke darat untuk menghabisi perlawanan. Sebanyak 450 orang Aceh dilaporkan tewas, sedangkan di pihak AS hanya dua prajurit yang gugur.

Namun, ratusan tahun kemudian, terkuak fakta mengejutkan. Ternyata, penduduk lokal Aceh tidak sepenuhnya bersalah. Serangan terhadap kapal Friendship bukan semata aksi pembajakan, melainkan dipicu kemarahan terhadap praktik dagang para pedagang AS yang kerap berlaku culas.

Sejarawan Robert Booth dalam Death on an Empire (2011) mencatat bahwa para pedagang dari Amerika kerap mengurangi takaran dan tidak jujur dalam transaksi, menyebabkan kerugian besar di pihak Aceh. Maka, ketika Friendship tiba di Kuala Batu, kecurigaan dan kemarahan yang terpendam lama pun meledak dalam bentuk perlawanan.

Kisah tragis ini menjadi pengingat betapa kompleksnya hubungan dagang dan politik antarbangsa di abad ke - 19. Di satu sisi, ia mencerminkan semangat ekspansi global bangsa - bangsa Barat. Di sisi lain, ia mengungkap kepedihan masyarakat lokal yang merasa diperlakukan tidak adil.

Tragedi Friendship bukan hanya cerita tentang kapal dan rempah-rempah, tetapi tentang benturan nilai, kehormatan, dan kekuasaan. Sebuah bab sejarah yang menghubungkan Aceh dan Amerika Serikat melalui darah, mesiu, dan ketidakadilan yang terlambat disadari.

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI