Senin, 02 Juni 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Agenda Terselubung Kemendagri: Empat Pulau Aceh “Diserobot” ke Sumut

Agenda Terselubung Kemendagri: Empat Pulau Aceh “Diserobot” ke Sumut

Jum`at, 30 Mei 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Empat pulau milik Aceh yang masuk ke dalam wilayah Sumatera Utara. Empat pulau itu adalah Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang dan Pulau Lipan. [Foto: Google Maps]


DIALEKSIS.COM | Dialektika - Kasus empat pulau di perbatasan Aceh-Sumatera Utara ini bagai pistol perak menodai persatuan. Bagi penduduk Aceh Singkil, Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek adalah bagian tak terpisahkan dari Tanah Rencong sejak puluhan tahun. Bahkan, surat keputusan Inspeksi Agraria Aceh tahun 1965 nomor 125/IA/1965 secara tegas menegaskan pulau-pulau itu di bawah yurisdiksi Aceh.

Sejak saat itu, masyarakat Aceh telah memanfaatkan pulau-pulau itu sebagai area perikanan dan tempat berteduh saat badai. Nelayan di sana tercatat memegang KTP Aceh Singkil dan selalu kembali ke desa induk (Gosong Telaga Selatan) untuk mencoblos dalam pemilu. Pemerintah Aceh bahkan sempat membangun tugu koordinat dan rumah singgah nelayan di Pulau Panjang pada 2012, sebagai bukti fisik kepemilikan. Namun, pada 25 April 2025 Kemendagri mengeluarkan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau tersebut masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.

Keputusan ini mencederai fakta sejarah. "Sejak 17 Juni 1965 keempat pulau tersebut sudah berada dalam wilayah Aceh dan dihuni masyarakat Aceh,” ungkap Senator Aceh DPD RI Sudirman Haji Uma. Reaksi keras pun muncul. “Secara historis dan faktual, itu wilayah Aceh. Kok bisa tiba-tiba diambil alih begitu saja?” tanya Haji Uma, mencerminkan kekecewaan masyarakat Aceh.

Permasalahan empat pulau ini berakar dari kekeliruan data dan prosedur administratif bertahun-tahun. Pada 21 November 2008, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi mencatat ada empat pulau yang sengketa antara Aceh dan Sumut (Lipan, Panjang, Mangkir Ketek, Mangkir Gadang) dan disepakati harus difasilitasi penyelesaiannya. Gubernur Aceh kala itu, Ibrahim Hasan, melalui surat resmi tanggal 4 November 2009, menegaskan Aceh memiliki 260 pulau termasuk empat tersebut dengan koreksi nama dan koordinat yang telah diperbaiki (misalnya “Pulau Rangit Besar” diubah menjadi “Pulau Mangkir Besar”).

Artinya, keempat pulau tetap tercatat di Aceh Singkil, hanya namanya saja disesuaikan, karena sebelumnya muncul kesalahan koordinat dan nama. Sejarah panjang Aceh juga menguatkan klaim ini. Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al-Haytar menegaskan keempat pulau itu “secara teritorial… milik Aceh”.

Menurutnya, sejak zaman Kesultanan Aceh, masa penjajahan Belanda hingga era kemerdekaan, pulau-pulau itu sudah lama menjadi bagian Aceh. Perbatasan laut pun pernah disepakati pada rapat provinsi Aceh - Sumut 22 April 1992 di Langsa; peta kesepakatan yang dilampirkan jelas menunjukkan pulau-pulau itu di wilayah Aceh. Pada 19 September 2002 pemerintah kabupaten Aceh Singkil bersama Bakosurtanal memasang PBU (patok batas udara) di Pulau Panjang. Semua jejak historis dan fisik itu seharusnya mengokohkan status Aceh.

Malik Mahmud Al-Haytar bahkan mengingatkan agar Jakarta menghormati sejarah Aceh. "Jangan picu konflik baru, pulau itu milik Aceh,” tegasnya dalam wawancara. 

Ia mendesak pemerintah pusat segera kembalikan kepulauan tersebut ke Aceh. Pernyataan Wali Nanggroe ini mencerminkan sentimen kuat Aceh: alih status wilayah bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan sentuhan serius terhadap identitas dan martabat masyarakat Aceh.

Polemik ini mengemuka ketika sejumlah keputusan pemerintah pusat bertabrakan dengan klaim Aceh. Pada 8 Desember 2018, Kemendagri melalui surat Tanggapan atas Surat Gubernur Aceh justru menegaskan empat pulau tersebut masuk wilayah Sumut (berdasarkan “berita acara yang telah disepakati”).

Keputusan serupa terus mengikuti: pada 2020 Badan Informasi Geospasial (BIG) resmi mencantumkan keempat pulau itu dalam “Gazeter” wilayah Sumut. Puncaknya, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (anggota Kemendagri, BIG, TNI AL, dll.) pada 2022 menetapkan empat pulau itu secara resmi masuk Provinsi Sumut. Hasilnya tertuang dalam Kepmendagri Nomor 050 - 145 Tahun 2022 (tentang pemutakhiran data wilayah), yang memindahkan administrasi Pulau Lipan, Panjang, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek ke Sumut.

Keputusan terbaru tahun 2025 (Kepmendagri 300.2.2-2138) hanya mengokohkan alih tersebut. Sementara itu, Pemerintah Aceh sejak 2017 berulang kali mengajukan bukti dan protes. Anggota DPD Aceh Sudirman Haji Uma misalnya, sejak 2017 mengirim surat resmi ke Mendagri serta menyebut Gubernur Nova Iriansyah tahun 2018 juga telah menyurati Kemendagri “berkali-kali”.

Semua itu konon diabaikan. Hasilnya, Aceh merasa dianaktirikan oleh proses yang sarat ambiguitas ini. Aspek administrasi lain juga memberatkan Aceh. Data kependudukan menunjukkan penduduk pulau-pulau itu tercatat di Desa Gosong Telaga Selatan (Aceh Singkil) dan aktif dalam pemilihan umum Aceh. Segala bantuan sosial (PKH, sembako) disalurkan melalui pemerintah desa Aceh. Faktanya, penduduk empat pulau itu bukanlah warga Sumut, mereka selama ini hidup dan berinteraksi dengan Aceh. Sayangnya, kata Keuchik Afandi (tokoh setempat), fakta-fakta ini “tidak pernah digubris” oleh pemerintah pusat.

Konflik administratif ini memicu reaksi keras dari berbagai tokoh Aceh. Anggota DPRA Komisi IV, Asmauddin, menyatakan keempat pulau “harus kembali diperjuangkan” karena Aceh “memiliki bukti autentik fisik dan administrasi lengkap”.

Ia bahkan siap menempuh jalur hukum. "Kita akan gugat Mendagri bila persoalan itu tak kunjung selesai, karena pusat tidak berhak memutuskan sepihak”. Saat reses di Singkil (Okt 2023), Asmauddin menegaskan lagi bahwa pihaknya siap mengajukan data kepemilikan Aceh secara resmi dan menuntut keputusan Kemendagri ditinjau ulang.

Dirinya yakin setiap keputusan dapat diubah. “UUD saja bisa diamandemen, apalagi keputusan Mendagri”, mencerminkan tekad Aceh untuk terus memperjuangkan haknya. Safrizal ZA, Dirjen Adwil Kemendagri asal Aceh, menambahkan bahwa segudang bukti Aceh sebetulnya sudah cukup bagi Kemendagri untuk “mengembalikan 4 pulau ke pihak Aceh”.

Safrizal bahkan mengaku siap membantu Aceh ketika memimpin di Ditjen Adwil. "Saya bantu untuk Aceh karena saya orang Aceh… ada darah Aceh”. Pernyataan Safrizal itu menegaskan bahwa, jika dikehendaki, Kemendagri bisa mempertimbangkan ulang data Aceh. Secara lebih luas, akademisi Aceh mempertanyakan motivasi Kemendagri.

Aryos Nivada (USK) memperingatkan jangan sampai keputusan ini dipengaruhi kepentingan politik atau ekonomi tertentu. “Jangan main-main dengan Aceh… harus diselesaikan dengan akal sehat berdasarkan jejak sejarah dan bukti nyata di lapangan,” tegas Aryos.

Peringatan ini menegaskan kekhawatiran publik Aceh bahwa keputusan sepihak Kemendagri tidak hanya melecehkan sejarah, tapi juga bisa memicu ketegangan baru: konflik wilayah Aceh - Sumut yang tak diinginkan, bahkan “mempicu konflik besar… dan melibatkan Indonesia” seperti dikhawatirkan Wali Nanggroe Malik.

Dalam skala lokal, masyarakat Desa Gosong Telaga mengorganisir diri. Ketua adat Afandi menyerukan agar DPRA menyuarakan aspirasi nelayan Aceh di pusat. Ia mengusulkan agar SK Kemendagri 100.1.1-6117 Tahun 2022 (yang mirip-mirip memuat alih pulau ke Sumut) dicabut.

Tokoh masyarakat lainnya, Maas Rasmi, menunjuk bukti surat keputusan Agraria 1965 sebagai pengikat hak Aceh. Panglima Laot Maswardin bahkan mengancam masyarakat nelayan akan membuat pernyataan bersama (“Jika Sumut tetap klaim, nelayan Aceh tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu”) karena “hukum adat laut Aceh berbeda jauh” dengan Sumut. Ancaman ini mencerminkan betapa seriusnya nuansa kedaerahan dalam sengketa ini.

Proses pengambilan keputusan Kemendagri dipandang sangat tertutup oleh Aceh. Sejumlah tokoh menyebut istilah “tidak kolektif dan tidak transparan” untuk menggambarkan SK terbaru ini. (Forum Bersama Aceh bahkan menilai keputusan Mendagri ini tidak memperhatikan aspirasi Aceh dan tidak menciptakan iklim kondusif.)

Pemerintah pusat tidak pernah mengundang Aceh dalam rapat akhir penetapan status; Aceh hanya diminta “mengirimkan data pendukung” yang kemudian diabaikan. Dengan kata lain, Aceh merasa “diakali” karena data dan kesepakatan lama mereka diabaikan, sementara pendapat provinsi tetangga lebih diutamakan.

Kemendagri bersikukuh bahwa prosedur dilakukan sesuai peraturan, semua pihak (Kemendagri, BIG, TNI AL, Pemda Aceh-Sumut) terlibat dalam verifikasi lapangan pada Mei 2022. Namun, Syakir (Kepala Biro Pemerintahan Aceh) mengatakan saat verifikasi tersebut Pemerintah Aceh justru menunjukkan bukti-bukti kuat kehadiran Aceh di pulau itu. Sebaliknya, publik Aceh menilai keputusan akhir diambil berdasarkan data yang cacat (koordinat keliru tahun 2009) dan tanpa proses konsultasi yang memadai.

Kekecewaan Aceh juga ditujukan pada sikap pemerintahan pusat pasca-keputusan. Tidak ada penghargaan atas fakta historis Aceh, sebaliknya, seolah-olah Aceh didikte. 

“Kalau kesan yang hendak disampaikan adalah pemimpin Aceh tidak mampu menjaga wilayahnya, itu sangat berbahaya secara politik,” kritisi Aryos Nivada.

Dalam situasi kedaulatan Aceh yang diatur UU Otsus (UUPA), pengalihan wilayah seperti ini seharusnya melibatkan pemerintah Aceh secara resmi. Tindakan sepihak Kemendagri memberi kesan melanggar semangat Otonomi Khusus Aceh.

Aceh belum tinggal diam. Gubernur Aceh Muzakir Manaf (panggilan Mualem) menyatakan pemerintah provinsi akan terus menuntut tinjauan ulang keputusan tersebut. Secara resmi, Aceh telah menyiapkan gugatan administratif jika Mendagri tidak merespons aspirasi Aceh.

DPRA telah meminta Mendagri meninjau ulang Kepmendagri 2022, dan komunitas masyarakat sipil di Aceh siap meminta Presiden membatalkan keputusan tersebut sebagai jalan terakir. Di tingkat akar rumput, nelayan Aceh bahkan berencana turun ke pulau. Jika semua jalan hukum dan diplomasi gagal, mereka siap “berkemah di empat pulau” sebagai bentuk pendudukan sah atas wilayah sendiri.

Pernyataan itu menandakan eskalasi konflik identitas jika pemerintah pusat tetap kukuh. Warga Aceh menuntut kejelasan dan keadilan: secara resmi kembalikan empat pulau ke provinsi Aceh. Pemilik desa, tokoh adat, dan alim ulama Aceh bersuara bulat bahwa daerah mereka telah dirampas secara administratif.

“Intinya Kemendagri mengembalikan 4 pulau itu ke pangkuan Aceh,” tegas Keuchik Afandi. Demi menjaga martabat historis dan ekonomi Aceh, tuntutan ini terus didengungkan.

Kronologi panjang ini memperlihatkan betapa krusialnya masalah identitas dan keadilan dalam sengketa wilayah. Masyarakat Aceh tidak hanya menuntut pulau - pulau itu secara hukum, melainkan meminta agar proses kebijakan pemerintah pusat diluruskan. Tanpa itikad baik dan transparansi dari Kemendagri, konflik administrasi ini bisa berubah menjadi persoalan lebih besar bagi persatuan nasional. [ra]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI