kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Bendera Aceh dan Penyelesaiannya

Bendera Aceh dan Penyelesaiannya

Senin, 30 Juli 2018 11:10 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: liputan aceh

Puluhan tokoh dan pejabat Aceh berkumpul di Lantai dasar Chya Room Sultan Hotel Internasional Peunayong Banda Aceh, 24 Juli 2018. mereka bertemu dalam diskusi "Meja Bundar" membahas persolan bendera Aceh yang dibungkus dalam tema 'Sampai Kapan Dipetieskan"


Mereka yang hadir dalam diskusi setengah hari itu meliputi, Ketua Banleg DPR Aceh, Tgk. H. Abdullah Saleh, SH., Kabiro Hukum Pemerintah Aceh, Dr. Amrizal J Prang, Kaban Kesbangpol Aceh, Drs. Mahdi Effendi, Pakar Hukum Unsyiah, Kurniawan, SH, LLM, praktisi Hukum Unmuha, M. Taufik, mantan Komisioner Komnas HAM RI, Otto Nur Abdullah alias Otto samsudin Ishak, Kapokda diwakili oleh Kasubdit Intelkam, AKBP Alfian, Ketua KNPI Aceh, Wahyu Saputra, SE.


Kemudian  Dantim 1/Banda Aceh (Satgas Leuser), Mayor Inf. Teguh Suryanto, Ketua Kontras Aceh, Hendra Saputra,  aktifis perempuan sekaligus istri anggota DPR Aceh Fraksi Partai Aceh, Arabiani (Bacaleg DPR Aceh PA) dan sejumlah perwakilan Ormas dan LSM di Aceh.


Sekjen Forum LSM Aceh, Sudirman menyebutkan melakukan pertemuan tersebut dilakukan karena ada dorongan CSO terkait agenda-agenda yang masih tersisa. Salah satunya adalah Qanun Bendera Aceh, setelah masa colling down lima tahun.


"Kami mengundang unsur-unsur DPR Aceh sendiri, pemerintah Aceh, akademisi yang terlibat dalam penyusunan dulunya, juga unsur CSO dan pihak aparat penegak hukum. Mendorongnya seperti apa, kesannya sangat rumit, kalau ada kemauan pasti dapat menyederhanakan persoalan," katanya.


Dikatakan Sudirman,  dalam tahun-tahun politik ini, isu bendera akan diangkat kembali dan tidak produktif bagi masyarakat Aceh. Pihaknya menginginkan isu ini dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat Aceh.

 

"Kita akan berdiskusi hingga siang dengan menelurkan kesepakatan-kesepakatan yang akan kita bawa ke pertemuan yang lebih besar lagi," katanya saat menyampaikan sambutan.


Otto Samsudin Ishak yang memimpin diskusi menyebutkan persoalan bendera ini tidak beres-beres sejak dia tinggalkan Aceh sampai kembali lagi. Bisa dibayangkan sebuah daerah tidak ada bendera, kebinekaan NKRI ini tidak lengkap, lampu kristalnya tidak lengkap.


" Kita harap pertemuan ini dapat komitmen bersama untuk membereskan dari MoU ke UU, dan turunannya belum selesai. Kita ingin tahu posisi terakhir dimana macetnya, apakah karena trafficnya tinggi atau karena macetnya. Kita akan mulai dari DPR Aceh, penjelasannya di mana positioning, dimana macetnya sehingga tidak berkembang, menimbulkan efek yang tidak baik, sehingga tidak kepastian hukum hari ini," katanya saat membuka diskusi


=================================================================



Bendera Aceh Dalam Pandangan Legislator


Abdullah Saleh menyebutkan, posisi bendera Aceh terakhir setelah diqanunkan ada beda pendapat pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat. Beda pendapat itu sempat dibahas bersama, dirundingkan dalam pembahasan bersama.


"Ada empat kali pertemuan diadakan di Jakarta hingga Ujung Pandang, Batam dan Bogor. Pertimbangan terakhir di Bogor saat itu, selain tidak lagi membicarakan dasar hukum soal bendera. Awalnya dihadapkan PP 77 tahun 2007 tentang alasan pembuatan Qanun bendera ini. Kita sudah jawab bahwa harusnya dilakukan konsultasi oleh pemerintah daerah Aceh dengan pemerintah pusat. Akhirnya kita tidak mengakui PP itu," kata Abdlullah Saleh.


Kemudian persoalan itu masuk ke masa colling down, disepakat tidak lagi masuk pada elemen hukumnya, tapi mellihat dari aspek psikologis politik. Pemerintah pusat tidak mau pemerintah daerah juga tidak mau di posisi aspek hukum lagi. Situasi menajam dan disepakati untuk menunda dulu, menunggu situasi stabil dan sejuk dulu. Cuma setelah massa itu tidak ada lagi pembicaraan lanjutan, setelah situasi berubah dan kondusif.


" Kami DPR Aceh beberapa kali mendesak pemerintah daerah untuk mendesak pemerintah pusat membuka lagi pembicaraan ini. Tapi tidak ketemu antara kami dengan pemerintah dimasa pak Zaini Abdullah yang terkesan tidak berkenan atau acuh tak acuh. Dimasa pak Irwandi juga kita mengajak pak Wakil Gubernur Nova dengan kami serahkan bendera sebagai isyarat kepada beliau, itu kegiatan sporadis, tidak melembaga. Maka upaya forum LSM ini baik dengan mengajak pihak berkompeten membicarakannya kembali," Jelas Abdullah Saleh dalam forum tersebut.





Bendera Aceh dalam Kacamata Hukum


Kabiro Hukum Pemerintah Aceh, Dr. Amrizal J Prang juga ikut memberi pandangannnya. Dia menyampaikan empat hal yaitu politik hukum, hukum politik, politik dan hukumnya.


"Tentang hukum politik sudah ada kesepakatan dalam MoU yang dijabarkan dalam UU Pemerintahan Aceh dan diturunkan dalam Qanun. Tapi politik hukumnya belum selesai juga. Karena proses penyusunannya ada kewenangan pemerintah pusat dalam bentuk pengawasan, dicantumkan dalam UU Pemerintahan Aceh. Pengawasan prefentif dan represif dilakukan oleh pemerintah pusat, dilakukanlah proses evaluasi dan klarifikasi atas qanun," jelasnya.

 

Menurutnya, Pemerintah pusat berwenang melakukan klarifikasi setelah menjadi qanun, kewenagan ini ada di pemerintah pusat, mengapa tidak dijalankan. Sekarang proses menjalankan hukumnya yaitu pelaksanaan atau hukum politik. Ada istilah anomali disini, secara hukum diatur cukup jelas tentang limit waktu. Kalau sudah menjadi Qanun, ternyata pemerintah pusat tidak membatalkan, itulah anomalinya. Sehingga secara aturannya harus dilaksanakan, inilah yang dimaksud persoalan politik hukumnya.


"Ada dua persoalan yang perlu dikembangkan dalam diskusi kali ini. Bicara hukum murni sulit kita ke luar, tapi anomali penyimpangan prosedur hukumnya, kalau tidak dibatalkan maka dilaksanakan, tapi ini tidak dilaksanakan. Sehingga muncul persoalan politik. satu hal lagi ini bicara soal putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu Menteri dalam negri tidak bisa membatalkan perda di Indonesia. Apakah kita akan mengambil pilihan ini, tapi bagaimana hukum pusat Aceh dalam konteks politik," sebutnya.

 

Kapolda diwakili oleh Kasubdit Intelkam, AKBP Alfian menilai tentang bendera ini kalau pemerintah pusat sudah diterima maka harusnya dijalankan. Tapi pemerintah pusat bilang jangan dulu dinaikkan karena belum disetujui.


"Kita kalau mau naikkan juga mohon koordinas, bukan bendera naik lalu tembak bukan. Kita hanya mengamankan, kalau sudah resmi kita akan dukung," katanya..


Selanjutnya, Pakar hukum Unsyiah, Kurniawan, SH, LLM yang juga hadir dalam diskusi itu menilai keberadaan Qanun Aceh tentang bendera merupakan legal, karena dijamin dalam UU Pemerintahan Aceh. Secara hukum ini adalah amanah, sehingga tidak lagi perdebatan boleh atau tidak. Ketika kemudian barang itu menggunakan simbol yang dilarang dalam PP 77/2007. Apakah PP itu bermasalah, tidak karena UU Pemerintahan Aceh memberi peluang, dan sudah dipikirkan oleh pemerintah pusat kalau pasal itu disahkan.


" Tentang sistem pengawasan, memang benar seperti pak Amrizal katakan dengan syarat klarifikasi dan evaluasi, sebelum ditetapkan, tapi itu persuasif. Yang melakukannya Menteri Dalam Negeri, tapi terhadap produk hukum persyaratan represif termasuk pajak, RPJM dan bendera ini. 7 (tujuh) hari sudah dilalui Pemerintah Daerah Aceh karena sudah di konsultasikan dalam masa itu. Pemerintah pusat lalu melakukan evaluasi dengan PP 77 dari Qanun itu," jelas Kurniawan.


Dia menyebutkan, UU 32 tentang Pemerintah Daerah, ternyata presiden juga tidak membatalkan, padahal Menteri Dalam Negeri sudah memberikan catatan-catatan kepada presiden. Setelah 60 hari tidak dibatalkan maka, Perda itu dinyatakan berlaku. Secara politik jawabannya, mengapa SBY tidak membatalkannya, karena menjelang pemilihan umum saat itu. Sehingga menimbulkan dilema hukum. Kedepan masih bisa dilakukan review terhadap Qanun ini, aspek hukum dimungkinkan, tapi aspek politik bagaimana apakah mau menkonsultasikan semuanya. Judicial Review tidak ada ruang, mempetieskan untuk menjamin proses evaluasi dan klarifikasi.


"Hukum selesai, tinggal kompromi politik yang harus ketemu hari ini. Karena konsekwensi hukum tidak membatalkannya," kata dia.


Sementara itu,  praktisi hukum, M. Taufik menilai secara politik Aceh punya identitas yaitu lambang dan bendera, masyarakat Aceh itu butuh hal yang jelas. Karena sudah disahkan, maka boleh naik, tinggal pemerintah Aceh jangan banci. Hari ini tuntutan masyarakat bendera itu harus ada.


Kata dia, kalau ini tidak jelas akan jadi jualan politik untuk Pemilihan Umum Legislatif 2019, akan laris di akar rumput. Mereka tidak perduli ditangkap atau tidak, kalau ada yang provokasi akan naik bendera ini.


"Maka saya minta eksekutif dan legislatif berikan kejelasan soal bendera ini. Kalau tidak boleh tolong batalkan, kalau terlalu lama dipetieskan akan busuk bendera ini. Secara politik harus jelas," sebutnya..



Bendera Aceh dimata Sipil


Aktifis Perempuan, Arabiani menilai kehadiran bendera dan lambang itu simbol kekhususan Aceh dalam penyelenggaraan pemerintah Aceh. Kalau dikatakan ini milik GAM, bendera dan lambang Aceh itu dari turunan lambang Turki yang dimasa itu kerajaan Aceh dibawah emperium Turki.


"Konsekwesinya, kehadiran Qanun itu berlaku dan dapat ditindak lanjuti karena sudah diundangkan dalam lembaran daerah. Qanun Nomor 3 tahun 2013 itu menggunakan frasa bulan bintang, tapi di PP 77 tahun 2007 itu bulan sabit, itu menjadi hal substansi dari aspek bahasa, sebutnya..


Sementarai itu Pengacara Senior, Mukhlis Mukhtar saat mengutarakan pendapatnya tidak bicara soal hukum tetapi teknis dan psikologis. Menurutnya Persoalan bendera Aceh itu sama dengan sinetron empang breuh antara linto baro dan mak tuan. Jadi soal psikologi politik, gara-gara yah tuan tidak cocok dengan linto nonton piala dunia yang beda pilihan negara.

 

"Jadi mari berjiwa besar, ke-2 pihak mundur sehingga ada win-win solution. Jangan persoalan kecil dibesar-besarkan, persoalan ini sangat sederhana. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah Aceh duduk bersama. Masih ada jalan keluar karena semua dari awal dari semangat untuk menyelesaikan masalah. Inilah kanal yang harus kita mamfaatkan. Persoalan bendera ini bukan kedaulatan," usulnya.


Perwakilan Forkab Aceh, Boy Satriawan yang hadir dalam diskusi itu mengtakan Pemerintah Pusat menyatakan bertentangan dengan PP 77/2007 yang tidak boleh sama design dan logo atau mirip dengan lambang dan logo separatis. Bendera dan logo ada wujud keistimewaan dan kewibawaan masyarakat Aceh secara khusus.


"Kami dari masyarakat sipil, Qanun ini jika tidak pernah direvisi dan diklarifikasi oleh pemerintah daerah agar disetujui oleh pusat. Maka saran kami tolong direvisi supaya bendera itu bisa diterima oleh Pemerintah pusat," katanya.


Saat sampai gilirannya, Perwakilan YARA, Muhammad Jubir  mengatakan bendera ini sangat unik, karena masalah berbenturan hukum, tapi setelah dijelaskan para pakar, ternyata Qanun ini sah, naikkan benderanya sah.


"Kami pada Juni 2018 sudah buat dua tiang bendera, satu untuk sangsaka merah putih dan tiang untuk bendera bintang bulan. Ternyata sensitfi dan langsung rame, banyak intel mendatangi kami, hingga datang pihak keamanan. Mereka minta diturunkan, karena yang datang bukan para pimpinan mereka, mereka datang atas perintah atasan. Di Polda kami memberi keterangan, dan ternyata tidak menjadi persoalan besar. Karena belum pernah di Aceh yang menaikkan bendera itu ditangkap dan diadili di pengadilan, karena keberadaan bendera hari ini sah," sebutnya.


Sementara Ketua KNPI Aceh, Wahyu Saputra, SE  menilai persoalan bendera ini tidak rumit, namun ada pihak saja yang merumitkannya, untuk jualan politik 2019. Dari sisi hukum semua sudah jelas oleh para pakar hukum. Tinggal mencari win-win solution.


" Perlu komunikasi dua arah antara DPRA dan legislatif untuk membawanya ke pusat. Tinggal mau benderanya mau seperti apa, yang sudah diusulkan bertentangan dengan aturan pemerintah pusat. Tinggal duduk kembali dengan pemerintah pusat, harus ada pihak yang mengalah agar cepat selesai," sarannya


" Kami pemuda ingin dirubah sedikit agar ada yang mau mengalah, karena tidak ada mamfaat sama sekali soal bendera ini untuk kemakmuran masyarakat Aceh. Mari berbesar hati agar semua pihak mau menerimanya. Karena ini bicara identitas ke-Acehan dimata provinsi lain saja. keragaman kita di Aceh tidak dimasalahkan oleh masyarakat. Energi kita perlu lebih besar untuk pembangunan Aceh, koneksi jaringan jalan di Aceh belum terujud.  Niat baik dari bapak-bapak di DPR Aceh dan eksekutif, sedikit mundur dengan Pemerintah Pusat yang juga sedikit mundur untuk solusi. Sehingga bendera ini segera clear, sehingga persoalan lain yang sedang menanti bisa kita selesaikan," tambahnya.


Perwakilan JSI, Ikbal Ahmadi dalam kesempatan itu mengatatan menurut perspektif politiknya, MoU Helsinky menyatakan Aceh punya hak memiliki lambang, bendera dan hymne. Dalam UU Pemerintahan Aceh, juga punya hak Aceh untuk memiliki bendera. PP 77/2007 tentang lambang daerah yang tidak boleh menyerupai lambang separatis. Bendera Aceh itu bukan kedaulatan bangsa Aceh, artinya pemerintah pusat juga sudah siap dengan apa makna dalam UU Pemerintahan Aceh ini.

 

Tidak ada maksud ada yang lebih  berdaulat dari sang saka merah putih, karena bendera kita itu hanya untuk identitas kedaerah. Pemerintah daerah Aceh kecolongan saja dengan pemerintah pusat tanggungjawab kedaulatan ini. Perspektif pusat apa yang mereka lakukan benar secara hukum dan politik, tapi Aceh itu melihat tanda tanya tentang kedamaian.


"Ada kelemahan partai Aceh yang mengklaim sebagai entitas perjuangan, yaitu gagal mendidik rakyat bahwa bendera lambang dan hymne itu urusan filosfis dan identitas. Hanya Hasan Tiro memahami filosofi yang gagal dipahami oleh kader di bawahnya. Berbeda dengan pembangunan politik dengan ekonomi.Rekomendasi kami elit partai dan GAM harus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat tentang bendera ini," katanya.


Diakhir diskusi,  Amrizal J Prang menawarkan solusi menurutnya ada hukum yang belum jelas, pasal 18b ayat 1 UUD 45 itu perlu dibaca kembali putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016. Menariknya keistimewaan Aceh itu tidak lebih 4 kata Mahkamah Konstitusi, pendidikan adat agama dan peran ulama. Jadi yang lain itu bukan keistimewaan tapi mencirikan keistimewaan. Kemudian soal kepastian hukum, apa yang sudah diatur dalam UU Pemerintahan Aceh harus dihormati dan dilaksanakan.


"Qanun bendera wajib dilaksanakan bukan karena istimewa atau khusus berdasar logika putusan Mahkamah Konstitusi itu. Maka karena kepastian hukum harus dilaksanakan. Apa yang ada dalam Qanun bendera, dibaca dari perspektif pertemuan di Bogor ada yang tidak diungkapkan yaitu tentang wali nanggroe, sudah jadi Qanun tapi pusat belum setuju substansinya," katanya.


 Solusinya kata dia, ternyata hukum itu tidak melihat hukum saja, karena hukum hanya melihat sistem hukum. Ini Perintah Undang-undang Pemerintahan Aceh untuk Qanun itu, memang Qanun dibawah PP. Hanya secara materil bermasalah, karena tidak diatur lebar, bentuk, design. Maka muncul PP, bukan karena terlambat atau tidak. Kita harus selesaikan, maka sistem hukum ada penyelesaiannya, bukan hanya melihat gramatikal isi UU semacam.


"Harus ada penemuan hukum, dengan melihat sejarah hukumnya, sejarah Undang-undang Pemerintahan Acehnya, apakah paska MoU lahir Undang-undang Pemerintahan Aceh, kita ke DPR RI, dalam risalah Undang-undang Pemerintahan Aceh tersebutkan kah atau tidak disebutkan bendera itu identik dengan GAM atau tidak atau seperti semangat rakyat Aceh. itu bisa menjadi solusi, kalau tidak ada akan jadi problem selanjutnya. Maka win-win solution untuk memperbaiki dan merevisi bendera itu. Itu solusi dari sistem hukumnya," kata dia.


Namun usulan itu dibantah Muklis Mukhtar,  menurutnya saat Undang-undang Pemerintahan Aceh dibuat, semangatnya bukan kekhususan, semangatnya yang jangan minta merdeka, tapi mendelegasikan kewenangan saja dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.


"Solusi sederhananya adalah komunikasi pemerintah Aceh dengan Jakarta, dan menyampaikan aspirasi rakyat. Aspirasinya adalah win-win solution, ada ruang untuk berpartisipasi seperti ini, ada kesimpulan, dan di formulirkan dalam aturan," pungkasnya. (HH)



Keyword:


Editor :
HARISS Z

riset-JSI
Komentar Anda